Liputan6.com, Jakarta Seorang aktivis perempuan di Kenya menyerukan kepada para istri agar tidak berhubungan seksual dengan suami-suami mereka. Â Setidaknya, sampai pasangan mereka mendaftarkan diri sebagai pemilih dalam pemilu yang akan berlangsung pada 8 Agustus mendatang.
Aktivis sekaligus anggota parlemen Mishi Mboko mengatakan, bahwa seks adalah senjata ampuh dan akan berfungsi sebagai alat tawar menawar bagi mereka yang enggan mendaftarkan diri.
"Para perempuan, ini adalah strategi yang harus kalian pakai. Ini yang terbaik. Tolak para suami melakukan hubungan seksual sampai mereka menunjukkan kartu pemilih," kata Mboko seperti dikutip dari BBC, Rabu, (18/1/2017).
Advertisement
Ini bukan kali pertama aktivis perempuan Kenya mengadakan boikot seks.
Pada tahun 2009, aktivis perempuan mengadakan aksi itu selama satu pekan. Hal itu dilakukan untuk mendesak Presiden Mwai Kibaki dan PM Raila Odinga serta sekutu mereka berdamai pasca-sengketa.
Tak hanya di Kenya, seruan serupa terjadi di Jepang pada 2014. Saat itu, seorang politisi bernama Yoichi Masuzoe mengikuti pencalonan gubernur.
Latar belakang Masuzoe-lah yang membuat para wanita menyerukan boikot seks. Tahun 1989, ia pernah menyebut perempuan tak bakal becus mengurus negara apalagi saat mensturasi.
Selain Kenya dan Jepang, boikot seks juga dilakukan oleh aktivis di berbagai dunia. Alasan tindakan itu kebanyakan terkait masalah politik, sosial dan ekonomi.
Berikut adalah 5 boikot seks paling terkenal di seluruh dunia karena dianggap telah membawa perubahan, seperti Liputan6.com kutip dari MIC pada Rabu (18/1/2017):
Â
1. Liberia
Perempuan-perempuan Liberia turut berpartisipasi dalam mengakhiri konflik yang menewaskan lebih dari 250 ribu orang. Caranya dengan boikot seks yang dilakukan sejak tahun 2002.
Adalah Leymah Gbowee, yang memenangkan Nobel Perdamaian berkat aksi boikot seks ini.
Ia menyatukan perempuan Kristen dan Muslim untuk menolak berhubungan badan dengan suami-suami mereka sampai kekerasan dihentikan.
Merespons boikot tersebut, sebuah kelompok yang terdiri atas kaum pria kemudian meminta presiden Liberia untuk melakukan gencatan senjata dan menggelar dialog perdamaian dengan Ghana -- yang berujung dengan berakhirnya perang antara kedua negara pada tahun 2003.
Gerakan boikot oleh perempuan yang dimotori oleh Gbowee itu didokumentasikan dalam film berjudul Pray The Devil Back to Hell.
Advertisement
2. Kolombia
Pada September 2006, istri-istri dan pacar-pacar dari kelompok geng di kota Pereira, Kolombia membuat gerakan "La huelga de las piernas cruzadas". Atau dalam bahasa Indonesia berarti gerakan menyilangkan kaki menutup kemaluan.
Gerakan berlangsung 10 hari itu dilakukan demi menghentikan kekerasan antar geng.
Sebanyak 488 pembunuhan dilaporkan terjadi di kota itu sepanjang 2005. Dan 90 persen korbannya anggota geng berusia 14 hingga 25 tahun.
Menurut survei, aktivitas favorit anggota geng itu adalah bercinta. Bagi mereka berhubungan badan adalah manifestasi kekuasaan. Kemampuan mereka memikat para perempuan dianggap bukti kejantanan.Â
Meski awalnya sulit ditentukan apakah gerakan itu bisa berhasil, tapi setidaknya ada dampaknya empat tahun kemudian. Pada tahun 2010, angka pembunuhan antar geng turun 26,5 persen.
3. Filipina
Pada tahun 2011, kelompok perempuan dari Mindanao melakukan aksi boikot seks setelah bosan dengan kekerasan yang terjadi di dua desa di pulau itu.
Aksi itu cukup strategis ditambah lagi dengan penutupan jalan utama desa. Para wanita memutuskan untuk berada di rumah, tak melakukan apa-apa. Akibatnya, kegiatan perdagangan yang biasanya dilakukan perempuan pun terhenti.
Ibarat jatuh tertimpa tangga, sudah tak ada pemasukan keuangan dari para istri, mereka juga tak mendapat layanan seks.
Akibatnya para pria pun memutar otak, menghentikan kekerasan dan berdamai dengan lawan sehingga bisa meraih istri-istri mereka lagi.
Advertisement
4. Amerika Serikat
Pada tahun 2012 kelompok konservatif di Kongres menolak RUU Kontrasepsi.
Hal itu membuat sekelompok perempuan yang menyebut dirinya Liberal Ladies Who Launch menggelar aksi protes boikot seks dari 28 April hingga 5 Mei.
Aksi itu dimaksudkan untuk mengkampanyekan pentingnya kontrasepsi bagi pria dan wanita.
Dalam website, mereka menulis, "Sekali kongres dan agen asuransi setuju untuk menanggung biaya kontrasepsi, kami akan menghentikan aksi boikot ini."
"Kalau belum disetujui, kami akan membiarkan para pria bercinta dengan tangan kirinya saja."
Aksi mereka akhirnya berpengaruh pada RUU yang akhirnya lolos jadi undang-undang.
5. Jepang
Pada Februari 2014, sekelompok aktivis perempuan menyerukan boikot seks bagi pasangan mereka yang memilih Yoichi Masuzoe sebagai gubernur Tokyo.
Hal itu terjadi karena latar belakang Masuzoe yang patriakal.
Sebelum terjun ke dunia politik pada tahun 2001, Masuzoe pernah diwawancarai majalah pria pada tahun 1989.
Kepada majalah itu ia mengatakan perempuan tak bisa memegang jabatan tinggi dan penting di pemerintahan karena siklus bulanan membuat para perempuan jadi 'irasional'.
"Perempuan bertingkah tak normal saat datang bulan... Anda mungkin tak akan membiarkan mereka mengambil keputusan penting bagi negara selama mereka sedang haid. Misalnya, apakah perang akan dilancarkan atau tidak,"Â katanya kala itu seperti dikutip dari The Guardian.
Sayangnya, gerakan itu tak berdampak. Masuzoe terpilih sebagai gubernur Tokyo, meski akhirnya ia mundur akibat terkait skandal korupsi.
Meskipun tak berdampak, setidaknya perempuan Jepang -- yang dianggap warga kelas dua dalam percaturan politik -- dianggap telah membuat gebrakan berbasis gender untuk kali pertamanya dalam sejarah Negeri Sakura.Â
Advertisement