Sukses

Lawan Kebijakan Trump, Starbucks Akan Pekerjakan 10.000 Pengungsi

CEO Starbucks, Howard Schultz, menegaskan pihaknya berencana untuk mempekerjakan 10.000 pengungsi di 75 negara.

Liputan6.com, Washington, DC - Starbucks mengumumkan rencananya untuk mempekerjakan 10.000 pengungsi dalam jangka lima tahun ke depan. Langkah ini merupakan reaksi atas perintah eksekutif Donald Trump yang melarang sementara para pengungsi dan imigran masuk ke Amerika Serikat (AS).

Selang dua hari setelah Trump menandatangani perintah yang melarang warga dari tujuh negara mayoritas muslim masuk ke Negeri Paman Sam, CEO Starbucks, Howard Schultz, mengumumkan rencana kebijakan baru perusahaan tersebut.

Tak hanya mempekerjakan, Schultz juga berjanji akan menyediakan tunjangan kesehatan bagi karyawannya dan mendukung imigran gelap, bahkan petani kopi di Meksiko.

Dalam sebuah memo yang memuat pernyataannya, Schultz menggambarkan dirinya "bingung, terkejut, dan menentang" perintah eksekutif Trump yang disahkan pada Jumat lalu. Kebijakan Trump tersebut menangguhkan Program Penerimaan Pengungsi AS selama 120 hari.

Bagi sejumlah warga dari negara mayoritas muslim seperti Irak, Iran, Somalia, Sudan, Yaman, dan Libya masa penundaan berlangsung 90 hari. Khusus Suriah, larangan tersebut tidak memiliki batas waktu.

"Kita hidup pada masa yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana kita adalah bukti dari hati nurani negara kita. Janji American Dream pun kini dipertanyakan," tulis Schultz seperti dikutip dari Daily Mail, Senin, (30/1/2017).

Dalam kesempatan tersebut, Schultz menjelaskan bahwa saat ini terdapat 65 juta warga dunia yang diakui PBB sebagai pengungsi.

"Dan saat ini kami tengah mengembangkan rencana untuk mempekerjakan 10.000 dari mereka selama lima tahun ke depan di 75 negara di seluruh dunia di mana Starbucks menjalankan bisnisnya," ucap Schultz.

Lebih lanjut ditambahkan Schultz, rencana Starbucks itu akan difokuskan kepada imigran yang telah bekerja dengan pasukan AS, baik sebagai penerjemah maupun sebagai personel pendukung.

CEO Starbucks itu juga berjanji untuk mendukung para pekerja serta mitra bisnis yang mungkin terpengaruh oleh pencabutan Undang-Undang Perawatan Terjangkau atau Obamacare dan setiap perubahan yang terjadi dalam hubungan dagang dengan Meksiko.

Langkah ini mencerminkan meningkatnya kompleksitas dunia bisnis ketika berhadapan dengan pemerintahan Trump. Schultz juga meyakinkan, kelak Starbucks akan lebih sering berkomunikasi dengan para pekerjanya.

"Aku mendengar alarm Anda bahwa kesopanan dan HAM kita telah diserang," ujar Schultz, yang mendukung Hillary Clinton selama pilpres tahun lalu.

Pria kelahiran 19 Juli 1953 itu juga menekankan dukungan kuatnya kepada program "Dreamers", yang didesain untuk membantu imigran anak yang tiba di AS. Demikian seperti dilansir Bloomberg.com.

Sebelumnya, Trump telah bertemu dengan CEO Ford, General Motors, dan Boeing. Ia meminta mereka untuk menciptakan lapangan kerja di AS.

Presiden ke-45 AS itu tak sungkan memuji dirinya sendirinya yang diklaimnya sukses menghadirkan pabrik-pabrik baru meski rencana penambahan pabrik tersebut telah muncul jauh sebelum pengumuman kemenangannya dalam pilpres November 2016.

Untuk mencegah masuknya imigran, Trump juga telah menandatangani perintah eksekutif untuk membangun tembok sejauh kurang lebih 3.218 kilometer di perbatasan AS-Meksiko. Trump bersikeras pembangunan tembok tersebut akan dibiayai oleh Meksiko, sesuatu yang ditentang keras oleh negara tetangga AS itu.

Pengganti Barack Obama itu pun menempuh jalan lain. Ia menerapkan pajak 20 persen untuk barang-barang yang diimpor dari Meksiko.