Liputan6.com, Tel Aviv - Pengadilan militer Israel menjatuhkan vonis bersalah atas Sersan Elor Azaria pada Rabu 4 Januari 2017.
Prajurit negeri zionis itu dinyatakan bersalah menembak mati pemuda Palestina, pelaku penyerangan dengan pisau, yang saat itu dalam kondisi tak berdaya.
Baca Juga
Azaria (20) menembak Abdul Fatah al-Sharif (21) di bagian kepala, saat korban dalam kondisi tergeletak tak bergerak di jalanan. Insiden tersebut terjadi di Hebron, Tepi Barat pada 24 Maret 2016 lalu.
Advertisement
Sharif dan rekannya, Ramzi Aziz al-Qasrawi (21) sebelumnya menikam hingga melukai seorang serdadu Israel.
Aksi mereka kemudian dihentikan tembakan aparat yang melukai Sharif dan menewaskan Qasrawi.
Rekaman yang diambil dari lokasi kejadian beberapa menit setelahnya, yang diambil seorang warga Palestina dan disebarkan organisasi HAM Israel B'Tselem, menunjukkan Sharif dalam kondisi hidup.
Namun, seorang tentara, yang kemudian teridentifikasi sebagai Azaria serta merta mengarahkan moncong senjatanya dan menembak Sharif hingga tewas dari jarak dekat, hanya beberapa meter.
Azaria beralasan, kala itu ia mengira Sharif mengenakan sabuk berisi bahan peledak di balik jaketnya, namun, jaksa menuding, motif terdakwa menembak adalah balas dendam.
"Terdakwa melanggar aturan keterlibatan tanpa pembenaran secara operasional, ketika seorang teroris terbaring dalam kondisi terluka dan tidak menghadirkan ancaman langsung bagi terdakwa atau orang lain yang ada di sana," demikian dakwaan jaksa, seperti dikutip dari BBC, Rabu (4/1/2017).
Para hakim membutuhkan waktu 2,5 jam untuk membacakan vonis, yang menegaskan bahwa rekan dan komandan batalion tempat Azaria bertugas, tak menyebutkan kekhawatiran yang sama -- bahwa korban mengenakan sabuk bahan peledak -- saat diperiksa setelah insiden penembakan tersebut.
Apalagi, serdadu lain di depan penyelidik militer mengaku, ini yang diucapkan Azaria saat insiden terjadi, "Mereka menikam temanku dan mencoba membunuhnya -- dia layak untuk mati."Â
Panel yang terdiri atas tiga hakim militer menolak pembelaan terdakwa.
"Motif penembakan adalah bahwa ia merasa teroris itu layak untuk mati," kata Kolonel Maya Heller yang memimpin persidangan.
Sidang pengadilan Azaria menjadi sorotan publik Israel. Sejumlah orang menggelar aksi mendukung terdakwa, termasuk beberapa politisi senior.
Namun, sejumlah tokoh militer penting Tel Aviv berpendapat, aksinya tidak mencerminkan nilai-nilai yang dianut kemiliteran negeri zionis atau Israel Defence Forces (IDF).
Menanggapi putusan tersebut, keluarga terdakwa mengatakan, bukti yang menunjukkan Azaria tak bersalah telah dikesampingkan.
"Pengadilan tak mempertimbangkan fakta bahwa lokasi kejadian adalah area penyerangan (oleh warga Palestina)," kata dia.Â
Sementara, ibu terdakwa, Oshra, berteriak pada hakim usai vonis bersalah dibacakan. "Harusnya Anda malu pada diri sendiri," kata dia.
Tim pembela akan mengajukan banding atas putusan tersebut.
Pengadilan belum menjatuhkan pidana pada terdakwa. Pelaku pembunuhan di Israel bisa dijatuhi hukuman maksimal 20 tahun penjara.Â
Sementara itu, ayah korban Sharif, Yusri, berpendapat Azaria layak dihukum seumur hidup atas perbuatannya itu.
Sari Bashi, direktur advokasi Israel di Human Rights Watch, berpendapat, keputusan hakim pengadilan militer adalah langkah yang positif.
"Mengekang penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh tentara Israel terhadap warga Palestina," kata dia.
Aparat Israel menyebut, penembakan yang dilakukan Azaria terjadi di tengah gelombang serangan dengan menggunakan pisau, senjata api, maupun kendaraan yang digunakan untuk menabrak sasaran yang dilakukan warga Palestina atau Arab di Tepi Barat. Sudah 42 orang tewas jadi korban aksi tersebut sejak September 2015.
Sebaliknya, Human Rights Watch mengatakan, video bukti maupun keterangan saksi memicu pertanyaan serius tentang penanganan oleh militer Israel -- yang telah menembak mati warga Palestina pelaku serangan atau percobaan serangan -- dalam setidaknya 150 kasus.Â