Liputan6.com, Manila - Presiden Filipina, Rodrigo Duterte menyatakan isu narkoba di negaranya telah menjadi ancaman keamanan nasional. Ia bermaksud untuk mengeluarkan perintah resmi untuk meminta campur tangan militer dalam "kampanye" anti-narkobanya.
Duterte mengatakan ia tidak berniat untuk menerapkan darurat militer namun perang narkobanya yang kontroversial masih akan terus berlanjut.
Baca Juga
"Saya akan melibatkan angkatan bersenjata Filipina dan mengangkat isu narkoba sebagai ancaman keamanan nasional sehingga saya bisa meminta seluruh anggota militer untuk membantu," ujar Presiden Duterte yang berpidato dari kampung halamannya di Davao seperti dilansir Al Jazeera, Jumat, (3/2/2017).
Advertisement
Ia juga memaki siapa saja yang terlibat dalam kejahatan narkoba dan mengancam akan menghabisi nyawa mereka.
"Saya akan membunuh lebih banyak (penjahat narkoba) untuk menyingkirkan obat-obatan terlarang," tegasnya.
Pernyataan Duterte ini muncul tak lama setelah desakan dari Kementerian Pertahanan agar presiden melibatkan militer -- dalam memburu para penjahat narkoba serta polisi yang korup.
Sementara itu, pihak kepolisian Filipina sempat mengatakan akan menangguhkan perang anti-narkoba dan "membersihkan" jajarannya menyusul tertangkapnya sejumlah anggota polisi yang melakukan penculikan dan pembunuhan. Mereka menutupi perbuatannya dengan kedok perang narkoba.
Jee Ick-joo, seorang pengusaha Korea Selatan yang tinggal di Filipina merupakan salah satu dari korban sindikat polisi tersebut. Pembunuhannya di markas besar kepolisian di Manila memicu penyelidikan Kongres juga mendatangkan malu bagi Duterte.
Kementerian Kehakiman negara itu menyatakan, Jee diculik dengan alasan terlibat perdagangan narkoba. Setelah dicekik, petugas polisi yang membunuhnya berpura-pura ia masih hidup. Berikutnya, para pembunuh Jee meminta uang tebusan ke pihak keluarga.
Hingga 31 Januari 2017, setidaknya 7.800 orang dilaporkan tewas dalam perang narkoba yang dikobarkan Duterte. Dari jumlah tersebut, 2.555 di antaranya tewas dalam operasi polisi, sementara 3.603 lainnya tewas di tangan pihak yang tidak diketahui identitasnya.
Amnesty International Filipina melaporkan bahwa anggota polisi negara itu saat ini tengah dibayar oleh pemerintah untuk membunuh tersangka narkoba.
"Ini bukan perang melawan narkoba, tapi perang melawan orang miskin. Seringkali buktinya sangat minim, orang-orang yang dituduh menggunakan atau menjual narkoba untuk mendapatkan uang dibunuh dalam 'pembunuhan berlatar ekonomi'," ujar Direktur Respons Krisis Amnesty International, Tirana Hassan.
Dalam pidato teranyarnya, Duterte yang sejak lama tak kenal kata kompromi ini mengklaim bahwa kebijakan perang narkobanya didukung oleh Presiden AS, Donald Trump. Ia juga menegaskan bahwa kebijakan kontroversialnya tersebut akan diterapkan sampai akhir masa jabatannya pada 2022.
Sementara itu, Human Rights Watch (HRW) memperingatkan militerisasi perang narkoba Duterte tersebut.
"Menggunakan personel militer dalam kebijakan sipil di mana saja berisiko tinggi meningkatkan kekerasan yang tidak perlu atau berlebihan dan sebuah taktik militer yang tidak layak," ujar Phelim Kine, Wakil Direktur HRW.