Sukses

Ilmuwan Akan Menciptakan Manusia dengan Sel Punca?

Menurut para ilmuwan, secara teori, sekarang manusia bisa diciptakan di dalam laboratorium dengan menggunakan sel punca.

Liputan6.com, Providence - Di masa lalu, ada beberapa kisah tentang penciptaan manusia di dalam laboratorium. Memang terdengar penuh khayalan, namun dengan teknologi sel punca, hal itu mungkin dilakukan di masa depan.

Sel punca yang diambil dari pipi bagian dalam atau kulit manusia dapat dibudidayakan menjadi sel-sel kelamin, yaitu sel telur dan sperma dan kemudian dipakai untuk pembuahan.

Dikutip dari Science Alert pada Senin (23/1/2017), proses itu disebut dengan in vitro gametogenesis (IVG). Hingga sekarang, proses itu belum pernah menggunakan sel manusia dan sejumlah penelitian pada manusia serta primata masih sekadarnya saja.

Namun demikian, sudah ada beberapa tikus yang diciptakan menggunakan proses tersebut. Sejumlah indikasi yang ada mengungkapkan bahwa penciptaan manusia menggunakan sel punca akan segera dilakukan.

Makalah mengenai hal itu diterbitkan pada Rabu dalam jurnal Science Translational Medicine. Menurut 3 peneliti penulis makalah, sekaranglah saatnya memikirkan pertanyaan-pertanyaan serius terkait budaya dan etika teknologi yang dimaksud.

Eli Adashi, profesor ilmu kedokteran di Brown University dan sekaligus penulis makalah, mengatakan bahwa manfaat-manfaat kedokteran teknologi ini jelas adanya.

"Bayangkan seorang anak perempuan yang terkena kanker dan harus menjalani kemoterapi dan radiasi, lalu sembuh," kata Adashi.

"Ketika menjadi wanita dewasa dan ingin memiliki anak ia tidak bisa karena sudah mandul akibat terapi kanker yang dilakukannya saat kanak-kanak," imbuhnya.

Selain dapat membantu dalam terapi penyakit seperti diabetes dan jantung, stem cell (sel punca) ternyata juga bisa mengobati radang sendi.

"Sekarang ini, orang sepertinya memerlukan donor sel telur dan itu bukan hal yang mudah karena menghasilkan serta mengambil sel telur dari seorang wanita tidak segampang mengambil sperma dari kaum pria."

Dengan teknologi IVG, tidak perlu proses rumit dan mahal untuk mengambil sel telur donor dari orang ke tiga. Cukup dengan usapan bagian dalam pipi, lalu dibudidayakan di laboratorium hingga mendapatkan jumlah sel telur yang diperlukan pasien.

Senada dengan itu, kaum pria dengan gangguan kesuburan genetik mungkin bisa mendapat manfaat dari proses edit gen pada sperma mereka sehingga bisa menjadi subur.

Namun demikian, sulit mengumpulkan sperma dari kaum pria penderita masalah tersebut yang memberi kemungkinan terapi akan berhasil. IVG memungkinkan para dokter untuk menciptakan pasokan yang bisa dibilang tidak terbatas.

Teknologi IVG juga memungkinkan pasangan melakukan in vitro fertilisation (IVF) secara lebih murah. Pasangan tidak perlu lagi melakukan proses ekstraksi yang seringkali rumit, hanya perlu usapan singkat pada pipi bagian dalam.

2 dari 2 halaman

Masalah Etika

Namun demikian, seperti dituangkan dalam makalah, masalah utama penerapan IVG adalah pada landasan etika dan politik.

Pertama, teknologi baru yang melibatkan penciptaan manusia baru harus melewati sejumlah pengujian yang amat ketat. Mulanya pada primata bukan manusia, berikutnya baru dilakukan pada manusia.

Pihak regulator harus memastikan bahwa anak-anak yang dilahirkan menggunakan proses ini dipantau secara ketat terkait dampak-dampak kesehatan dan masalah-masalah lainnya.

Tapi, setelah melewati tahapan itu pun, IVG masih harus menghadapi budaya dengan kepekaan serius tentang janin dan tahap-tahap pertama kehidupan manusia.

"Kalau ada jumlah pasokan sel telur dan sperma yang tidak ada habisnya, maka bisa saja diciptakan banyak sekali embrio," jelas Adashi.

Kalau ada terlalu banyak embrio, baik untuk memiliki anak ataupun penelitian, maka akan banyak pula yang dimusnahkan, baik sengaja ataupun tidak. Dan ada pendapat bahwa pemusnahan janin merupakan bentuk pembunuhan.

Itu bukan isu yang baru. Beberapa pertanyaan etis tentang sel punca dan embiro manusia telah berdampak kepada ilmu kedokteran selama beberapa tahun belakangan, bahkan di politik tingkat nasional.

Keberadaan IVG berpotensi menciptakan letupan baru pada debat ini dan memicu kemungkinan konflik antar para pegiat pemberi hak manusia kepada embrio dengan para orangtua yang sedang mencoba perawatan kesuburan.

Menurut Adashi, konflik demikian tidak terlalu jauh lagi. Ia telah melacak ilmu ini hingga menerbitkan sebuah makalah pada tahun 2005.

"Sepuluh tahun itu bukan waktu yang lama."

"Dan orang setidaknya berpikir tentang laporan temuan hal yang serupa pada manusia. Entahlah, tapi yang jelas lebih dini daripada yang kita duga. Tidak usah menunggu sampai tiba saatnya, mulailah pembicaraan tentang etika sejak sekarang."

"Seperti halnya pembahasan yang lain, hal ini akan memakan waktu. Tergantung seberapa baiknya kita melakukan ini, hal ini akan menantang."

Ia memperingatkan bahwa, seandainya para ilmuwan tidak memulai pembahasan, hasilnya akan berdampak buruk kepada ilmu pengetahuan.

"Tidak bijak melakukan pembahasannya baru setelah melihat ada makalah dalam (jurnal) Science atau Nature tentang proses lengkap tersebut pada manusia…setidaknya kita harus siap untuk itu," pungkasnya.