Liputan6.com, New York - Kompromat -- istilah lama dalam Bahasa Rusia itu belakangan kembali populer. Kata itu bisa diartikan sebagai compromising materials atau praktik menggunakan data rahasia lawan sebagai bahan untuk mencapai kompromi, atau dengan kata lain 'menyandera' pihak lain. Kali ini, korbannya disebut-sebut sebagai Donald Trump.
Seperti plot Perang Dunia, berdasarkan data yang belum terkonfirmasi dari salah satu mantan agen MI6 yang diserahkan pada CIA, Kremlin diduga memiliki material terkait Trump. Salah satunya, terkait dugaan adanya 'video cabul' yang dilakukan Presiden ke-45 AS terpilih di sebuah hotel di Moskow -- yang pernah diinapi Presiden Obama dan istrinya.
Baca Juga
Donald Trump membantah mentah-mentah tuduhan tersebut. "Itu semua kabar bohong. Hal-hal palsu, itu tidak pernah terjadi," kata Trump dalam konferensi pers perdana pasca-Pilpres 2016 pada Senin 10 Januari 2017.
Advertisement
"Itu didapat oleh lawan-lawan kita ... sekelompok lawan yang berkumpul, orang-orang 'sakit', dan mereka mendapat omong kosong itu secara bersama-sama."
Seperti dikutip dari News.com.au, Jumat (16/1/2017), dilihat dari sejarah, istilah 'kompromat' pernah jadi familiar di Barat, menjadi bagian dari berita utama yang membahas tentang geger kasus asusila: Skandal Profuo.
Skandal terjadi ketika Menteri Luar Negeri Era Perang, John Profumo, terlihat skandal dengan seorang PSK berusia 19 tahun pada 1961.
Meski Perang Dingin telah berakhir, intrik diplomatik 'hitam' itu terus lestari.
Pada 2009, misalnya, seorang diplomat Inggris di Moskow dipaksa mundur setelah video dirinya dengan dua PSK tampil di dunia maya. Juga ada kasus terkenal yang melibatkan mata-mata Anna Chapman.
Saat ini, dengan tuduhan yang diarahkan pada Trump, istilah 'kompromat' kembali tenar.
"Tidak, Kremlin tidak punya 'kompromat' ke Donald Trump," kata juru bicara Presiden Rusia Vladimir Putin. Namun, bantahan itu tak menghentikan desas-desus yang terlanjur liar.
Skandal Seks Diincar
Istilah tersebut diciptakan pada tahun 1930-an oleh polisi Rahasia Rusia. Yang merujuk pada praktik yang kemudian jadi spesialisasi mereka.
Kala itu istilah tersebut diartikan sebagai 'kotoran' (dirt). Sementara, kamus Oxford menuliskan artinya sebagai "informasi tentang aktivitas atau kehidupan pribadi seseorang yang bisa berdampak merusak jika diungkap".
Maka, tak heran jika istilah tersebut melibatkan seks.
Bukan sembarang hubungan seks, melainkan yang melibatkan mereka yang berkedudukan tinggi. Targetnya adalah mereka yang kaya, berpengaruh, atau terkenal.
Namun, bisa juga memanfaatkan skenario memalukan apapun, seperti ancaman soal keuangan atau penawaran kotor.
Kompromat memuncak di masa kepemimpinan Joseph Stalin. Para PSK, kurir, sopir, dan pembantu -- semua direkrut oleh agen mata-mata NKVD/KGB, untuk mengumpulkan informasi 'kotor' sebanyak mungkin.
Dan hotel adalah lokasi favorit.
Teknik di balik kompromat berubah dari waktu ke waktu. Jika sebelumnya dengan menyadapan atau menguping kamar -- kini caranya bertambah dengan peretasan.
Badan-badan intelijen memanen email yang sensitif, percakapan dunia maya, dan foto atau video pribadi. Misalnya seperti peretasan email pribadi mantan Menlu AS Hillary Clinton.
Motifnya selalu sama: mendapatkan kontrol atas individu yang kuat untuk memanfaatkan akses mereka ke materi sensitif bahkan ke kekuasaan yang dimiliki. Atau, untuk merusak mereka.
Namun, bukan hanya Rusia yang menguasai teknik seperti ini. "Intelijen di seluruh dunia menggunakannya," kata jutawan Rusia sekaligus mantan kepala KGB di Eropa Timur, Mikhail Lyubimov. "Kami bukan satu-satunya.
Sementara, whistleblower badan intelijen AS, Edward Snowden mengonfirmasi hal ini pada 2013. Ia mengekspose pengawasan elektronik meluas AS melalui program pengumpulan data massal seperti PRISM.
Kembali ke Donald Trump, kedatangannya ke Moskow untuk menghadiri ajang Miss Universe pada 2013 memicu klaim yang mendeskriditkan dirinya dalam hitungan hari sebelum resmi dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2017.
Trump, juga Kremlin, mengeluarkan bantahan keras. Namun, bak bumerang, kubu capres Republik tersebut juga sebelumnya memanfaatkan kompromat untuk melawan Hillary Clinton.
Sejumlah kabar bohong yang dirilis kala itu, salah satunya menyebut Hillary sebagai pemimpin lingkaran sindikat pedofil yang beroperasi di ruang bawah tanah mirip penjara di sebuah toko piza di Washington.
AFP melaporkan, mantan Kepala KGB Lyubimov berpendapat, tuduhan pada Trump mungkin 'dibuat-buat'.
"Dia bukan termasuk target saat berada di sini (Moskow, 2013)," dia menegaskan. "Sederhananya, ini adalah pukulan perpisahan dari Obama. Ini adalah kartu truf yang akan terus dimainkan melawan Trump dalam waktu yang lama."
Presiden Vladimir Putin tidak asing dengan kompromat. Ia adalah mantan perwira intelijen di KGB hingga 1991.
Kompromat sudah biasa di Rusia, wajar jadi bahan pembicaraan sehari-hari. Bahkan ada situs yang didedikasikan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan: kompromat.ru.
Selain John Profumo, ada juga kasus ketika seorang kolumnis surat kabar AS yang populer dipancing dalam plot percintaan sesama jenis saat mengunjungi Moskow pada tahun 1957.
KGB mengancam akan membuka fotonya jika dia tidak melakukan apa yang mereka inginkan. Namun, alih-alih menyerah, tapi Joseph Alsop -- nama target -- kemudian mengungkapkan kondisi yang ia hadapi ke Kedubes AS dan melarikan diri dari Uni Soviet.Â
Kini, kompromat dikombinasikan dengan strategi baru: berita palsu alias hoax.
Apa yang nyata atau fiktif, mana yang benar atau salah, kebenaran tentang yang sebenarnya terjadi kian tak jelas. Kita harus lebih cerdas memilah dan mengonfirmasi setiap informasi.Â
Advertisement