Liputan6.com, Banjul - Kondisi di Gambia memanas. Penyebabnya adalah keengganan, Presiden Yahya Jammeh mengakui kekalahannya dalam pemilu.
Melihat kondisi ini, Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS) mengambil sikap tegas. Mereka menyatakan, akan memaksa diktator tersebut untuk turun.
"Pemimpin negara Afrika Barat siap mengirim pasukan jika penguasa lama yang sudah kalah itu tidak mundur hingga pekan depan," sebut Presiden ECOWAS Marcel De Souza, seperti dikutip dari Al-Jazeera, Sabtu (24/12/2016).
De Souza menegaskan komentarnya itu bukanlah gertakan. Ia telah menunjuk Senegal untuk memimpin intervensi ke Gambia.
"Deadline hingga 9 Januari itu tanggal sesuai dengan mandat berakhirnya masa kekuasaan Jammeh," sebut De Souza seperti dikutip dari Al Jazeera, Sabtu (24/12/2016).
"Jika tidak dipatuhi, tentara kami sudah bersiap, ini suatu sinyal untuk waspada. Pasukan telah bersiap untuk merestorasi Gambia sesuai keinginan rakyatnya," sambung dia.
Baca Juga
Meski demikian, pengerahan kekuatan militer bukan prioritas ECOWAS untuk memaksa Jammeh mundur. Langkah diplomasi lah yang akan mereka utamakan.
Jammeh kalah dalam pemilu Gambia oleh seorang pengusaha properti yang pernah bekerja sebagai satpam di Inggris, Adama Barrow.
Sebelumnya Jammeh sempat mengatakan menerima kekalahan. Ia pun menyerahkan kekuasaanya kepada Barrow dengan cara damai.
Namun, tiba-tiba sikap Jammeh berubah. Tanpa alasan jelas dirinya menolak hasil pemilu di negara Afrika Barat tersebut.
"Ini sesuatu yang abnormal," ucap Jammeh seperti dikutip dari BBC, Sabtu (10/12/2016).
Semenjak berkuasa di Gambia melalui suatu kudeta pada 1994, Presiden Jammeh memerintah negeri dengan tangan besi disertai sikap sikap represif dan diduga tak segan untuk menginisiasi suatu pembunuhan.
Pemimpin yang minta dipanggil sebagai "Yang Mulia" ini diketahui pernah menembaki para pengunjuk rasa damai.
Ia bahkan pernah mengeluarkan tuntutan kepada para homoseksual agar meninggalkan negeri dalam waktu 24 jam atau dipenggal.
Advertisement