Liputan6.com, London - Ratu Elizabeth II tak bisa merayakan Natal dan Tahun baru seperti biasanya karena sakit. Kekhawatiran soal kesehatan penguasa monarki Inggris Raya itu pun menyebar ke seluruh dunia.
Kelompok Australian Monarchists League bahkan meminta para anggotanya bersiap jika sang ratu mangkat.
Baca Juga
Meski sudah sepuh dan telah mundur dari 25 organisasi yang dipimpinnya, menurut survei Ipsos MORI pada April 2016, hanya 20 persen responden setuju jika Elizabeth II menyerahkan taktanya pada putra mahkota, Pangeran Charles.
Advertisement
Popularitas Ratu Elizabeth II dan Kerajaan Inggris melonjak drastis dalam dua dekade terakhir. Bahkan di Amerika Serikat.
Sebuah jajak pendapat CNN yang diadakan jelang Diamond Jubilee -- atau peringatan 60 tahun bertakhta -- pada 2012 menyebut, 82 persen rakyat AS punya pendapat yang baik terkait Ratu Inggris.
Jumlah itu naik drastis dibandingkan 1997, yang hanya 47 persen.
Hasil itu tak mengejutkan. Tahun 1997 adalah momentum peristiwa yang jadi tantangan besar untuk Ratu Elizabeth II yang membuat reputasinya terancam: kematian Putri Diana.
Skandal lain yang menghebohkan adalah terkait ulah putra kedua pasangan Diana dan Harry pada 2002.
Berikut dua skandal yang sempat membuat reputasi Kerajaan Inggris dan Ratu Elizabeth II terancam seperti dikutip dari situs International Business Times, Sabtu (7/1/2017):
1. Skandal Kematian Putri Diana yang Misterius
Kemarahan rakyat ditujukan pada Keluarga Kerajaan Inggris, menyusul kematian Putri Diana pada 1997 lalu.
Halaman depan tabloid The Sun, beberapa hari pascatragedi memuat artikel berjudul, "Where is our queen? Where is her flag".
Ratu Elizabeth dianggap tak empati atas kematian tragis mantan menantunya itu. The Sun juga mempertanyakan mengapa bendera setengah tiang tak dikibarkan di Istana Buckingham.
Keluarga kerajaan yang lebih memilih "mengurung diri" di Balmoral, Skotlandia, sementara jasad kaku Diana berada di London.
"Kenapa kita semua di sini, ketika ibu ada di London?" tanya William muda kepada sang ayah, Pangeran Charles, ketika itu, seperti dikutip dari buku kontroversial The Day Diana Died, karya Christopher Andersen.
Dalam bukunya, Andersen juga menggambarkan reaksi Ratu Elizabeth atas kematian Lady Di. Ia menuliskan, ibu mertua Diana itu lebih peduli dengan perhiasan kerajaan dibanding menenangkan keluarganya.
Segera setelah mendengar kematian Diana, Ratu Elizabeth kabarnya mengirimkan Konsul Inggris di Paris, Keith Moss, untuk menemukan perhiasan-perhiasan kerajaan yang mungkin dibawa atau dikenakan Princess of Wales. Moss pun mendesak otoritas Prancis untuk mengembalikan setiap perhiasan yang ditemukan di tubuh atau sekeliling Diana.
"Ratu khawatir tentang perhiasan. Kami harus menemukannya dengan cepat. Ratu ingin tahu, di mana perhiasan itu?," ujar Moss kepada kepala perawat di Paris Hospital, Beatrice Humbert, seperti dimuat Andersen dalam bukunya.
Namun tak lama, Moss lega menyusul tidak ditemukannya perhiasan kerajaan yang dikenakan Diana. Semua barang miliknya termasuk pakaiannya, telah dikirim ke Inggris oleh Mohammed Al Fayed, ayah dari Dodi Al Fayed--kekasih Diana yang ikut tewas dalam kecelakaan tragis di terowongan Pont de l'Alma.
Juga dikisahkan bagaimana Ratu Elizabeth menentang sikap Pangeran Charles yang bersikeras ingin menjemput jenazah mendiang mantan istrinya di Paris. Menurut kepala negara Inggris tersebut, Charles tak harus bertindak sejauh itu.
Meski demikian, Charles bersikeras dengan pendapatnya dan ia mendapat dukungan Perdana Menteri Tony Blair. Menurut mereka, publik akan bereaksi keras jika tak ada anggota keluarga kerajaan yang terbang ke Paris.
Isi buku itu telah dibantah pihak Istana Buckingham.
Belum lagi soal tuduhan dari ayah kekasih Diana, Dodi Al Fayed. Pengusaha Mohamed Al Fayed menuding pihak kerajaan ada di balik kematian putranya dan Diana.
Bahkan sebelum kecelakaan, Diana dianggap menjadi penyebab menurunnya reputasi sang ratu.
Menyusul perceraian dengan Charles pada 1992, hubungan Diana dan Ratu retak.
Saat Diana terlibat dalam banyak kegiatan amal di seluruh dunia, sosok sang ratu digambarkan dingin dan menjauh dari publik.
Tak hanya perceraian Charles dan Diana yang bikin ratu Inggris mumet berat. Pada tahun yang sama, putranya yang lain, Pangeran Andrew juga bercerai dari Sarah Ferguson.
Karena itulah, tahun 1992 dianggap Ratu Elizabeth II sebagai 'annus horribilis' -- tahun penuh kesialan.
Juga pada 1992, hak istimewa keluarga kerajaan dipertanyakan. Selama resesi pada tahun itu, Ratu Elizabeth II -- atas desakan publik -- mengumumkan bahwa ia akan membayar pajak penghasilan.
Subsidi sebesar US$ 1,3 juta bagi keluarga kerajaan, yang selama ini ditanggung pembayar pajak, juga dihapus.
Advertisement
2. Ulah Pangeran Harry
Tak hanya soal keuangan dan kemelut perkawinan, masalah juga dipicu ulah salah satu cucunya, Pangeran Harry.
Sejak kecil, putra bungsu Charles dan Diana tersebut memang dianggap anak bermasalah.
Pada 2002, ia harus menjalani rehabilitasi narkoba setelah mengaku mengonsumsi ganja beberapa kali dan menenggak alkohol saat berusia di bawah umur.
Seperti dikutip dari Telegraph, Harry yang kala itu berusia 17 tahun mengaku pada sang ayah, bahwa ia mengonsumsi ganja di sebuah pesta rahasia di Highgrove, kediaman Pangeran Charles di Gloucestershire.
Pembantu senior Charles kala itu meminta publik dan media melihat pengakuan Harry secara simpatik. "Sayangnya, ini adalah hal tak diinginkan yang harus dihadapi para orangtua," kata dia.
Tak beda jauh dengan Harry, Charles dikabarkan mulai mengonsumsi minuman keras sejak berusia 14 tahun.
Terkait Harry, ada satu isu yang mengganjal: soal siapa ayah kandung sang pangeran sesungguhnya.
Kala itu beredar kabar, ia sejatinya adalah putra perwira Inggris, James Hewitt yang pernah menjalin cinta dengan Diana.
Sebelum Harry sekolah di Eton, Pangeran Charles mengajaknya bicara dari hati ke hati.
Ia mengingatkan agar Harry tak percaya soal rumor itu. Charles memastikan bahwa itu tak benar.Â
Harry mendengarkan perkataan Charles tanpa interupsi. Selama ini ia memang mengidolakan Hewitt -- pahlawan perang dan komandan pasukan tank di Perang Teluk I.
Sementara itu, pada 2002, James Hewitt mengeluarkan pernyataan yang menegaskan bahwa ia bukan ayah kandung Harry.
"Saat aku bertemu Diana, dia (Harry) sudah berusia balita. Aku harus mengakui, ia lebih tampan dariku."