Liputan6.com, Jakarta - Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2017 telah resmi dibuka sejak 26 Januari 2017. Tahun ini, festival tersebut akan diselenggarakan di tiga kota besar di Indonesia, yakni Jakarta (26-29 Januari) di XXI Senayan City, Makassar (28-29 Januari) di XXI Trans Studio, dan Surabaya (4-5 Januari) di XXI SUTOS.
Sebanyak sembilan film pilihan, enam dari Australia dan tiga lainnya dari Indonesia, akan diputar dalam festival yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Australia.
Berbeda dengan tahun sebelumnya, untuk pertama kalinya festival tersebut akan memamerkan karya enam finalis Kompetisi Film Pendek Festival Sinema Australia Indonesia 2017, di mana perlombaan untuk para pemula tersebut telah dibuka sejak Oktober 2016.
Advertisement
Ke-enam judul film pendek terpilih adalah Ojo Sok-Sokan, Nunggu Teka, Deadline, It's a Match, Outgrowth, dan Ibu dan Anak Perempuannya.
Masyarakat dapat memilih karya ke enam finalis yang ditayangkan dalam FSAI 2017. Satu pemenang pilihan juri dan satu pemenang lain pilihan penonton akan menerima hadiah berupa perjalanan ke Australia dan kesempatan menghadiri Melbourne International Film Festival.
Menurut ketiga juri kompetisi film pendek, mereka kesulitan untuk menentukan siapa pemenang Kompetisi Film Pendek karena keenam film memiliki karakternya masing-masing dan sangat beragam.
"Hebat, menyegarkan dan menarik melihat film tersebut. Film tersebut sangat beragam dan mengapa itu sangat menarik. Sebagai orang yang bekerja dalam film programming, saya selalu mencari film yang belum pernah saya lihat sebelumnya," ujar Thomas Caldwell kepada Liputan6.com saat ditemui setelah pembukaan FSAI 2017 pada Kamis, 26 Januari 2017.
"Semuanya merupakan film yang bagus karena sangat beragam. Mungkin kita kan menghabiskan berjam-jam beragurmen untuk menentukan pemenangnya," imbuh dia.
Hal serupa juga dikatakan oleh Jennifer Perrott, sutradara peraih penghargaan untuk film pendek dan drama TV.
"Menyentuh, mengejutkan, penampilan yang sangat baik, sangat emosional, dan itu akan menjadi pemilihan yang sulit," Jennifer Perrott.
Bila tertarik menontonnya, Anda dapat mendaftar melalui situs FSAI2017.evenbrite.com atau datang langsung ke XXI Senayan City, untuk melihat pemutaran terakhir pada 29 Januari 2017 pukul 13.00.
Berikut ulasan singkat keenam film pendek karya finalis Kompetisi Film Pendek FSAI 2017.
Outgrowth
Film animasi yang disutradarai mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, Jason Kiantoro, bercerita tentang seorang gadis pemberani yang tumbuh di alam mimpi dunia kereta api dengan kakeknya.
Sang kakek percaya bahwa ia melakukan yang terbaik untuk melindungi cucunya. Namun keinginan sang cucu tak sepenuhnya sesuai denggan apa yang diharapkan oleh kakeknya.
Menurut Jason, Outgrowth terinspirasi dari gaya salah satu film pendek di internet. Dari sana, film animasi itu dibangun dengan membutuhkan waktu pengerjaan selama enam bulan.
Dalam membuat Outgrowth, Jason dan krunya mencari cerita yang melankolik dan lembut, di mana temanya ia angkat dari kehidupan sehari-hari.
"Jadi kita coba aja lihat apa masalah yang ada di sekitar kita. Jadi ada satu masalah yang ngga begitu di-tackle, yaitu orangtua selalu menahan anaknya sendiri untuk melakukan hal-hal yang menurutnya terbaik," ujar Jason seusai keenam film pendek diputar di XXI Senayan City pada 26 Januari 2017.
Advertisement
Nunggu Teka
Dalam Nunggu Teka, dikisahkan seorang ibu yang menunggu kepulangan putranya saat Idul Fitri. Meski belum tahu kepastian kedatangan anaknya, sang ibu tetap menyiapkan makan besar dan makanan favoritnya untuk menyambut putranya.
Sang sutradara film pendek asal Malang itu, Mahesa Desaga, ingin mencoba menuangkan perasaan general seorang ibu yang terus menunggu kabar dari anak-anaknya.
"Inspirasinya dari rasa penasaran, karena saya sekarang ada di usia-usia sok sibuk. Di sini saya coba berpikir bagaimana perasaan orangtua, ibu dalam hal ini," ujar Mahesa seusai Nunggu Teka diputar pada 26 Januari 2017 di XXI Senayan City.
"Ibu mungkin tidak butuh anaknya untuk bilang cinta setiap hari atau peluk tiap pagi. Tapi mendapat kabar dari anak sudah menentramkan hati ibu. Itu yang menggugah saya kayanya perlu untuk bicara tentang hal ini," imbuh Mahesa, soal hal yang menginspirasi dirinya untuk membuat Nunggu Teka.
Deadline
Deadline diawali dengan kisah cinta pasangan wartawan, Timothy dan Kania. Timothy yang harus bekerja lembur demi mengejar tenggat waktu pun ditemani sang pacar dengan setia.
Sambil menunggu Tim menyelesaikan artikelnya, Kania berhasil membuat Tim berjanji untuk selalu menemani satu sama lain hingga ajal menjemput. Namun, kejadian yang tak disangka-sangka terjadi.
Film pendek karya sutradara Firdian Mahyuzar itu merupakan film bergenre horor yang lolos dalam Kompetisi Film Pendek FSAI 2017. Menurut sang sutradara, kisah yang diangkat dalam film Deadline terinspirasi dari tagline LA Indie Movie 2015 yakni, Keseharian Lo Bisa Dibikin Film.
"Sehari-hari kita sering dengerin, entah cowonya yang gombal atau cewenya yang gombal. Gimana kalo gombal itu kejadian. Simple nya sih gitu," kata Firdian seusai Deadline diputar di XXI Senayan City pada 26 Januari 2017.
"Jadi dengan adanya gombalan yang pengen mesra malah jadi horor. Intinya pengen romantis tapi jadi horor," imbuh dia.
Advertisement
Ibu dan Anak Perempuannya
Diangkat dari cerita pendek berjudul sama dalam novel “Pulang”, sang sutradara, Happy Salma, mengeksplorasi sebuah percakapan tentang kehidupan dan rahasia yang terjadi antara ibu dan anak perempuannya.
Saat ditemui Liputan6.com seusai pemutaran film pada 26 Januari 2017, sutradara lain dalam film tersebut, Yohanes Jendral Gatot Subroto, mengatakan ada tiga hal yang membuat Ibu dan Anak Perempuannya istimewa.
Pertama, film berdurasi sekitar delapan menit tersebut diambil hanya menggunakan satu kali pengambilan (long take) tanpa ada proses cutting.
"Film ini harusnya siang hari ambilnya, tapi enam kali ambil. Di pengambilan ke enam baru bagus karena ada kondisi suara dan segalanya. Ternyata pas kita tes lebih dramatis di malamnya," ujar Gatot.
Kedua adalah framing yang bisa dikatakan berani meski Ibu dan Anak Perempuannya menggunakan teknik long shot. Ketiga, Gatot mengatakan bahwa teknik natural Happy Salma yang berperan sebagai anak, menjadi salah satu kekuatan dalam film tersebut.
It's a Match!
It's a Match adalah film pendek asal Jakarta, yang bercerita tentang kisah cinta seorang perempuan di dunia modern yang ingin menemukan cinta sejati lewat aplikasi kencan.
Film yang disutradari oleh Nadya Ratu Santoso itu, berlatar belakang budaya urban yang sangat kental. Saat ditemui Liputan6.com, Nadya mengaku bahwa kisah It's a Match terinspirasi dari pengalaman pribadinya.
"Pengalaman pribadi sama lihat zaman sekarang, karena zaman sekarang teknologi banget kan, jadi dimanjain sama teknologi," ujar Nadya seusai It's a Match diputar di XXI Senayan City pada Kamis 26 Januari 2017.
Melalui film tersebut, Nadya ingin menyampaikan pesan tentang anak muda pada zaman sekarang yang kebanyakan tidak menikmati proses, termasuk soal mencari pasangan.
"Sebenarnya pengen sharing aja sih tentang zaman sekarang anak muda banyak yang ngga nikmatin proses, juga karena mereka dimanjaian sama banyak teknologi. Apa pun dapetnya cepet, apa-apa cepet, cari pacar cepet, asal aja gitu. Dari situ sih, itu yang pengen disampein," ujar Nadya.
Advertisement
Ojo Sok-Sokan
Film asal Bandung ini bercerita soal anak daerah yang berusaha berbicara bahasa gaul. Dengan set lokasi di angkringan, Ojo Sok-Sokan mengangkat pengalaman pribadi sang sutradara, Mustafa.
"Berawal dari keresahan saya, kebetulan saya kuliahnya di Bandung beberapa tahun yang lalu, saya yang orang pendatang dikelilingi oleh orang-orang yang datang dari beragam daerah dan berusaha untuk ngomong dan bergaya gaul," tutur Mustafa usai pemutaran Ojo Sok-Sokan di XXI Senayan City pada 26 Januari 2017.
"Kebetulan temen saya yang nulis ini orang Jawa. Dia juga berusaha ngomong gaul, itu lah yang bikin kita berdua akhirnya berpikr kenapa kita ngga ngebahas kenapa orang Jogja itu kalo ngomong gaul bisa tapi ngga pantes secara logat. Kita mulai arahin ke sana," imbuh dia.
Dalam film Ojo Sok-Sokan, angkringan dipilih menjadi set lokasi karena Mustafa dan krunya ingin memperlihatkan ikon otentik Yogyakarta.
"Dan itu set nya satu aja karena kita pengen ngeliain secara otentik orang-orang di dalam angkringan yang notabene itu adalah satu ikon Yogkayakarta dan kedatangan budaya baru, budaya barunya adalah Jakarta," ujar Mustafa.
"Dan skeptis-skeptisnya orang yang berusaha untuk gaul, karena ban bahasa daerah sendiri itu penting," imbuh dia.