Sukses

Beda Sikap Obama dan Donald Trump Soal Israel

Obama beberapa kali terkesan menghindari pertemuan dengan Netanyahu. Sebaliknya, Trump justru mengundang PM Israel itu ke Gedung Putih.

Liputan6.com, Washington, DC - Hubungan Amerika Serikat (AS) dan sekutu terdekatnya di Timur Tengah, Israel, jatuh ke titik terendah pada masa pemerintahan Barack Obama. Selama delapan tahun terakhir pula, Obama dan PM Benjamin Netanyahu mempertontonkan sikap berseberangan dalam sejumlah isu penting.

Dalam sejumlah kesempatan, orang nomor satu di Negeri Paman Sam itu bahkan membuat Netanyahu geram.

Yang teranyar adalah pada Desember 2016, AS memutuskan untuk abstain dalam pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB yang memutus nasib pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Menlu AS saat itu, John Kerry menjelaskan alasan di balik langkah tersebut.

"Solusi dua negara saat ini dalam bahaya serius. Kita tidak bisa tidak melakukan apa-apa dan tidak mengatakan apa pun ketika menyaksikan harapan perdamaian menjauh," kata Kerry saat pidato terakhirnya sebagai menlu AS seperti dilansir Reuters pada 29 Desember 2016.

Keputusan AS tersebut dinilai mendobrak tradisi mengingat selama ini Negeri Paman Sam lebih memilih menggunakan hak vetonya ketimbang abstain. Namun yang jelas, melalui sikap tersebut AS telah menegaskan bahwa rencana pembangunan permukiman Yahudi oleh Israel, ilegal.

Gedung Putih saat itu, tidak menampik bahwa Obama telah mengambil sejumlah langkah simbolis sebelum lengser. Selama bertahun-tahun, staf Obama dikabarkan telah mencermati setiap opsi termasuk resolusi DK PBB--yang akhirnya dijatuhkan.

Meski demikian, pemerintahan Obama ditengarai menahan diri untuk melakukan tindakan apa pun sebelum pilpres AS. Mereka khawatir isu Israel-Palestina akan menjadi "bola panas" pada masa kampanye.

Kerry bukannya tidak paham bahwa Donald Trump saat itu menawarkan pendekatan yang berbeda dengan Israel. Namun ia, mewakili pemerintahan Obama, sudah terlalu frustasi menghadapi tingkah Netanyahu yang dinilai kontraproduktif bagi perdamaian.

Sikap keras pemerintahan Obama terhadap Israel pun terakumulasi di akhir masa pemerintahannya. Taruhannya jelas, hubungan AS dengan sekutu terdekatnya di Timur Tengah.

Ketika menyampaikan pidato terakhirnya, Kerry menuding Netanyahu telah menyeret jauh Israel dari demokrasi. Ia juga membela langkah abstain AS dalam pemungutan suara di DK PBB.

"Jika pilihannya adalah satu negara, Israel harus memilih menjadi negara Yahudi atau demokrasi, tidak bisa dua-duanya. Dan kondisi Israel tidak akan pernah benar-benar damai," kata Kerry yang berharap Israel berkomitmen dengan two state solution atau solusi dua negara.

Ditekankan Kerry, perjanjian di masa depan antara kedua negara harus didasarkan pada kesetaraan. Menurutnya, baik Israel mau pun Palestina harus mengakui satu sama lain, menjamin akses ke situs keagamaan, dan melepaskan sejumlah klaim yang dapat memicu konflik.

Tak hanya itu, Kerry juga menyerukan pemberian bantuan kepada pengungsi Palestina.

Tidak lama setelah pidato Kerry, PM Israel muncul di televisi untuk menegaskan, urusannya dengan pemerintahan Obama sudah selesai dan ia siap untuk menyambut hubungan baik dengan Trump.

"Israel tidak perlu dikuliahi tentang pentingnya perdamaian oleh para pemimpin asing," demikian sepenggal pidato Netanyahu kala itu.

2 dari 3 halaman

5 Tindakan Obama yang Mempermalukan Israel

Sejumlah pihak mengungkapkan kemarahannya atas sikap abstain AS hingga berujung pada disahkannya resolusi yang menentang rencana pembangunan permukiman Yahudi. Salah satunya adalah Trump.

"Kekalahan besar bagi Israel di PBB akan mempersulit negosiasi damai. Sangat disayangkan, tapi kita akan menyelesaikannya!," cuit Trump di media sosial Twitter.

Bukan rahasia, jika Obama tidak memiliki hubungan mesra dengan Netanyahu. Keputusan untuk abstain ternyata bukan kali pertama Obama dianggap melecehkan sekutu terkuatnya tersebut.

Seperti dikutip dari heatst.com, Selasa, (24/1/2017), setidaknya, terdapat lima peristiwa yang menunjukkan ketegangan hubungan antar dua pemimpin negara tersebut:

1. Meninggalkan Netanyahu untuk pergi makan malam

Netanyahu dikabarkan merasa dipermalukan setelah Obama yang sedang mengadakan pertemuan dengannya memutuskan pergi untuk makan malam di Gedung Putih.

Suami Michelle itu meninggalkan orang nomor satu di Israel tersebut bersama para stafnya.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 2010. Selain menggambarkan kejadian ini sebagai perploncoan, media Israel juga menyebutkan bahwa Netanyahu telah menerima perlakuan yang hanya layak diterima oleh presiden Guinea Khatulistiwa.

2. Menolak bertemu dengan Netanyahu

Sebuah langkah yang tidak biasa ditunjukkan Obama pada September 2012. Ia menolak bertemu dengan Netanyahu di markas PBB selama PM Israel itu melakukan kunjungan ke New York.

Dalam kesempatan tersebut, Netanyahu mendesak AS untuk memberlakukan sanksi ketat terhadap Iran. PM Israel itu juga mengingatkan bahaya yang mengancam jika AS tidak bersikap keras dalam negosiasi nuklir dengan Negeri Para Mullah tersebut.

3. Diduga berupaya melengserkan Netanyahu

Pada awal tahun 2016, sejumlah anggota parlemen dari Partai Republik menginvestigasi dugaan upaya pemerintahan Obama untuk memengaruhi pemilu Israel pada tahun 2015. Penyelidikan itu diumumkan setelah laporan internal pemerintah mengindikasikan Kementerian Luar Negeri AS telah memberikan ratusan ribu dolar ke sebuah organisasi politik di Israel yang aktif bekerja untuk melengserkan Netanyahu dari jabatannya sebagai PM.

4. Tidak Antusias ketika Netanyahu menang dalam pemilu

Obama tidak langsung menelepon Netanyahu untuk memberikan selamat ketika ia terpilih dalam pemilu pada Maret 2015. Butuh waktu beberapa hari bagi ayah dari Malia dan Sasha itu sebelum akhirnya menghubungi perdana menteri terpilih.

Pada saat yang sama, Sekretaris Pers Gedung Putih saat itu, Josh Earnest mengumumkan bahwa pemerintah sangat prihatin tentang retorika yang berusaha memarginalkan warga Arab Israel. Pernyataan Earnest tersebut dinilai menyiratkan bahwa terpilihnya Netanyahu telah merusak nilai-nilai dan cita-cita demokrasi yang penting bagi AS di mana telah menjadi pengikat hubungan kedua negara.

5. Menolak mengakui Yerusalem sebagai bagian dari Israel

Meski tak secara tegas, namun Gedung Putih pada era Obama dinilai menolak mengakui Yerusalem sebagai bagian dari Israel. Hal tersebut terkuak saat kematian mantan Presiden Israel, Shimon Peres pada September 2016.

Saat itu, Gedung Putih mengirimkan transkrip pernyataan Obama saat menghadiri pemakaman Peres. Pada bagian penutup tertulis, "Yerusalem, Israel." Namun segera setelah itu, bagian pers Gedung Putih meralatnya dengan mencoret tulisan Israel.

3 dari 3 halaman

Beda Trump dengan Obama Soal Israel

Terkait isu permukiman Yahudi, Trump belum menegaskan sikapnya, apakah legal atau justru sebaliknya. Namun yang pasti menurutnya, Israel telah diperlakukan "sangat sangat tidak adil."

Beberapa saat sebelum pelantikannya, Trump meyakinkan Israel bahwa banyak hal akan berubah setelah tanggal 20 Januari 2017 -- hari di mana ia dilantik.

Benar saja, sekitar tiga hari setelah inaugurasi Trump mencuat kabar bahwa presiden AS itu telah melayangkan undangan ke Netanyahu, mengundangnya ke Gedung Putih pada Februari mendatang.

Netanyahu mengatakan, Trump meneleponnya dan percakapan keduanya berlangsung "sangat hangat." Pada pertemuan perdana, mereka akan membahas sejumlah isu termasuk yang nuklir Iran dan Palestina.

Semasa kampanye, Trump berjanji, kelak ia akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dengan memindahkan Kedutaan Besar AS yang saat ini berada di Tel Aviv. Hal serupa sempat ditegaskan Trump ketika ia dikunjungi Netanyahu pada September 2016 lalu. 

Tentu, hal ini dikhawatirkan banyak pihak akan mengancam kesepakatan damai kedua negara.

Salah satu upaya untuk memuluskan keinginan tersebut, Trump menunjuk penasihat kampanyenya, David Friedman sebagai Duta Besar AS untuk Israel. Penunjukan Friedman dinilai akan sukses mengingat Senat dikuasai oleh Partai Republik.

Sosok Friedman dikenal sebagai pendukung kebijakan pengakuan Yerusalem. Ia juga setuju dengan rencana pembangunan pemukiman Israel.

Terkait konflik Palestina-Israel, Friedman disebut-sebut akan "menghapus" referensi solusi dua negara atau two state solution. Padahal kebijakan tersebut telah menjadi pilar dari postur AS terhadap Israel baik pada era Demokrat mau pun Republik.

Partai Republik telah lama mengusahakan untuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem dan mengakui wilayah itu sebagai ibu kota Israel. Namun upaya tersebut belum berhasil bahkan di era pemerintahan George W. Bush sekali pun.

Status Yerusalem sebagai ibu kota tak hanya diakui oleh Israel, namun juga Palestina. Berdasarkan Jerusalem Embassy Act of 1995, produk hukum yang disahkan pada 23 Oktober 1995, pemerintah AS harus memindahkan kedutaan besar mereka ke Yerusalem, namun tuntutan ini berhasil "dihindari" setiap enam bulan sejak diresmikan.

Mulai dari Presiden Bill Clinton, Bush Jr, hingga Barack Obama, semuanya menolak untuk memindahkan kedutaan ke Yerusalem. Pertimbangan mereka, keamanan nasional AS.