Sukses

Waspada, Film Kartun Ini Bukan untuk Anak-Anak

Mungkin banyak orangtua yang belum mengerti, Sausage Party dan Deadpool bukan film untuk anak-anak.

Liputan6.com, Sydney - Bayangkan adegan film ini. Sekelompok tokoh sedang pesta orgi gila-gilaan yang melibatkan, antara lain, masturbasi, seks oral, dan beberapa penggunaan kelereng-kelereng di liang dubur.

Suatu adegan lain menanmpilkan sosok yang sedang bernapas tersengal-sengal karena sedang sekarat, sementara itu sosok yang lain melihatnya sebagai kesempatan untuk memperkosa dan kemudian menghabisi pihak yang sedang sekarat.

Tapi, tokoh-tokoh itu bukan orang melainkan kartun. Meski demikian, apakah kita membiarkan anak berumur 7 tahun menontonnya?

Kalau adegan itu terdengar keterlaluan, bagaimana dengan adegan suasana seks dengan tema kalender dan suasana  seperti di klub penari telanjang?

Dikutip dari News.com.au pada Selasa (3/1/2017), begitulah cuplikan adegan dari dua film keluaran 2016, yaitu Sausage Party dan Deadpool.

Yang mengejutkan, masih saja ada orangtua yang mengajak anak-anaknya menonton dua film itu.

Ada suatu tren yang menganggu di kalangan keluarga pencinta tontonan film sehingga memunculkan pertanyaan tentang batasan oleh orangtua untuk jenis film yang disaksikan anak-anak mereka.

Diduga, dengan naik daunnya tayangan superhero, kartun, dan CGI untuk orang dewasa, maka bertambah banyaklah anak-anak yang terpapar kepada konten dewasa.

Peringatan penggolongan semisal adanya kekerasan, kalimat kotor, dan kisah seksual serta penggunaan narkoba sepertinya tidak cukup ampuh bagi para orangtua yang memiliki anak kecil.

2 dari 3 halaman

Pembiaran oleh Orangtua

Cuplikan film Sausage Party, yang sebenarnya untuk dewasa.(Sumber news.com.au)

Seorang ibu bernama Kate dari Sydney, Australia, kaget ketika ibu lain di sekolah anaknya memperbolehkan putra berusia 9 tahun untuk menonton Sausage Party, film teranyar besutan Seth Rogen.

Katanya, "Suami saya sudah menunjukkan pratayang kepada saya, jadi saya tahu apa yang ada di dalamnya, yang tidak cocok untuk ana-anak. Saya jelaskan kepada ibu itu karena menduga bahwa itu bukan kartun untuk anak-anak."

"Tapi ia hanya angkat bahu. Dalihnya adalah karena putranya punya abang yang sudah lebih dewasa."

Sepertinya hal seperti itu menjadi semakin lazim. Coba pergi ke bioskop, taman bermain anak, atau ke forum-forum pengasuhan anak, dan ada saja para orang tua yang mengajak anak-anaknya menonton film dengan isi untuk orang dewasa, tanpa peduli dengan penggolongan ataupun trailer berpita merah.

Lisa, seorang ibu dua anak dari Queensland dan sekaligus mantan manajer bioskop, mengatakan bahwa ia kadang-kadang melihat orangtua yang datang pada akhir pekan atau libur sekolah sambil membawa anak-anak mereka menyaksikan film Ted si boneka beruang, dengan penggolongan untuk dewasa.

Film ini adalah buah karya para penulis Family Guy dan ada adegan menghisap ganja, ditambah lagi dengan segala rupa kegaduhan dewasa. Misalnya Ted yang berpesta dengan sekelompok pekerja seks yang salah satunya membuang tinja untuk kesenangan pesta.

Lisa mengatakan bahwa, walaupun selalu memperingatkan para orangtua tentang penggolongan film dewasa, kebanyakan para orangtua tetap saja mengajak anak-anaknya.

"Kalau anak-anak itu datang bersama dengan seorang dewasa, secara legal kita tidak bisa melarang mereka, tapi jika orangtua atau pengasuhnya pergi meninggalkan bioskop, anak-anak itu juga harus pergi," ujar Lisa.

3 dari 3 halaman

Dampak di Masa Depan

Cuplikan film Ted, yang sebenarnya untuk dewasa.(Sumber news.com.au)

Menurut ahli psikologi klinis Sally-Anne McCormack, aturan dan penggolongan film dilakukan karena ada alasannya.

"Anak-anak belum tentu mengerti konsep-konsep di segala situasi yang mereka saksikan, tapi pada suatu saat mereka akan mengerti apa yang dilihat dan masih berdampak pada beberapa tahun sesudahnya."

Sally-Anne menjelaskan bahwa paparan anak kepada minum-minum dan merokok sehingga menjadi norma bagi mereka memang mungkin tidak berdampak sekarang, tapi dampaknya muncuk ketika mereka menjadi dewasa.

"Anak-anak melihat orang-orang tertentu dalam film, lalu melihat orangtua mereka, yaitu orang-orang yang akan mereka teladani, jadi kenapa kita heran kalau ketika dewasa mereka melontarkan guyonan kasar dan saling hina, atau menyalahgunakan alkohol dan narkoba kalau kita membiarkan mereka berkembang sambil menonton dan melihat hal-hal demikian sebagai perilaku normal?"

"Jika kita tertawa dan menunjukkan bahwa untuk menjadi sesuatu kita menerima perilaku itu, sehingga anak-anak bergumul untuk mencerna kenyataan dari apa yang mereka saksikan dalam film dan jika mereka ditunjukkan bahwa hal ini normal, maka begitulah jadinya ketika mereka dewasa."

"Mereka mempercayai bahwa perilaku-perilaku itu adalah normal dan dapat diterima, padahal tidak demikian."

Sebagai seorang mantan guru, Sally-Anne juga melihat bagaimana akibat-akibat pembiaran itu merasuk dalam kehidupan sekolah.

“Sungguh sangat mungkin dan logis bahwa mereka menonton perilaku kasar, kelakuan mesum dan berperilaku demikian di halaman main , dan tidak berlebihan kalau dikatakan demikian, karena begitulah yang sesungguhnya.”

“Ketika para orangtuan mengajak anak-anak mereka saat berusia 7, 8 atau 9 saat mereka tidak terlalu mengerti konsep, bukan berarti mereka tidak menirunya dan bukan berarti tidak membekas selama beberapa tahun. Nah, di situlah permasalahannya.”

"Bukan sekedar mereka duduk menyaksikan sumpah serapah dan menurut saya banyak orangtuan menganggap itu sekedar ucapan sampah yang didengar anaknya di manapun. Tapi juga isu yang melandasinya, dan bahwa anak-anak benar-benar bisa terpengaruh."

"Mereka itu seperti spons, hebat sekali…tapi kita harus memastikan bahwa mereka menyerap informasi, perilaku, konsep, dan moral yang kita junjung."