Liputan6.com, Cambridge - Penilaian unjuk kerja (performance appraisal) adalah salah satu aturan lazim, tapi kadang juga tidak populer dalam dunia kerja. Kenyataannya, beberapa perusahaan sekarang ini mencoba melakukannya secara berbeda.
Tapi, dengan segala perubahan itu, seberapa banyak perusahaan yang mencoba menelaah lebih teliti tentang bagaimana performance review itu beroperasi di tempat kerja mereka dalam jangka panjang.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari Harvard Business Review pada Rabu (21/12/2016), Peter Cappelli dan Martin Conyon melakukan telaah lebih mendalam tentang data penilaian antara 2001 dan 2007 dari sebuah perusahaan besar Amerika Serikat.
Berikut ini adalah 3 mitos yang menjadi temuan mereka:
Mitos 1: Tanpa Variasi
Benarkan, angka penilaian tak banyak bervariasi dari orang per orang?
Selama ini, ada anggapan bahwa hampir semua orang mendapat penilaian di atas rata-rata dan hanya sedikit yang menerima angka yang buruk.
Kenyataannya, angka penilaian cukup bervariasi antara orang per orang. Memang benar, ada bias menuju penilaian lebih tinggi, yaitu ketika karyawan biasa dinilai sedikit di atas "rata-rata" dalam penilaian.
Sebenarnya malah ada sedikit lebih banyak angka "buruk" (penilaian terendah) daripada angka "amat baik" (penilaian tertinggi).
Advertisement
Mitos 2: Pencapaian Stabil
Penilaian berulang lagi dan lagi. Yang baik cenderung tetap baik, yang buruk cenderung tetap buruk.
Ada anggapan bahwa karyawan terdiri dari para pemain dari kelompok peringkat A, B, dan C secara stabil, tidak berubah-ubah.
Dalam perusahaan yang diteliti, hanya ada sedikit bukti bahwa karyawan dengan unjuk kerja yang baik tahun ini akan meraih lagi unjuk kerja yang baik di tahun berikutnya.
Kenyataannya, angka perolehan tahun ini hanya menjelaskan sepertiga angka perolehan karyawan tersebut di tahun berikutnya.
Pergantian manajer juga tampaknya tidak memiliki dampak konsisten pada angka pencapaian. Hal ini berlawanan dengan pandangan bahwa atasan kemudian menjadi terlalu nyaman dengan bawahan sehingga memberikan angka yang lebih tinggi di tahun berikutnya.
Tidak ada dukungan bagi pemikiran bahwa karyawan hanya terdiri dari peraih prestasi (performer) -- yang cenderung akan terus baik -- dan mereka yang kurang prestasi dan cenderung akan terus demikian, ditambah lagi dengan sekelompok pegawai di lapisan tengah.
Memang benar, ada sejumlah karyawan yang menunjukkan kerja buruk seiring berjalannya waktu dan mereka bercenderungan dipecat. Tapi angka penilaian di tahun tertentu tidak dapat menjadi dasar bagi perolehan dalam jangka panjang.
Mitos 3: Penilaian dan Promosi
Mitos yang juga kerap terjadi adalah bahwa angka penilaian tidak mendorong peningkatan gaji ataupun promosi.
Ada anggapan bahwa para manajer terlalu ragu-ragu, sehnigga hanya memberikan sedikit tambahan kepada para peraih terbaiknya dan jarang menahan peningkatan gaji kepada yang kurang berprestasi.
Tapi, penelitian mengungkapkan tidak ada bukti bahwa atasan menahan-nahan kenaikan dan terlalu memanjakan yang kurang.
Kenyataannya justru sebaliknya. Peraih prestasi rendah juga ikut mendapatkan bonus terbaik dan lebih berkemungkinan dipromosi. Tapi, mereka yang paling buruk berkecenderungan dipecat.
Penelitian juga mengungkapkan bahwa atasan tidak menggunakan penilaian sebagai cara "pematangan" seperti yang sering dianggap oleh para ekonom.
Kenyataannya, peningkatan gaji berdasar prestasi diberikan kepada para karyawan yang meningkatkan unjuk kerja dari tahun ke tahun, bukan hanya sekali saja meraih unjuk kerja yang tinggi.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Advertisement