Liputan6.com, Jakarta - Silicon Valley berada di depan soal perlawanan korporat terhadap larangan imigrasi Presiden AS Donald Trump.
Caranya, dengan mendanai gugatan hukum, mengkritik rencana tersebut, dan membantu para pegawai yang terimbas perintah eksekutif Trump itu.
Baca Juga
Dalam sebuah industri yang telah lama bergantung pada imigran dan merayakan kontribusi mereka, serta mendukung aktivisme liberal seperti hak-hak pasangan sejenis, pada awalnya tidak banyak konsensus mengenai bagaimana merespon langkah Trump Jumat 27 Desember 2017.
Advertisement
Namun, meski sebagian besar di dalam industri teknologi tidak secara langsung mengkritik presiden dari Partai Republik itu, mereka melangkah lebih jauh dibandingkan para mitranya di sektor lain, yang sebagian besar tutup mulut selama akhir pekan. Sebagian besar dari bank-bank besar AS dan perusahaan otomotif, misalnya, menolak berkomentar saat ditanya Reuters.
Donald Trump memerintahkan larangan sementara terhadap orang-orang yang datang dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim dan penangguhan 120 hari terhadap pemukiman pengungsi. Aksi ini memicu protes global, dan menimbulkan kebingungan dan kemarahan setelah para imigran, pengungsi dan pengunjung dilarang naik pesawat dan terlunta-lunta di bandara.
Perusahaan-perusahaan besar seperti Apple Inc, Google dan Microsoft Corp menawarkan bantuan hukum pada para pegawai yang terimbas perintah eksekutif itu, menurut surat-surat yang dikirim kepada staf. Beberapa eksekutif Silicon Valley memberikan sumbangan kepada upaya-upaya hukum untuk mendukung para imigran yang menghadapi pelarangan.
CEO Tesla, Elon Musk dan direktur Uber Travis Kalanick mengatakan di Twitter bahwa mereka akan membawa keprihatinan industri mengenai imigrasi ke dewan penasihat bisnis Trump, di mana mereka menjadi anggotanya.
Kalanick telah menghadapi kecaman di media sosial karena setuju menjadi bagian kelompok penasihat tersebut. Dalam tulisan di halaman Facebooknya hari Minggu, Kalanick menyebut larangan imigrasi itu "keliru dan tidak adil" dan mengatakan bahwa Uber akan menyediakan dana US$3 juta untuk membantu para pengemudi dengan masalah-masalah imigrasi.
Di antara yang terimbas larangan tersebut adalah Khash Sajadi, warga Iran keturunan Inggris yang merupakan kepala eksekutif perusahan teknologi Cloud 66 di San Francisco, yang terjebak di London. Seperti banyak pekerja teknologi lainnya, ia memegang visa H1B, yang memungkinkan warga-warga negara asing dengan keahlian khusus untuk bekerja di perusahaan-perusahaan AS.
Sajadi mengatakan ia berharap perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Google dan Facebook akan mengambil tindakan hukum untuk melindungi para pegawai yang terdampak. Hal itu dapat membantu membuat preseden untuk orang-orang dengan situasi sama, namun ada di perusahaan lebih kecil.
"Pada akhirnya, hanya berbicara saja tidak akan mengubah sesuatu" jika mereka tidak kaya dan tidak tinggal di pesisir Timur atau Barat [tempat perusahaan-perusahaan teknologi besar berada], ujarnya.
Respon dari perusahaan-perusahaan teknologi telah "sekuat mungkin," ujar Eric Talley, profesor hukum korporasi dari Fakultas Hukum Universitas Columbia.
"Salah satu aspek sulit dari reaksi terhadap pemerintahan Trump dalam dua minggu pertamanya adalah mencoba menyeimbangkan keinginan mengekspresikan keprihatinan yang sah dengan konsekuensi berdiri terlalu jauh dari orang-orang lain," ujarnya.
Protes Terhadap Larangan Imigrasi Trump
Industri teknologi juga memiliki isu-isu lain yang mungkin menempatkan mereka di pihak yang berlawanan dengan Trump, termasuk kebijakan perdagangan dan keamanan dunia maya.
Presiden Mountain View, inkubator perusahaan rintisan Y Combinator di California, Sam Altman, menulis dalam tulisan blog yang dibaca banyak orang, mendesak para pemimpin sektor teknologi untuk bersatu melawan larangan imigrasi itu. Ia mengatakan ia telah berbicara dengan beragam orang mengenai pengorganisasian tapi tetap tidak yakin tindakan apa yang paling baik.
"Jujur saja kami belum tahu," ujarnya. "Kami sedang membahasnya dengan kelompok-kelompok legal dan teknologi, tapi hal ini belum pernah terjadi sebelumnya dan saya kira tidak ada yang memiliki buku panduannya."
Pada perusahaan transportasi Lyft, para pendirinya John Zimmer dan Logan Green, menjanjikan dalam blog perusahaan akan mendonasikan satu juga dolar dalam empat tahun ke depan untuk Serikat Kemerdekaan Sipil Amerika (ACLU), yang memenangkan gugatan melawan sebagian perintah eksekutif Trump pada Sabtu malam.
Eksekutif lain, seperti Stewart Butterfield dari Slack dan kedua mitra Union Square Ventures, Albert Wenger dan Fred Wilson berjanji akan menyamai kontribusi untuk ACLU.
Michael Dearing, pendiri perusahaan permodalan Harrison Metal, membentuk upaya yang disebut Project ELLIS -- singkatan dari Entrepreneurs' Liberty Link in Silicon Valley -- untuk membantu perusahaan-perusahaan rintisan dan perusahaan-perusahaan teknologi yang lebih kecil dengan isu-isu imigrasi. "ELLIS" juga merupakan referensi untuk Pulau Ellis di New York, tempat jutaan imigran tiba.
Dalam kurang dari sehari, kelompok ini telah menangani dua kasus, ujarnya.
Dave McClure, mitra pendiri 500 Startups dan pengkritik yang vokal terhadap Trump, mengatakan perusahaan investasinya akan segera membuka dana pertama di Timur Tengah dan akan menggeser perhatian untuk mendukung para wirausaha di negara-negara asal mereka, jika membawa mereka ke Amerika Serikat mustahil.
​Para pegawai rendahan telah mendesak para eksekutif untuk bertindak lebih jauh pada akhir pekan.
Tak lama setelah mengetahui perintah Trump, Brad Taylor, insinyur berusia 37 tahun yang bekerja di perusahaan analisis web Optimizely, mulai mengorganisir "Tech Against Trump," sebuah demonstrasi yang dijadwalkan berlangsung pada 14 Maret.
Selain berdemonstrasi di Palo Alto, California, para penyelenggara acara ini mendesak para pegawai industri teknologi di perusahaan-perusahaan yang diam saja terhadap Trump untuk keluar dari kantor mereka.
Taylor mengatakan ia terharu dengan pernyataan-pernyataan para pemimpin teknologi selama akhir pekan namun ia ingin melihat industri ini maju lebih jauh.
"Tujuannya bukan untuk melawan industri teknologi, namun untuk mendesak mereka agar ada di pihak yang benar dalam sejarah," ujarnya.