Liputan6.com, Washington, DC - Ini yang diramalkan Kepala Strategis Donald Trump, Steve Bannon 9 bulan lalu: dalam 10 tahun mendatang, Amerika Serikat dan China akan berperang. Pemicunya adalah sengketa di Laut China Selatan yang tak kunjung usai.
Ia yang kala itu masih jadi bos media Breitbart menegaskan, tak ada keraguan soal prediksinya itu.
Baca Juga
Tak hanya di wilayah Asia, menurut dia, pada saat bersamaan, AS akan terlibat perang besar di Timur Tengah.
Advertisement
Bannon menyampaikan prediksinya itu saat ia masih jadi orang media. Pertanyaannya, apakah setelah ditunjuk langsung oleh sang presiden untuk jadi petinggi Gedung Putih, ramalannya bakal terbukti?
Dalam minggu pertama kepresidenan Donald Trump, Bannon telah jadi tokoh sentral.
Dia diangkat jadi "kepala komite" di National Security Council (NSC). Itu adalah langkah yang sangat tidak biasa. Karena dewan itu biasa dipimpin oleh petinggi militer.
Ia juga dianggap berpengaruh dalam perintah eksekutif anti-imigran muslim, menepis pendapat pejabat Departemen Keamanan Dalam Negeri yang merasa larangan itu tidak berlaku untuk pemegang kartu hijau (green card).
Jika banyak pendukung Trump menunjukkan sentimen negatif atau mengkritik China, dalam siaran radio, Bannon kala itu terang-terangan mengatakan, ancaman bagi AS ada dua: China dan Islam. Demikian seperti dilansir The Guardian, Kamis (2/2/2017)
"Kita akan berperang di Laut China Selatan dalam lima sampai 10 tahun nanti," kata dia pada Maret 2016. "Tidak ada keraguan tentang itu."
"Mereka membuat gundukan pasir (menjadi pulau buatan), memarkir kapal induk, dan menempatkan rudal di situ."
Bannon menambahkan, Beijing melakukannya secara terang-terangan dan mencoreng wajah Amerika Serikat. Menurut dia, Laut China Selatan adalah perairan kuno yang menjadi kepentingan banyak negara.
Di sisi lain, Tiongkok mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan adalah wilayah teritorialnya.
China telah membangun serangkaian pulau buatan di terumbu karang, untuk memperkuat posisinya, lengkap dengan lapangan terbang militer dan senjata anti-pesawat.
Sentimen Bannon dan posisinya di lingkaran dalam Trump menambah kekhawatiran soal potensi konfrontasi militer dengan China. Apalagi, Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson mengatakan bahwa AS akan menolak akses Beijing ke tujuh pulau buatan itu.
Sementara, para ahli memperingatkan, setiap blokade yang diberlakukan bisa menyulut perang.
Bannon jelas waspada terhadap pengaruh China yang terus tumbuh di Asia, membingkai hubungan dengan Beijing sebagai permusuhan, dan memprediksi bakal terjadinya bentrokan budaya global pada tahun-tahun mendatang.
"Kita menghadapi ekspansi Islam dan China. Benarkan? Mereka memiliki motivasi. Mereka arogan," kata Bannon dalam sebuah wawancara radio pada Februari 2016.
Pada hari Donald Trump dilantik, militer China memperingatkan bahwa perang antara kedua negara bisa saja terjadi.
"Sebuah 'perang pada masa Presiden Trump menjabat' atau 'perang pecah malam ini' tidak hanya slogan, itu semua akan jadi sebuah kenyataan," tulis seorang pejabat di situs Tentara Pembebasan Rakyat.
Selain konflik dengan China, Bannon berulang kali fokus pada persepsi bahwa Kristen di seluruh dunia berada di bawah ancaman.
Dalam salah satu acara radio, Bannon sesumbar soal kabar yang menyebut sebuah masjid telah dibangun di Kutub Utara -- informasi yang sejatinya bohong alias hoax.
Selain itu, ia juga fokus tentang tekanan China kepada kelompok Kristen.
"Satu hal yang orang China takuti, lebih dari Amerika adalah, mereka takut pada Kristen. Melebihi apapun," ujarnya.
Tapi China bukan satu-satunya isu panas yang digelontorkan Bannon. Pada bulan November 2015, Bannon pernah mengeluarkan pernyataan tentang Timur Tengah dan Islam. "Perang akan terjadi lagi di Timur Tengah. "
Dia juga mengecap Islam sebagai agama "yang paling radikal" sedunia. Pemikiran Bannon tak hanya ada di kepalanya, tapi merasuk ke Gedung Putih.
Beberapa analisis menyebut, Bannon adalah sosok 'pencuci otak' Donald Trump, dengan mempengaruhi sang presiden dengan doktrin bahwa 'AS tengah berperang dengan Islam'.