Liputan6.com, Washington, DC - Selama ini, Donald Trump yang kini resmi menjadi presiden ke-45 Amerika Serikat (AS) kerap digambarkan sebagai tokoh pemecah belah. Hal tersebut dipicu oleh berbagai pernyataan kontroversialnya.
Pelantikan Trump yang digelar pada 20 Januari waktu setempat pun berhasil membuat ratusan ribu perempuan bersatu menggelar demonstrasi damai. Tak hanya di Washington, aksi protes juga berlangsung di sejumlah kota besar di AS, bahkan di berbagai belahan dunia.
Advertisement
Para pengunjuk rasa mengusung spanduk bertuliskan, "terima kasih sudah membuat saya menjadi aktivis, Trump" hingga "kami tidak akan diam". Simbol harapan juga salah satu yang paling menonjol dalam gerakan para perempuan ini.
"Ini tentang solidaritas dan memvisualisasikan perlawanan. Menurutku ini tidak hanya membantu proses penyembuhan, tetapi juga memberikanku harapan untuk empat tahun ke depan," kata Jonathon Meier yang datang dari New York ke Washington seperti dikutip dari BBC, Minggu, (22/1/2017).
Lautan aktivis, di mana beberapa mengenakan baju atau topi rajutan berwarna pink dan beberapa lainnya berpakaian dengan warna senada bendera AS, tumpah ruah di kawasan National Mall. Sebagian memilih berhenti sejenak untuk mendengarkan orasi dan bernyanyi lagu-lagu seperti "This Little Light of Mine."
Baca Juga
Aksi protes juga dibumbui dengan simbol alat kelamin wanita. Mereka yang mengusungnya bermaksud untuk menyuarakan kekhawatiran atas hilangnya akses ke kontrol kelahiran dan perawatan aborsi di bawah pemerintahan Trump.
Jellema Stewart, yang bepergian dari Buffalo, New York, ke Washington mengatakan, ia berpartisipasi demi sang nenek yang meninggal dunia pada usia 38 tahun saat melakukan aborsi ilegal pada 1950-an.
"Aku di sini demi memastikan suaranya didengar. Aku telah ikut aksi protes tentang hak-hak reproduksi sejak tahun 2014 dan saat ini kami berjuang untuk hal yang sama," ucap Stewart.
Stewart menambahkan, ia mendapat energi dari demonstrasi para perempuan ini dan bersikeras akan menyampaikan pesan yang diusungnya tersebut ke presiden baru.
"Dia (Trump) memperdengarkan rasialismenya. Jadi, kita harus lebih keras dari rasialisme dan diskriminasi yang keluar sebagai hasil pemilu dan menunjukkan kepada dia bahwa kita menunggu dan kita akan menyimak," tegasnya.
Demonstrasi damai menyambut kehadiran Trump di Gedung Putih juga digelar di lebih dari 60 negara, seperti Inggris, Kanada, Australia, Jepang, Jerman, Swedia serta sejumlah kota besar di AS termasuk di antaranya, New York, Chicago, Denver, dan Los Angeles.
Bagi seorang demonstran, Chrystian Woods, demonstrasi besar-besaran ini mengisyaratkan satu hal: bahwa AS tidak ditentukan oleh siapa penghuni di Gedung Putih.
"Ini bukan persoalan menjadi anti-Trump. Namun membiarkan dunia tahu bahwa Amerika lebih dari itu. Amerika adalah cinta, inklusivitas, persatuan, dan Amerika menerima orang-orang yang datang dari latar belakang berbeda," kata dia.
Seorang pengunjuk rasa lainnya, Amy Briggs, mengatakan, "Aku percaya negara ini hadir untuk kita semua."
Selama beberapa dekade terakhir, National Mall di Washington telah menjadi "rumah" bagi sejumlah peristiwa penting. Mulai dari orasi Martin Luther King lewat "Dream Speech" pada 1963, demonstrasi damai para pria Afrika-Amerika yang digagas oleh Louis Farrakhan, hingga perayaan pelantikan Barack Obama pada periode kedua yang digelar tahun 2009.
"Kami berbaris hari ini untuk moral bangsa ini, atas hal-hal yang diperangi oleh presiden baru. Martabat, karakter, serta hak kami telah diserang dan sebuah platform kebencian dan pemecah belah baru saja dilantik. Tapi dia tidak mewakili Amerika. Kami adalah rakyat Amerika...," ujar artis AS, America Ferrera, seperti dikutip dari Independent.