Liputan6.com, New York - Di akhir tahun 2016, warga Indonesia dikejutkan dengan perampokan di Pulomas, Jakarta, yang disertai dengan pembunuhan seorang arsitek dan keluarganya. Pembunuhan dilakukan dengan sangat keji.
Dalam sejarah, terdapat pula kisah pembunuhan berantai yang mendunia. Salah satunya yang dilakukan Jack the Ripper. Bahkan beberapa cerita menjadi inspirasi pembuatan film.
Advertisement
Baca Juga
Namun demikian, sebenarnya ada beberapa lagi pembunuh berantai yang tercatat dalam sejarah. Seperti dikutip dari listverse.com pada Jumat (6/1/2017), berikut ini adalah 8 pembunuh berantai yang ada di Eropa pada masa lalu:
1. Komplotan Peracik Racun, Italia, 331 SM
Setelah rentetan kematian warga akibat suatu wabah misterius, seorang budak akhirnya mengaku bahwa sekelompok pembantu rumah tangga meracuni majikan-majikan mereka.
Para penyidik memergoki 20 orang sedang meramu racun. Mereka bersumpah bahwa mereka sedang meracik obat. Untuk membuktikannya, mereka meminum sendiri racikan itu dan meninggal.
Kemudian, ada 170 pembantu rumah tangga lagi yang ditangkap dan terbukti bersalah. Tapi para penyidik berpendapat bahwa kasus ini bukanlah dengan maksud jahat.
Kasus ini bahkan merupakan catatan kasus pertama tentang gejala "malaikat belas kasihan."
Advertisement
2. Peter Stumpp, Prancis, 1564–1589
Setelah ditangkap dalam suasana perburuan tukang tenung, Peter Stumpp mengaku melakukan praktik ilmu hitam sejak berusia 12 tahun. Ia juga mengaku telah membunuh 14 anak termasuk putranya sendiri dan dua wanita hamil.
Stumpp juga mengaku memiliki ikat pinggang yang dapat mengubahnya menjelma menjadi serigala. Stumpp kehilangan tangan kirinya dan itu pun dianggap pertanda ia seorang serigala "jadi-jadian."
Seluruh keluarganya dicurigai memiliki hubungan sedarah (incest) dengan sesama mereka dan merupakan iblis-iblis kiriman setan.
Stumpp dihukum mati pada peringatan Halloween dengan cara diikat pada roda besar suatu pedati. Dagingnya dilucuti di 10 tempat dengan menggunakan tang panas, bagian belakang kaki-kakinya dirusak dengan mata kapak, kepalanya dipenggal, dan kemudian tubuhnya dicampakkan dalam api.
Putri dan kekasih selingkuhan Stumpp dikuliti hidup-hidup dan digantung hingga meninggal sebelum dilemparkan ke dalam api yang sama. Semua itu dilakukan untuk menjadi peringatan akan perilaku Stumpp.
3. Darya Nikolayevna Saltykova, Rusia, 1762
Darya Nikolayevna Saltykova bisa mendadak marah mengamuk tanpa alasan yang jelas. Ada beberapa yang menganggap ia marah kepada pacarnya yang berselingkuh dengan seorang wanita muda ketika Saltykova sendiri sedang berselingkuh dengan pria itu.
Saltykova terkenal telah menyiksa 139 orang hingga meninggal dunia, termasuk sejumlah anak, perempuan hamil, dan para wanita muda yang dianggapnya sebagai pesaing.
Ia tidak sungkan mematahkan tulang, menelanjangi para korban dan menyeretnya ke kawasan beku Rusia, menyiramkan air mendidih, dan beberapa cara lainnya.
Saltykova sepertinya tidak pernah ingin membunuh kaum pria, tapi ia menikmati ketika para ayah dan suami korban-korbannya berduka. Seorang pria lokal bahkan kehilangan tiga istri karena kemarahan Saltykova.
Wanita itu akhirnya tertangkap. Ia kemudian dirantai dan dipukuli di depan umum sambil mengenakan papan tanda yang membeberkan kejahatannya. Ia kemudian dihukum kurungan seumur hidup di rubanah sebuah biara.
Advertisement
4. Gesche Gottfried, Jerman, 1813–1827
Dalam kasus "malaikat belas kasihan" lainnya, seorang wanita Jerman bernama Gesche Gottfried kedapatan bersalah telah membunuh 15 orang dalam waktu 15 tahun. Motivasinya menjadi perdebatan selama berabad-abad.
Ia diduga mengidap gejala Munchausen yang menyebabkannya membesar-besarkan segala aspek kehidupan dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Ia meracuni para korban supaya sakit, agar memiliki alasan untuk "merawat" mereka. Dengan demikian, ia meraih reputasi sebagai seorang yang welas asih dan peduli, bahkan mendapat julukan "Malaikat dari Bremen."
Pada hari ulang tahun ke 43, Gottfried ditangkap setelah salah satu calon korbannya menemukan serbuk putih pada makanan dan mengadu kepada dokternya. Ternyata, serbuk itu adalah arsenik.
Empat tahun kemudian, ia menjadi yang terakhir yang dijatuhi hukuman mati di depan publik di Bremen.
5. Manuel Blanco Romasanta, Spanyol, 1844–1852
Di masa kini, banyak ahli psikiatri memandang bahwa kasus Manuel Blanco Romasanta merupakan kecerobohan penerapan psikiatri di Spanyol.
Romasanta berasal dari Portugal dan sering dipekerjakan sebagai pemandu di kota tempat tinggalnya. Ia pulang dengan membawa surat untuk keluarga-keluarga klien bahwa para klien itu senang di tempat tujuan.
Ada beberapa orang yang mulai meragukan pengakuan tersebut setelah Romasanta menjual pakaian-pakaian dari mantan klien dan sabun yang disebut-sebut dibuat dari lemak manusia.
Ketika ditangkap, Romasanta menagku ia menderita likantropi, sehingga ia mendapat julukan "Serigala Jadi-jadian dari Allariz."
Para dokter menggunakan perangkat uji berdasarkan frenologi, yang menyebutkan bahwa kondisi mental seseorang dapat ditentukan oleh bentuk dan ukuran muka dan tengkorak.
Para dokter berkesimpulan bahwa tidak ada yang salah dengan pria itu. Menurut para dokter, Romasanta membunuh karena ia adalah "kriminal licik yang bisa melakukan apapun" yang beraksi "dengan kehendak bebas, kebebasan, dan pengetahuan."
Ia mengaku telah membunuh 14 orang, tapi hanya terbukti bersalah telah membunuh 9 orang. Lima orang lagi dianggap memang meninggal karena serangan serigala.
Para ahli psikiatri modern berpendapat bahwa Romasanta menderita gangguan kepribadian antisosial.
Advertisement
6. Catherine Wilson, Inggris, 1855–1861
Catherine Wilson adalah seorang "malaikat belas kasihan" yang mampu meyakinkan para korbannya agar menyertakan dirinya dalam surat waris. Ada 30 pasien dalam perawatannya yang meninggal dunia.
Namun demikian, ia hanya diketahui telah membunuh suaminya dan pasien sebelumnya yang jasadnya terpaksa diangkat lagi dari makam. Ia juga berupaya memberikan asam sulfurik kepada seorang korban yang cukup untuk membunuh 50 orang.
Anehnya, hakim dalam persidangan pertama tidak mendapatinya bersalah. Polisi melanjutkan penyidikan dan menangkap Wilson ketika sedang turun dari dermaga.
Wilson kemudian didakwa dengan pembunuhan 7 pasien, tapi hanya bisa diadili untuk 1 korban saja.
Pada peradilan ke dua, Wilson terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman gantung. Ia adalah wanita terakhir yang dihukum gantung di depan publik di London.
7. Juan Diaz de Garayo, Spanyol, 1870–1879
Di Spanyol, istilah sacamantecas digunakan untuk menjelaskan tentang sosok monster yang menyedot lemak dari mayat seseorang untuk dipakai dalam berbagai keperluan.
Juan Diaz de Garayo dikenal sebagai "El Sacamentacas." De Garayo mencekik 5 wanita dan seorang remaja putri berusia 13 tahun hingga meninggal. Ia pun menyerang 4 orang wanita lainnya. Keluarga De Garaya mencoba menjelaskan bahwa para korban diserang oleh seorang sacamentacas.
Kebanyakan korbannya adalah pekerja seks komersial yang coba dirayunya, tapi menolak pria itu karena tawaran pembayaran yang terlalu rendah. Akhirnya, de Garayo berhenti menawarkan uang dan membunuh serta memerkosa para korban.
Setelah dua upaya gagal yang hampir menyebabkannya tertangkap, de Garayo "istirahat" membunuh selama 4 tahun. Pada akhirnya, terungkaplah keterlibatannya dalam kematian para korban.
Ia ditangkap saat kembali ke kampung halaman. Pada 1881, de Garayo dihukum mati dengan cara dicekik dan dipajang di depan umum selama 10 jam untuk kemudian dikuburkan dalam makam tanpa tanda.
Advertisement
8. Pembunuh Berantai di Bochum, Jerman, 1878–1882
Pembunuh berantai di Bochum melibatkan serangan seksual dan pembunuhan yang merenggut 8 nyawa wanita antara 1878 dan 1882. Para korban diperkosa, dicekik, dan dimutilasi sewaktu bekerja atau berjalan sendirian di sekitar Bochum, Jerman.
Walaupun ada seorang pria yang sudah dhukum mati terkait kasus itu, banyak orang berpendapat bahwa kasus itu belum tuntas karena kejahatannya berlanjut selama 4 bulan sesudah hukuman mati.
Hal itu menyebabkan banyak perubahan dalam sistem peradilan Jerman. Hukuman mati dihidupkan lagi setelah 15 tahun untuk memastikan kepada warga Bochum bahwa pelakunya dihukum berat karena kejahatannya.
Pembunuhan seks di Bochum juga membawa pandangan baru tentang peran korban dan pelaku dalam kasus-kasus serangan seksual dan pemerkosaan. Kasus itu juga mencetuskan hadirnya istilah Lustmord, yaitu "membunuh demi kenikmatan."