Liputan6.com, Berlin - Para sejarawan telah lama mengetahui bahwa tentara Nazi menggunakan narkoba.
Menurut penelitian, dokter Jerman meresepkan Pervitin yang mengandung metamfetamin, dikenal sebagai sabu-sabu, untuk para tentara. 'Obat' tersebut digunakan ketika tentara Perang Dunia II merasa lelah atau depresi dan berusaha meningkatkan energi mereka.
Sementara itu Pemimpin Nazi, Adolf Hitler, menghirup bubuk kokain untuk mengobati masalah sinusnya. Hal tersebut tercatat dalam dokumen bersejarah tentang rekam medisnya.
Advertisement
Namun seorang sejarawan di Utrecht University Belanda yang mempelajari sejarah narkoba Nazi, Stephen Snelders mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui bagaimana konsumsi metamfetamin secara kuantitatif digunakan pada Reich Ketiga--saat Hitler memimpin.
"Meski terdapat indikasi, saya meragukan usul yang menyebut bahwa seluruh mesin perang itu diisi dengan bahan bakar obat ini. Itu bukan cara obat tersebut bekerja," ujar Snelders seperti dikutip dari CNN, Selasa (20/12/2016).
"Saya pikir obat itu digunakan secara pragmatis dan dikelola oleh dokter militer, tentara, dan warga yang mengonsumsi, namun buktinya masih minim dalam sebagian besar perang," imbuh dia.
Dalam buku baru karya penulis Jerman, Norman Ohler, "Blitzed: Drugs in the Third Reich", metamfetamin, kokain, dan bahkan candu disebut memiliki hubungan dengan tentara Jerman.
"Buku Norman Ohler menggambarkan budaya penggunakan obat-obatan yang diduga berkembang pada Reich Ketiga Jerman," tulis seorang profesor peneliti di Oxford Brookes University, Paul Weindling, dalam sebuah artikel di jurnal Nature pada Oktober lalu.
"Pejabat Nazi menggunakan narkoba untuk meningkatkan performa seperti sabu-sabu dan kokain. Unit militer Jerman dan penerbang diberi obat berbasis metamfetamin bernama Pervitin (diproduksi di Jerman sejak 1937) untuk meningkatkan efisiensi operasional. Obat seperti Pervitin dan perangsang metabolisme diuji kepada pelajar, anggota baru, dan juga di kamp-kamp konsentrasi," tulis Weindling.
Narkoba dalam Sejarah Pertempuran
Meski demikian, obat-obatan tersebut mempengaruhi sistem yang sama dengan cara yang sedikit berbeda. Menurut profesor farmakologi dan toksikologi di University of Utah, Kristen Keefe, metamfetamin dan kokain meningkatkan pelepasan dua neurotransmiter utama di otak--dopamin dan serotonin--yang memberikan sensasi penambahan energi dan euforia.
"Jika Anda memiliki tentara di lapangan, Anda tidak ingin membuat mereka merasakan sakit," ujar Keefe. "Dampak negatifnya adalah opioid dapat dengan mudah membunuh jika seseorang mengalami overdosis."
Metamfetamin, kokain, dan opioid telah digunakan secara luas dalam sejarah dalam pertempuran militer.
Menurut Methamphetamine and Other Illicit Drug Education di University of Arizona, Pemerintah Jerman, Inggris, Amerika, dan Jepang memberikan anggota militer mereka metamfetamine untuk meningkatkan ketahanan dan kewaspadaan serta menangkal kelelahan selama Perang Dunia II.
Baru-baru ini pejabat Amerika Serikat mengatakan, pada tahun lalu beberapa militan di Suriah diduga menggunakan Captagon, pil amfetamin yang dapat memberikan gelombang energi dan euforia tinggi.
Pada 2002, dua pilot tempur Amerika secara tak sengaja meluncurkan sebuah bom yang menewaskan empat tentara Kanada di Afghanistan selatan.
Seorang pengacara salah satu pilot berpendapat bahwa Angkatan Udara memaksa pilot untuk mengonsumsi amfetamin yang berdampak pada pengambilan keputusan mereka. Namun menurut Keefe, argumen pengacara itu ditolak dalam sidang.
"Pilot tersebut menggunakan Dexedrine atau dextroamphetamine, sebagia 'go pills' untuk membuat mereka tetap terjaga dan waspada," ujar Keefe.
"Secara historis, obat itu digunakan untuk meningkatkan energi dan kemampuan agar pilot militer tetap terjaga," imbuh dia.
Advertisement