Sukses

Jika AS Ingkar, Iran Ancam Akan Lanjutkan Program Nuklir

Iran mengancam akan melanjutkan program nuklirnya pada level yang lebih tinggi jika Trump melanggar kesepakatan nuklir.

Liputan6.com, Teheran - Iran siap untuk melanjutkan program nuklirnya pada level yang jauh lebih tinggi jika presiden baru Amerika Serikat (AS), Donald Trump tidak menghormati perjanjian nuklir yang ditandatangani pada Juli 2015 lalu.

Kepala Badan Energi Atom Iran (AEOI), Ali Akbar Salehi mengatakan, Teheran berhak untuk "bertindak dengan tepat" jika Washington mempertimbangkan kembali kesepakatan terkait dengan program nuklir antara Iran dengan enam kekuatan dunia.

"Kami dengan sangat mudah dapat melanjutkan kembali...tidak hanya pada posisi sebelumnya, namun pada level teknologi yang jauh lebih tinggi," ujar Salehi dalam wawancaranya dengan CBC News seperti dikutip dari Rt.com, Senin, (23/1/2017).

"Saya tidak ingin melihat hari itu datang. Saya tidak ingin membuat keputusan soal itu, namun kami bersiap," tambahnya.

Menurut kesepakatan yang ditandatangani pada Juli 2015 antara Teheran dengan enam negara, yakni AS, Rusia, China, Inggris, Prancis, dan Jerman, Iran setuju untuk mengurangi dua per tiga jumlah mesin sentrifugal nuklirnya.

Kesepatan yang diatur dalam sebuah Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) juga menyebutkan, Teheran setuju untuk membekukan pengayaan uranium di bawah tingkat yang diperlukan untuk membuat bom.

Negeri Para Mullah ini sepakat pula untuk memangkas persediaan uranium dari total 10.000 kilogram menjadi 300 kilogram selama 15 tahun. Selain itu mereka bersedia menerima inspeksi internasional.

Sebagai gantinya, Barat sepakat untuk mencabut sanksi internasional atas Iran. Perjanjian nuklir Iran ini disebut sebagai salah satu prestasi pemerintahan Barack Obama. Sementara, presiden baru AS, Donald Trump melihat kesepakatan nuklir tersebut sebagai bencana.

Semasa berkampanye, tepatnya saat berbicara di hadapan kelompok pelobi pro-Israel terbesar di AS (AIPAC) pada Mei 2016 lalu, Trump mengatakan, menghancurkan kesepakatan nuklir itu telah menjadi agenda utamanya.

"Prioritas nomor satu saya adalah menghancurkan kesepakatan bencana itu dengan Iran. Perjanjian ini merupakan bencana bagi Israel, bagi Amerika, bagi seluruh Timur Tengah. Kita telah mensponsori negara pemimpin teror senilai US$ 150 miliar dan kita tidak mendapat apa-apa sebagai gantinya," ungkap Trump kala itu.

Sementara itu, kendati menegaskan Iran bersiap jika AS berubah sikap, namun Salehi menengarai masih terlalu dini untuk mengevaluasi kebijakan Trump terhadap Iran. Teheran, menurutnya akan lebih dulu mengukur perilaku pemerintahan baru AS dalam menghormati komitmen atas kesepakatan tersebut.

Salehi mengungkapkan, pihaknya tidak akan melanggar kesepakatan nuklir tersebut maka ia pun memperingatkan Washington untuk melakukan hal serupa. Namun jika AS ingkar, Iran akan meningkatkan pengayaan uranium hingga 100.000 SWU per tahun. Demikian seperti diberitakan Tehran Times.

Pekan lalu, menjelang pelantikan Trump, Presiden Iran, Hassan Rouhani mengatakan, Washington tidak bisa secara sepihak membatalkan kesepakatan nuklir Iran.

"Presiden terpilih telah menunjukkan, dia tidak senang tentang kesepakatan nuklir dengan menyebutnya sebagai perjanjian terburuk yang pernah ada. Itu omong kosong. Saya pikir tak banyak yang bisa dilakukannya di Gedung Putih," tegas Rouhani.

Dewan Keamanan PBB yang memonitor komitmen Iran terkait dengan kesepakatan nuklir tersebut menjelaskan bahwa negara itu sejauh ini memegang janjinya.

"PBB belum menerima laporan apa pun, juga tidak mendapat informasi mengenai suplai, penjualan, atau transfer materi nuklir ke Iran," jelas Wakil Sekjen Urusan Politik PBB, Jeffrey Feltman.

Feltman juga menegaskan tidak ada informasi mengenai pelanggaran terkait aktivitas rudal balistik Iran.

Trump sendiri telah memulai langkah untuk menyapu bersih warisan pemerintahan Obama. Perintah eksekutif perdananya adalah menyingkirkan Obamacare, layanan kesehatan bagi 20 juta warga AS.

Ia diduga kuat juga akan melenyapkan sejumlah capaian pemerintahan Obama nyaris di seluruh sektor seperti perubahan iklim, produksi energi, kebijakan dengan mitra dagang, dan hubungan dengan sekutu.