Liputan6.com, Naypyidaw - Rakhine atau dahulu disebut dengan Arakan, merupakan sebuah negara bagian yang terletak di barat Myanmar. Selama bertahun-tahun, kekerasan berulang kali terjadi antara warga mayoritas dengan muslim Rohingya yang tinggal di sana.
Setelah sebelumnya sempat terjadi krisis di Rakhine, Myanmar, pada 2012, kasus Rohingya kembali mencuat.
Penyerangan ke tiga pos perbatasan pada 9 Oktober 2016 lalu memicu dilaksanakannya operasi militer di Rakhine, tepatnya di wilayah yang menjadi permukiman warga muslim Rohingya. Menurut otoritas setempat, kebijakan itu merupakan langkah pembersihan terhadap segelintir orang yang mereka sebut sebagai kelompok militan dari kalangan Rohingya.
Advertisement
Di tengah perjalanannya, negara yang secara de facto dipimpin oleh Aung San Suu Kyi itu diduga telah melakukan sejumlah bentuk kekerasan kepada etnis minoritas tersebut.
Sekitar 30.000 warga Rohingya telah meninggalkan rumahnya di Rakhine. Berdasarkan analisis citra satelit dari Human Rights Watch, ribuan bangunan di desa-desa milik warga juga dibakar.
Namun, pemerintah Suu Kyi membantah tuduhan itu dan mengatakan bahwa tentaranya sedang berburu "teroris" di balik serangan mematikan di pos polisi pada Oktober lalu.
Aksi pemerintah Myanmar itu menjadi sorotan oleh sejumlah negara. Bahkan, menurut seorang Pejabat Senior dari Badan Pengungsi PBB (UNHCR), John McKissick, otoritas Myanmar telah melalukan pembersihan etnis Muslim Rohingya.
"Militer melakukan pembunuhan warga Rohingya di Rakhine, mereka memaksa mereka keluar ke negara tetangganya, Bangladesh," kata dia.
Sebelum membahas lebih jauh terhadap apa yang terjadi di Rakhine, siapa sebenarnya Rohingya dan bagaimana asal-usul etnis tersebut?
Jejak Muslim Rohingya di Myanmar
Berdasarkan beberapa literatur, Rohingya disebut telah berdiam di Rakhine sejak Abad ke-7, sebagian lainnya menyebut sejak abad ke-16. Nenek moyang Rohingya merupakan campuran dari Arab, Turki, Persia, Afghanistan, Bengali, dan Indi-Mongoloid.
Populasi mereka di Rakhine mencapai lebih dari 1 juta jiwa. Sebagian besar hidup di Kota Maungdaw dan Buthidaung di mana di sana mereka merupakan mayoritas.
Namun Pemerintah Myanmar mengklaim, Rohingya tidak memenuhi syarat untuk mendapat kewarganegaraan di bawah UU Kewarganegaraan yang disusun militer pada 1982.
Dokumen tersebut mendefinisikan bahwa warga negara adalah kelompok etnis yang secara permanen telah menetap dalam batas-batas modern Myanmar sebelum tahun 1823--tahun sebelum perang pertama antara Inggris-Myanmar.
Pemerintahan Jenderal Ne Win, mantan PM Burma, memasukkan 135 kelompok etnis yang telah memenuhi persyaratan. Dari daftar itulah yang masih digunakan pemerintah sipil Myanmar hingga saat ini.
Pemerintah kolonial Inggris disebut-sebut merupakan pihak yang mendorong migrasi Rohingya ke Myanmar. Ini yang memicu kebencian di dalam negeri negara itu, sehingga digunakanlah tahun 1823 sebagai acuan untuk menentukan kewarganegaraan.
Menurut keterangan Duta Besar Myanmar untuk Indonesia, U Aung Htoo, sebagian warga muslim yang datang saat penjajahan Inggris berjumlah sekitar 1 juta. Berdasarkan hukum 1982, mereka harus mengalami proses verifikasi nasional.
Dalam keteragan yang disampaikan Htoo kepada awak media di sela-sela Bali Democracy Forum pada 9 Desember lalu, disebutkan bahwa sebagian besar orang di Rakhine berasal dari Bengali yang saat itu masih masuk bagian India.
Wilayah tersebut kemudian pecah menjadi dua, yakni Benggala barat masuk ke India, dan Benggala timur masuk ke Pakistan timur yang dalam perkembangannya berubah menjadi Bangladesh.
"Jadi mereka yang berasal dari Bengali, mungkin berasal dari India atau Pakistan. Mereka datang dan tinggal di Myanmar. Lalu mereka kehilangan negara bagiannya sendiri, karena India dan Bangladesh juga tidak mau menerimanya, karena mereka merupakan orang Pakistan timur bukan Bangladesh," ujar Htoo.
Sementara itu sumber lain menyebut, warga muslim tersebut dikabarkan keturunan imigran dari Bangladesh pada era kolonial. Namun menurut analis dari CSIS, Gregory B. Poling, belakangan kisah ini terbukti palsu.
Pada 1799, seorang ahli bedah, Francis Buchanan, dengan perusahaan British East India berpergian ke Myanmar dan bertemu dengan warga muslim yang telah lama menetap di Rakhine. Mereka menyebut dirinya sebagai Rooinga atau penduduk asli Arakan.
Ini menandai bahwa warga muslim Rohingya sudah hidup di Rakhine setidaknya 25 tahun sebelum 1823.
Bahkan meski nama Rohingya terlalu tabu untuk diterima di Myanmar, sejarah menginformasikan secara jelas bahwa kelompok etnik itu sendiri telah berada di Rakhine sejak berabad-abad silam.
Sebuah populasi muslim yang signifikan disebut telah hidup di Kerajaan Mrauk-U yang memerintah Rakhine dari pertengahan abad ke-15 hingga akhir abad ke-18. Tak hanya itu, raja-raja Buddha dari Mrauk-U bahkan menghormati umat muslim.
Menurut Poling, bukti tersebut menunjukkan bahwa komunitas muslim itulah yang menjadi asal muasal Rohingya saat ini. Kelompok itu lantas berasimilasi dengan gelombang imigran dari Bangladesh selama dan setelah era jajahan Inggris.
Advertisement
Kasus Rohingya Versi Myanmar
Berdasarkan sensus yang diadakan pada 1931, terdapat 300 ribu Bengali Muslim yang hidup di Myanmar. Saat ini jumlahnya meningkat lebih dari tiga kali lipat, yakni mencapai 1 juta.
Menurut keterangan Dubes Htoo, Pemerintah Myanmar saat ini berusaha memverifikasi status kewarganegaraan sekitar 1 juta orang tersebut berdasarkan hukum kewarganegaraan yang berlaku.
Di Myanmar, terdapat empat jenis status kewarganegaraan. Pertama adalah original citizen, yakni mereka yang dapat menerima kewarganegaraan secara langsung karena nenek moyangnya tinggal sebelum 1823.
Kedua adalah naturalized citizen, yakni mereka yang dinaturalisasi karena tinggal dalam waktu tertentu di Myanmar. Ketiga, associate citizen dan keempat permanent residence.
"Jadi terdapat 1 juta orang yang perlu kami verifikasi menurut hukum kami. Karena pemerintah sebelumnya tidak melakukan verifikasi, maka pemerintah Aung San Suu Kyi yang akan melakukan verifikasi," ujar Dubes Htoo.
"Namun terakhir kali kami melakukan sensus pada 2015 terdapat orang yang tidak mau melakukan sensus tersebut. Mereka beragurmen tidak mau dikenali sebagai Bengali tapi sebagai Rohingya. Mereka mengatakan, kalau kami tidak memberi mereka status Rohingya, mereka tidak mau menerima kewarganegaraan," kata Htoo.
Namun menurut Htoo, dalam daftar 135 kelompok etnis yang Myanmar miliki, tidak ada etnis yang bernama Rohingya dan hanya terdapat Bengali. Hal tersebut dinilai sebagai salah satu akar masalah.
Daftar 135 kelompok etnis tersebut dibuat oleh Pemerintahan Jenderal Ne Win. Daftar yang dibuat oleh mantan perdana menteri Burma itulah yang masih digunakan pemerintah sipil Myanmar hingga saat ini.
"Saya tidak tahu mengapa mereka tidak mau menerimanya. Mereka mengatakan ingin dikenal sebagai Rohingya. Jika kami tidak mau memberi nama Rohingya, maka mereka tidak mau menerimanya," ujar Htoo.
"Namun berdasarkan sensus yang dilakukan Inggris, mereka menjulukinya sebagai Bengali. Karena saat berada di bawah pemerintahan Inggris, banyak orang datang dari India, termasuk dari Bengali," jelas dia.
Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Membantu Rohingya
Dalam menanggapi krisis yang dialami Rohingya, beberapa negara ASEAN menggelar sejumlah demo, tak terkecuali Indonesia. Namun beberapa pihak menganggap bahwa dalam membantu warga Rohingya, seharusnya perlu wujud konkret, bukan hanya sekedar unjuk rasa.
Ditemui di sela-sela International Seminar, Democracy, and The Challenges of Pluralism and Security, cendekiawan muslim Azyumardi Azra mengatakan bahwa sikap emosional tidak dapat memecahkan masalah Rohingya.
"Saya kira sikap emosional tidak perlu ya. Emosional tidak memecahkan masalah. Yang diperlukan itu seperti menggalang bantuan untuk tempat penampungan sementara yang lebih layak, obat-obatan, makanan, pakaian, itu yang saya kira harus dilakukan," ujar Azra.
Menurutnya, masyarakat Indonesia punya potensi sangat besar untuk membantu warga Rohingya. Seperti halnya yang pernah dilakukan untuk masyarakat Palestina, membangun rumah sakit di Gaza.
Selain dari masyarakat muslim sendiri, ia berpendapat bahwa pemerintah Indonesia harus lebih aktif dengan melakukan diplomasi pada dua level, yakni G to G (pemerintah ke pemerintah) dan upaya yang dapat dilakukan bersama-sama negara ASEAN.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Mantan Sekretaris Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan. Ditemui di sela-sela International Seminar, Democracy, and The Challenges of Pluralism and Security, di Bali pada Desember 2016 lalu, ia mengemukakan hal paling minimal yang dapat dilakukan ASEAN.
"Hal paling minimal yang bisa dilakukan ASEAN adalah bantuan kemanusiaan kepada warga di Rakhine, di mana mayoritas warga Rohingya harus dibantu dalam penghidupan, ekistensi, makanan, perumahan, obat-obatan, pendidikan," ujar Pitsuwan.
Menurutnya, ASEAN harus menunjukkan kepada dunia tentang kepedulian terhadap Rohingya. Ia menambahkan bahwa warga Rakhine, baik Buddha maupun Muslim, harus diyakinkan bahwa ASEAN peduli kepada mereka untuk menanggapi kesulitan yang sedang dihadapi.
"Kita juga harus melakukan hal yang sama bagi dua komunitas, tidak hanya umat Budha maupun Muslim, tapi untuk dua komunitas karena mereka juga menderita kemiskinan, dan merasa terpinggirkan dari layanan negara," ujar Pisuwan.
"Jadi hal paling kecil yang dapat dan harus ASEAN lakukan adalah dengan melakukan bantuan kemanusiaan dan melakukan pendekatan ASEAN, bukan pendekatan Malaysia, atau Brunei. Ini bukan tentang negara muslim di ASEAN, tapi ASEAN secara keseluruhan," imbuh dia.
Sejauh ini, Indonesia telah melakukan berbagai upaya terhadap Rohignya. Saat melakukan pertemuan dengan state counselour Myanmar, Aung San Suu Kyi, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, mengungkap hal-hal yang telah dan akan dilakukan Indonesia dalam membantu Myanmar.
Menurut keterangan Menlu Retno, hingga saat ini terdapat enam sekolah di Rakhine. Ia juga mengungkap bahwa Indonesia siap membantu Myanmar dalam mengembalikan situasi normal di Rakhine, termasuk di dalamnya adalah kerja sama atau bantuan kemanusiaan.
Tak hanya bantuan kemanusiaan, Indonesia juga mencoba membantu Myanmar dalam melakukan kerja sama jangka menengah dan panjang, yakni berupa capacity building untuk good governance dan penghormatan hak asasi manusia di bidang demokrasi.
Advertisement