Liputan6.com, New York - Di bawah pengaruh kuat pihak Gereja di Eropa pada Abad Pertengahan, kegiatan-kegiatan seksual diatur dengan sangat ketat.
Walaupun ketatnya aturan, tentu saja warga tetap menikmasi hubungan intim. Ternyata, walaupun dengan aturan-aturan yang demikian ketat, kehidupan seks pada masa itu cukup menarik.
Advertisement
Baca Juga
Seperti disarikan dari Listverse.com pada Senin (16/1/2017), berikut ini adalah sejumlah hal menarik tentang seks pada masa itu:
1. Prostitusi Malu-malu
Prostitusi amat subur sepanjang Abad Pertengahan, tapi para rohaniwan dilaporkan tutup mata tentang itu karena menyadari bahwa banyak pria saat itu yang memerlukannya.
Alasannya, jika tidak ada prostitusi, maka kaum pria malah mencemari wanita baik-baik, atau bahkan menjurus kepada homoseksualitas.
Walaupun dapat diterima pada saat itu, undang-undang yang ada jelas memandang rendah pada profesi tersebut.
Para pekerja seks komersial (PSK) diwajibkan memakai jenis pakaian tertentu yang dibedakan dari wanita lainnya, harus tinggal di kawasan tertentu dalam kota, dan tidak punya hak di depan hukum.
Rumah-rumah bordil biasanya disamarkan sebagai wisma-wisma permandian atau toko kerajinan seperti rajutan.
Advertisement
2. Pernikahan Dibatalkan Gara-Gara Impoten
Kebanyakan negara Eropa pada Abad Pertengahan memiliki hukum yang memandang persenggamaan sebagai bagian integral dari upacara pernikahan.
Dengan demikian, jika ada pihak yang tidak mampu atau tidak mau melakukan prokreasi, pasangannya dapat mengajukan pembatalan.
Ketidakmampuan menjalankan kewajiban pernikahan dapat dibawa ke pengadilan dan seorang pria harus membuktikan bahwa secara jasmani ia mampu melakukan seks.
Ada beberapa catatan pengadilan kasus impotensi pada masa itu. Salah satu yang paling terkenal berlangsung pada 1198 antara Raja Philip II dari Prancis dan istri ke duanya, Ingeborg, putri dari Raja Valdemar I dari Denmark.
Karena alasan tertentu, Philip benci kepada Ingeborg dan tidak mau wanita itu menjadi permaisuri Prancis.
Ia bahkan berpura-pura tidak ada persenggamaan dalam pernikahan itu dan menyebutkan adanya "impotensi sementara."
3. Pencegah Kehamilan
Sejak dahulu kala, manusia telah mengembangkan sejumlah teknik untuk menghindari pembuahan.
Namun, belakangan ini para ahli sejarah menduga bahwa pemakaian alat kontrasepsi menurun selama Abad Pertengahan. Apalagi pihak Gereja Katolik memandang prokreasi sebagai pemberian Tuhan dan merupakan keseluruhan alasan seseorang untuk menikah.
Lagipula, menurut dugaan para cendekiawan, kaum wanita tidak tertarik membatasi kehamilan karena tingginya angka kematian bayi. Namun demikian, penelitian demografis mengungkapkan bahwa angka kehamilan menukik tajam pada wanita di atas 30 tahun, sehingg diduga adanya penggunaan cara-cara pencegahan kehamilan.
Walupun begitu, catatan-catatan tertulis praktik-praktik demikian amat sedikit karena pengaruh Gereja dan perlawanan sengit melawan kontrasepsi.
Para ahli sejarah berpendapat ada "budaya mulut-ke-mulut tentang kontrasepsi", yang diajarkan turun-temurun dari bidan ke bidan.
Senggama terputus (coitus interruptus) merupakan cara KB yang lazim, demikian juga alat KB dari tumbuhan, semisal ramuan getah dari akar bunga bakung dan inggu (Ruta graveolens).
Advertisement
4. Lesbian Dianggap Penyakit
Homoseksualitas memang menjadi bahasan yang hangat pada Abad Pertengahan, tapi utamanya fokus kepada kaum pria. Hanya ada sedikit bahasan tentang homoseksualitas di kalangan wanita.
Salah satu perundangan masa itu yang secara khusus membahas lesbianism ada dalam dokumen abad pertengahan di Prancis dan berjudul Li Livres de jostice et de plet--secara bebas diterjemahkan sebagai "buku keadilan".
Sodomi di kalangan wanita dijatuhi hukuman yang serupa seperti sodomi pada kaum pria, yaitu mutilasi untuk dua pelanggaran pertama, dan dibakar hidup-hidup untuk pelanggaran ke tiga.
Lesbianisme dipandang sebagai masalah kedokteran yang berkaitan dengan dua penyakit.
Pertama, berdasarkan tabig Galen pada masa Yunani Kuno yang menduga bahwa kekurangan seks dapat menyebabkan gumpalan dalam rahim wanita. Pengobatannya melibatkan orgasme dibantu pengolesan tapal panas oleh seorang bidan.
Kondisi lainnya disebut dengan “kupu-kupu rahim”. Ada pandangan bawha kaum wanita dapat memiliki benjolan seperti penis di luar vaginanya sehingga mereka ingin melakukan seks dengan wanita lain.
5. Praktik Berpakaian Lawan Jenis (Cross-Dressing)
Praktik berpakaian lawan jenis (cross-dressing) baru diterima belakangan ini dan masih dianggap janggal di berbagai bagian dunia.
Tentu saja, hal itu juga tabu di Inggris pada Abad Pertengahan walaupun tetap ada yang melakukannya.
Suatu penelitian Oxford University mengulas kasus ketika 13 orang wanita didakwa berpakaian seperti lawan jenis di Inggris pada abad ke-15. Sejumlah catatan yang ada menungkapkan bahwa hal itu lebih lazim dilakukan kaum pria.
Kebanyakan pelaku berpura-pura sebagai pelacur dan melakukannya untuk pemuasan seksual dirinya ataupun pasangannya.
Pihak penguasa pada masa itu bersusah payah untuk membasmi merebaknya praktik demikian dan menyebutkan hal tersebut sebagai 'pencemaran yang berasal dari budaya bawaan orang-orang asing'.
Advertisement
6. Posisi Seks Favorit
Pihak Gereja memandang seks sebagai cara mencapai tujuan akhir, prokreasi. Dengan demikian, posisi senggama 'missionary' menjadi patokan, yaitu pria di atas dan pasangan saling berhadapan muka karena diduga memberi kemungkinan terbesar untuk hamil.
Ada kekhawatiran bahwa posisi seks lainnya dapat mengacaukan keadaan alamiah. Misalnya, posisi seks dari belakang dianggap melebur batas antara manusia dengan hewan.
Seks oral dan anal amat dilarang oleh petinggi Gereja selama Abad Pertengahan karena tidak ada gunanya bagi prokreasi dan hanya demi kenikmatan seksual yang dipandang sebagai dosa.
Seiring berjalannya waktu, beberapa petinggi mengarah lebih progresif. Ada abad ke-13, rohaniwan Albertus Magnus dari Jerman mengurutkan 5 posisi seks, mulai dari yang paling natural ke yang paling tidak alamiah.
Posisi-posisi itu adalah 'missionary', bersamping-sampingan, duduk berdiri, dan dari belakang. Posisi ‘missionary’ tetap teratas dan yang lainnya "dipertanyakan secara moral, tapi tidak membawa dosa maut."
7. Hukuman Bagi Pendosa
Bicara soal hukuman, pihak Gereja tidak sembarangan, sehingga terbitlah buku-buku panduan hukuman bagi setiap jenis dosa.
Isinya disusun berdasarkan pencatatan jenis dosa yang didengar saat pengakuan dosa kepada rohaniwan, lalu diputuskanlah jenis hukuman yang setimpal. Ternyata, tidak terlalu banyak hukuman yang melibatkan seks.
Dari sejumlah buku panduan, yang paling berpengaruh adalah Paenitentiale Theodori karya Theodore dari Tarsus, yang menjabat sebagai Uskup Canterbury.
Menurut Theodore, pria yang bersebadan dengan pria lain atau dengan hewan dihukum penjara 10 tahun. Wanita yang bersebadan dengan wanita dijatuhi hukuman 3 tahun.
Jika pria melakukan masturbasi, maka ia harus menghindari daging selama 4 hari. Perawan dan janda yang melakukan masturbasi harus bertobat setahun penuh, sedangkan hukuman pada wanita yang telah menikah lebih berat lagi.
Ejakulasi ke dalam mulut dipandang sebagai yang paling jahat dan wajib dihukum seumur hidup.
Advertisement