Sukses

Kisah Fazham Fadlil, Berlayar Seorang Diri dari New York ke RI

Fazham Fadlil menghabiskan waktu hingga lima bulan untuk berlayar dari New York ke Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Sejak kecil, Fazham Fadlil (65) sudah mencintai laut. Setelah hidup selama 20 tahun di Amerika Serikat (AS), Fazham memutuskan untuk melakukan hal ekstrem: pulang ke kampung halamannya di Indonesia dengan berlayar seorang diri.

Fazham, yang dikenal pula sebagai Sam, lahir di Pulau Buluh, Riau. Sosoknya akrab dengan kehidupan laut sejak kanak-kanak.

Ketika dewasa, ia bekerja di sebuah perusahaan kapal pesiar mewah. Pekerjaannya membawa Sam menempuh perjalanan panjang ke luar negeri hingga akhirnya berlabuh di New York pada 1970-an.

"Sejak saat itu saya menetap di Brooklyn, salah satu kota di New York," ujar Sam seperti dikutip dari Brilio, Senin, (9/1/2017).

Selama tinggal di Brooklyn, ia sempat bekerja sebagai pencuci piring, penjual makanan di kereta, dan pengantar makanan. Sementara di malam harinya ia meluangkan waktu untuk membaca buku di perpustakaan umum dan mengambil kursus seni hingga suatu waktu ia mendapatkan pekerjaan tetap sebagai kaligrafer di sebuah studio desain grafis.

Seperti dikisahkan di dalam bukunya Mengajar Pelangi di Balik Gelombang, di saat yang sama ketika ia mulai hidup nyaman, gairahnya untuk kembali berlayar pun muncul. Sam kala itu mampu membeli sebuah perahu di Chesapeake Bay di Maryland.

Ia menamai perahunya itu "Stray". Dengan Stray, hasratnya untuk kembali ke Indonesia tak terbendung. Setelah memulai cukup banyak persiapan, tepatnya Desember 1992, Sam memulai perjalanan ekstremnya via laut dari New York ke Indonesia.

Setelah berlayar selama beberapa hari, Sam ternyata menghadapi cuaca dan gelombang yang tak pernah diduganya. Tujuh hari mengarungi lautan, pria itu memutuskan untuk kembali ke New York.

"Akhirnya saya putuskan untuk kembali ke New York karena saya takut tidak bisa menanganinya," cerita Sam.

2 dari 2 halaman

Tidak Menyerah

Namun Sam tidak menyerah. Enam bulan berikutnya ia melakukan persiapan kembali untuk mengarungi lautan.

Dalam perjalanannya, ia harus menyeberangi Samudera Atlantik, Laut Karibia, Terusan Panama, dan perairan terbesar di dunia, Samudra Pasifik. Setelahnya ia masih harus menyeberangi Selat Torres sebelum akhirnya memasuki Laut Arafura.

Hari pertama perjalanannya, ia mulai beradaptasi dengan gelombang. Rintangan pertamanya adalah arus teluk dari New York ke Panama.

Setelah itu Sam harus mengarungi Segitiga Bermuda yang misterius. Di sana ia berjuang menghadapi badai dan alat navigasi yang rusak.

Di lain waktu, ia juga dihadapkan pada tantangan lainnya. Termasuk sistem GPS yang rusak. Namun Sam beruntung, ia memahami astronomi.

"Setiap hari, saya membaca sebuah buku dan Alquran," kata pria itu.

Suatu waktu, mesin perahunya mati dan meninggalkan ia terombang-ambing di laut. Sembari menunggu angin untuk melanjutkan perjalanan, ia pun mengisi waktu dengan membaca.

Angin pun bertiup dan ia melanjutkan pelayarannya ke Panama melalui Mona Passage. Setibanya di Panama, ia pun dapat memperbaiki perahunya.

Ia harus membongkar mesin kapalnya. Seketika dana perjalanannya berkurang karena beberapa bagian ada yang harus diganti.

Sam lagi-lagi mendapat "pertolongan". Melalui teman-teman baru yang ditemuinya di perjalanan, ia mampu mengumpulkan uang untuk melanjutkan pelayarannya ke Indonesia. Ia pun siap untuk menghadapi Samudra Pasifik.

Dari Panama ia berlayar ke selatan menuju perairan Indonesia melalui Selat Torres. Sam sempat berhenti selama tiga hari di Papua Nugini.

Meski tak mudah, pelayarannya di Selat Torres berjalan lancar. Ia pun tiba di Laut Arafura, Indonesia, dan sempat berlabuh sementara di Bali sebelum akhirnya merapat di Tanjung Priok.

"Ketika tiba di Bali, saya tidak memiliki satu rupiah pun. Yang saya punya hanya US$ 5. Hal pertama yang saya lakukan setelah berlabuh adalah menelepon ibu saya," ujarnya.

Pelayaran Sam dilakukan selama lima bulan dan selama itu pula ia telah menempuh perjalanan sejauh 15.000 mil!