Liputan6.com, Jakarta - Prediksi ini muncul lebih dari 10 tahun lalu: kemacetan Jakarta bakal mengalami titik puncak pada 2014, bahkan saat baru keluar rumah, jalan macet langsung di depan mata. 'Ramalan' itu terbukti.
Macet kini tak hanya terjadi di pusat kota, tapi menjalar hingga ke gang-gang sempit. Bayangkan apa yang akan terjadi pada masa depan, tahun 2020 misalnya. Jakarta dipastikan macet total.
Tak terbayang berapa banyak waktu, energi, juga emosi dibuang sia-sia di jalanan. Saat ini saja para karyawan yang tinggal di wilayah pinggiran atau luar kota Jakarta membutuhkan waktu 4 jam untuk menuju tempat kerja -- dua jam saat berangkat, 2 jam lainnya ketika pulang.
Advertisement
Seperti dikutip dari hasil studi Smart Mobility in Jakarta, yang dilakukan National University of Singapore (NUS), ada banyak alasan mengapa jalanan di ibukota Indonesia tak lagi sanggup menampung kendaraan.
Salah satunya, sebagai dampak ledakan penduduk dalam 20 tahun terakhir. "Dari 17 juta pada 1990 menjadi 28 juta pada 2010," demikian dikutip dari studi NUS yang dilakukan pada Desember 2016.
Sayangnya, perkembangan infrastruktur transportasi tak berimbang dengan pertumbuhan populasi, kepemilikan kendaraan bermotor -- mobil maupun motor yang terus meningkat, dan tuntutan mobilitas kaum urban yang meninggi.
Sejumlah alternatif solusi diambil. Sejak Desember 2003, di bawah kepemimpinan Gubernur Sutiyoso, diterapkan sistem 3 in 1.
Tujuannya untuk mengurangi kepadatan jalan di kawasan tertentu dengan mewajibkan kendaraan roda empat mengangkut minimal tiga orang. Denda akan dikenakan pada pelanggar.
Solusi itu ternyata tak solutif. Skema 3 in 1 justru menciptakan lapangan kerja alternatif baru: joki yang dibayar Rp 25 hingga Rp 30 ribu sekali jalan.
Keberadaan para joki, yang beberapa membawa 'bayi sewaan'Â berkerumun di pinggir jalan justru menjadi sumber kemacetan baru.
Belum lagi dampak lainnya, seperti kerentanan mereka menjadi korban kejahatan.
Aturan 3 in 1 yang terbukti tak efektif dihapus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
"Sebenarnya enggak perlu ada 3 in 1 juga. Kalau pada bawa-bawa bayi begitu, dikasih obat bayinya biar enggak mengganggu yang bawa mobil. Ini kan enggak benar," kata pria yang akrab dipanggil Ahok itu beberapa waktu lalu.
Kemudian, mulai Juli 2016 diterapkan skema baru, aturan ganjil genap yang membatasi kendaraan dengan pelat nomor yang di luar ketentuan untuk memasuki kawasan tertentu.
Peraturan tersebut, menurut hasil studi NUS, tak efektif pada jam sibuk.
Apalagi, mereka yang berpunya bisa jadi menambah mobil baru, agar bisa terus melaju di jalan tanpa terhambat aturan ganjil-genap. Solusi ganjil genap hanya bersifat sementara.
Mulai awal 2016, pemerintah DKI Jakarta melakukan studi kelayakan (feasibility study) terkait sistem jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP). Singapura menjadi acuannya.
Lantas diterbitkan Pergub Provinsi DKI Jakarta Nomor 149 Tahun 2016 tentang Pengendalian Lalu Lintas Jalan Berbayar Elektronik yang mengatur, teknologi yang digunakan dalam kawasan ERP, yakni menggunakan komunikasi jarak pendek (Dedicated Short Range Communication/DSRC) dengan frekuensi 5,8 GHz.
Masalahnya, Singapura telah meninggalkan teknologi itu. Dianggap ketinggalan zaman.
Negeri Singa kini bersiap beralih ke yang lebih canggih yang berbasis satelit, yakni Global Navigation Satellite System (GNSS).
Teknologi ERP Masa Depan
Singapura menjadi kota pertama di dunia yang menerapkan sistem jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) untuk mengendalian lalu lintas sejak 1998.
Kemudian, solusi tersebut diikuti sejumlah kota di dunia, termasuk London, Inggris dan Stockholm, Swedia.
Pada awalnya, ERP di Singapura menggunakan sistem ERP menggunakan teknologi komunikasi jarak pendek atau Dedicated Short Range Communication (DSRC) dan pengenalan nomor plat mobil dari kamera yang dipasang di gantry atau Automatic Number Plate Recognition (ANPR)Â
Meski dianggap berhasil mengurangi kemacetan, ERP berbasis teknologi DSRC dianggap ketinggalan zaman.
Pada Februari 2016, otoritas transportasi darat Negeri Singa atau Land Transport Authority (LTA) memberikan tender pembangunan ERP berbasis satelit kepada dua perusahaan, yang nilainya 556 juta dolar Singapura.Â
Pembangunan sistem ERP baru berdasarkan Global Navigation Satellite System (GNSS) yang memungkinkan pengguna jalan dikenakan biaya berdasarkan jarak tempuh secara adil, dan menghilangkan kebutuhan infrastruktur fisik seperti gantry. Sistem tersebut akan mulai diberlakukan pada 2020 mendatang.
"Sejak diperkenalkan, sistem road pricing terbukti efektif dalam mengelola kemacetan lalu lintas," kata kepala eksekutif LTA Chew Men Leong, seperti dikutip dari situs Channel News Asia.
Para pengemudi akan dipaksa berpikir dua kali untuk menggunakan kendaraan pribadi, dan kemudian beralih ke sistem transportasi umum.
Namun, seperti termuat dalam pernyataan LTA , lembaga tersebut berpendapat, sama sekali tak praktis untuk melanjutkan sistem gantry, "yang berusia hampir dua dekade dan akan semakin mahal biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankannya."
Hasil studi Smart Mobility in Jakarta, yang dilakukan National University of Singapore (NUS) menyebut, sementara teknologi DSRC terbukti punya sejumlah kelemahan, perkembangan teknologi berlangsung pesat terutama terkait GNSS -- yang memungkinkan daya jangkau lebih luas.
"Jerman, Hungaria, Slowakia, Belgia sukses menerapkan ERP berbasis GNSS dalam skala terbatas, menargetkan truk dan kendaraan berat lainnya," demikian ditulis dalam studi NUS.
Menyusul kesuksesan itu, sejumlah negara pengguna ERP pertama -- termasuk Singapura, Rusia, Republik Ceko, Lituania, Norwegia, Polandia, Slovenia, Spanyol, dan Swedia --melihat GNSS sebagai teknologi masa depan solusi ERP. Mereka bersiap meninggalkan DSCR yang sudah ketinggalan zaman."
ERP berbasis GNSS diklaim punya sejumlah keuntungan dibandingkan teknologi DSRC. "Diantaranya, biaya yang lebih murah, pengembangan cepat tanpa tuntutan peningkatan infrastruktur," demikian menurut NUS.
Selain itu, meminimalisasi gangguan ke infrastruktur yang sudah ada misalnya pembangunan gantry, tak bergantung pada perangkat keras, dan memungkinkan proses migrasi ke teknologi terbaru secara lebih muda serta murah.
"Dan yang utama tak mengganggu pengguna jalan. Juga meningkatkan majemen lalu lintas dan memastikan jalanan lancar," kata NUS dalam kesimpulannya.
Advertisement