Liputan6.com, Washington DC - Tahun 2016 yang tinggal hitungan jam diwarnai berbagai kejutan yang membuat masa depan dunia pada 2017 dipertanyakan. Pertanyaan pun terbesit, apakah situasi yang pelik bakal menyulut pertempuran antar-kekuatan global -- yang bisa menjelma jadi Perang Dunia III.
Paranoid? Mungkin. Namun, peristiwa yang belakangan terjadi membuat prospek perdamaian dunia di masa depan kian menjauh.
Hanya hitungan hari sebelum pergantian tahun, Pemerintahan Barack Obama mengusir 35 pejabat Rusia atas tuduhan peretasan yang menuai reaksi keras dan aksi 'balas dendam' dari Presiden Vladimir Putin.
Advertisement
Sementara, di Timur Tengah, pembicaraan damai pasca-lepasnya Aleppo dari pihak pemberontak, oleh pasukan pemerintah Suriah dan pihak Rusia, dilakukan tanpa melibatkan AS.
Tak hanya itu, sikap abstain AS dalam sidang Dewan Keamanan PBB yang mengeluarkan resolusi mengutuk pembangunan pemukiman Yahudi di Yerusalem Timur dan Tepi Barat membuat Israel berang.
Baca Juga
Tel Aviv bahkan mengancam akan mendeklarasikan perang pada Selandia Baru -- salah satu negara penggagas resolusi selain Malaysia, Senegal, dan Venezuela.
Memang, Pemerintahan Obama -- yang mengeluarkan dua keputusan mengagetkan itu -- tinggal hitungan hari. Pada 20 Januari 2017 mendatang, Presiden AS ke-5 Donald Trump akan resmi berkuasa di Gedung Putih.
Trump dikenal dekat dengan Israel. Miliarder nyentrik itu bahkan menunjuk penasihat kampanyenya, David Friedman sebagai Duta Besar AS untuk Israel.
Friedman yang selama ini terang-terangan mendukung pencaplokan wilayah Tepi Barat oleh Israel dianggap sosok yang 'berbahaya' bagi Palestina.
Sementara, kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS disambut tepuk tangan Rusia. Bahkan Negeri Beruang Merah dianggap ikut andil membuat capres Republik itu bisa mengalahkan Hillary Clinton yang digadang-gadang jadi juara -- dengan cara melakukan dugaan peretasan.
Belakangan, Trump juga menunjuk CEO Exxon Mobil, Rex Tillerson sebagai Menteri Luar Negeri AS.
Penunjukkan tersebut menuai kritikan. Sebab, Tillerson dikenal dekat dengan Rusia dan Putin.
Kebijakan Donald Trump diprediksi jauh berbeda dengan pendahulunya. Namun, apakah kedekatannya dengan dua pihak yang dibikin marah oleh Obama lantas menghentikan konflik.
Tak semua orang berpendapat demikian. Sejumlah pihak bahkan menganggap, kebijakan Donald Trump bisa memicu pertempuran, bahkan dalam bentuk paling mengerikan: Perang Dunia III. Ini alasannya, seperti Liputan6.com kutip dari berbagai sumber, Jumat (30/12/2016):
1. Kedubes AS untuk Israel Pindah ke Yerusalem
Selama kampanye, Donald Trump berjanji untuk menjadi "teman terdekat" Israel.
Trump telah mengindikasikan bahwa ia akan mengambil pendekatan yang berbeda untuk penyelesaian pembangunan Israel di wilayah-wilayah pendudukan yang selama ini dikutuk oleh pemerintah AS di bawah kepemimpinan Obama.
Penasihat Trump untuk Israel dan Timur Tengah, yang belakangan ditunjuk jadi Dubes di negeri zionis, David Friedman mengatakan kepada Jerusalem Post bahwa Trump akan mewujudkan janjinya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv.
"Itu adalah janji kampanye dan kami punya keinginan untuk mewujudkannya. Kita akan melihat adanya perbedaan hubungan antara AS dan Israel dengan perspektif baru," kata Friedman seperti dikutip dari The Guardian.
Rencana itu menuai tentangan.
"Memindahkan kedutaan besar sama saja 'deklarasi perang'," kata Sheikh Ekrema Sabri, imam Masjid Al Aqsa Yerusalem, seperti dikutip dari Independent.
J Street, kelompok liberal pro-Israel juga menentang pemindahan tersebut, juga penominasian Friedman sebagai Dubes. "Keputusan yang sembrono, berisiko pada reputasi AS di kawasan dan dunia," kata mereka.
Sementara, Saeb Erekat, sekretaris jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengatakan, masalah Yerusalem adalah isu yang harus dinegosiasikan Israel dan Palestina -- yang juga menginginkannya sebagai ibu kota pada masa depan.
"Tak boleh ada keputusan yang mendahului negosiasi karea itu akan menghantikan proses perdamaian secara keseluruhan," kata dia.
Namun, dalam artikel berjudul, Moving the U.S. embassy to Jerusalem: ‘World War III’ or a simple reality check?, situs Israel, JNS.org mengutip pernyataan Lenny Ben David, mantan wakil duta besar Israel di Washington DC.
"Pemerintah Israeli menguasai Jerusalem barat. Jadi, setidaknya AS bisa memindahkan kedutaannya ke Jerusalem Barat," kata dia.
Menurutnya, ancaman Perang Dunia III kerap dilancarkan pihak Palestina.
Advertisement
2. Pembatalan Kesepakatan Nuklir Iran
Semasa kampanye pemilu presiden AS, Donald Trump lantang mengkritik perjanjian yang mengharuskan Iran membatasi program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi internasional terhadap industri minyak dan keuangan Negeri Para Mullah itu.
"Setiap panglima tertinggi yang layak membela negara ini harus bersiap untuk 20 Januari 2017 (hari pelantikan presiden AS) dan merobek kesepakatan yang merupakan bencana ini," kata Trump pada September 2015.
Miliarder yang terpilih sebagai presiden ke-45 AS tersebut juga mengatakan bahwa perjanjian itu merupakan kesepakatan terburuk yang pernah dinegosiasikan.
Menanggapi hal itu, Menteri Pertahanan Iran, Hossein Dehghan memperingatkan, presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump dapat memicu perang dunia dan 'kehancuran' Israel serta negara-negara kecil di Teluk Persia jika ia memprovokasi kekuatan di Timur Tengah.
"Tak peduli seorang pebisnis atau asistennya yang memilih jalan berbeda bagi dia, namun ini telah memicu kegelisahan khususnya di kalangan negara-negara Teluk Persia. Mengingat karakter Trump dan dia mengukur segala sesuatunya dalam dolar, tampaknya tidak mungkin dia akan mengambil tindakan tegas untuk melawan negara kita," kata Dehghan di Teheran seperti dilansir kantor berita Mehr dan dikutip Daily Mail.
"Musuh mungkin ingin berperang dengan kita berdasarkan perhitungan yang salah dan hanya mempertimbangkan kemampuan materi mereka. Perang berarti kehancuran rezim Zionis (Israel) dan akan melanda seluruh wilayah hingga akhirnya memicu perang dunia," imbuhnya.
Dehghan juga mengingatkan bahwa perang nantinya akan menghancurkan kota-kota kecil di pantai selatan Teluk Persia seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Qatar yang merupakan sekutu Barat.
Direktur CIA, John Brennan telah memperingatkan Trump bahwa menganggu gugat perjanjian nuklir dengan Iran adalah "kebodohan tingkat tinggi".
"Saya pikir itu akan menjadi bencana. Benar-benar akan menjadi bencana: bagi sebuah pemerintahan untuk merobek kesepakatan yang telah dibuat oleh pemerintahan sebelumnya. Ini belum pernah terjadi sebelumnya," tutur Brennan.
Menurut Brennan, upaya menghancurkan kesepakatan tersebut akan memicu negara-negara lain di kawasan terlibat dalam konflik militer.
Hal senada diungkapkan oleh Jacob Parakilas, seorang ahli kebijakan luar negeri AS di sebuah think tank yang berbasis di London, Chatham House.
"Tak ada keuntungan bagi AS untuk membatalkan kesepakatan itu pada tahap ini," kata Parakilas.
"Nyaris mustahil untuk meyakinkan Eropa, Rusia, dan China untuk mengembalikan sanksi terhadap Iran jika tidak bukti pelanggaran dari yang bersangkutan...," tambahnya.
Iran telah lama didukung kelompok bersenjata yang berkomitmen "menghapus" Israel dari peta dunia. Israel sangat ketakutan bahwa program nuklir Iran digunakan untuk tujuan tersebut.
3. Rusia Versus NATO
Menurut sebuah laporan terbaru yang diterbitkan Council on Foreign Relations, terdapat sejumlah potensi konfrontasi yang terjadi pada 2017. Salah satunya, antara Rusia dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Dalam laporan, 'Preventive Priorities Survey', lembaga itu juga menyoroti krisis Korea Utara.
"Konfrontasi militer antara Rusia dan NATO mungkin bisa membawa seluruh dunia dalam kondisi perang, memicu Perang Dunia III. Sebab, sekutu Rusia dan AS di seluruh dunia dipaksa untuk mengambil posisi dan menyediakan sumber daya," demikian seperti dikutip dari situs International Business Times.
Council on Foreign Relations juga menyoroti kemungkinan serangan teror di tanah AS, serta kekerasan yang kian intensif antara Turki dan pasukan Kurdi -- sebagai potensi konflik besar lain yang bisa menimbulkan dampak yang berlangsung sepanjang tahun depan.
Bukan berarti konfrontasi tersebut tidak dapat dicegah. "Dengan pemerintahan presiden baru, penting untuk membantu para pembuat kebijakan untuk mencegah timbulnya krisis potensial yang bisa mengancam kepentingan AS," kata Paul B. Stares dari Center for Preventive Action, yang menjadi bagian dari Council on Foreign Relations,
Ketika ancaman konflik terus berkembang, dan transisi kekuasaan berlangsung di seluruh Eropa dan AS, hanya satu hal yang pasti pada tahun 2017: kita harus bersiap menghadapi banyak hal tak terduga seperti yang terjadi pada 2016.
Advertisement
4. Kebijakan Nuklir Donald Trump
Dunia masih bertanya-tanya apa arti cuitan Donald Trump yang menyerukan agar AS meningkatkan kemampuan nuklirnya.
"AS harus memperkuat dan memperluas kemampuan hingga tiba pada waktunya dunia dunia sadar terkait nuklir," cuit Trump pada 22 Desember 2016.
Tim transisi Trump buru-buru meyakinkan publik bahwa sang presiden terpilih tak berniat memperkuat persenjataan nuklir.
Namun, seperti dikutip dari CBS, dalam wawancara dengan MSNBC, Trump menyebut akan ada 'perlombaan senjata' yang terjadi.
Penulis Eric Schlosser berpendapat, pernyataan Trump sangat menganggu para pemimpin juga warga dunia.
"Saya berpendapat, kebijakan senjata nuklir sangat serius, implikasinya juga tak main-main," kata Schlosser.
Presiden Rusia, Vladimir Putin segera merilis pernyataan yang senada seperti diucap suami Melania itu.
"Kita perlu memperkuat potensi kekuatan nuklir strategis militer," kata Putin. "Khususnya kompleks rudal yang punya kemampuan menembus apapun sistem pertahanan rudal yang telah ada maupun prospektif."
Menurut Ploughshares Fund, baik Rusia dan AS setidaknya punya 7.000 hulu ledak nuklir.
Dalam artikelnya yang berjudul, World War Three by Mistake, yang dipublikasikan di The New Yorker, Schlosser mengatakan seorang presiden AS punya waktu 6 menit untuk merespon informasi tentang serangan nuklir yang terjadi dalam waktu dekat.
Temperamen seorang presiden mungkin tak terlalu berpengaruh. Dengan kata lain, sikap Trump yang emosional mungkin tak sebahaya yang dikira.
Apapun, sistem persenjataan nuklir adalah sesuatu yang bahaya.
"Perang nuklir bisa dipicu oleh kesalahan terlepas dari seberapa bijaksana atau stabil emosi seorang presiden," kata Schlosser.
"Bahkan orang yang paling bijaksana, paling tenang, yang paling stabil mungkin tidak dapat membuat keputusan yang benar," kata Schlosser.