Liputan6.com, Washington, DC - Para staf di perusahaan media sosial Twitter mendonasikan dana sebesar US$ 1 juta atau sekitar Rp 13 miliar kepada American Civil Liberties Union (ACLU).
Kelompok advokasi itu adalah badan di balik perjuangan untuk membatalkan Perintah Eksekutif Donald Trump yang melarang masuk sementara 7 negara muslim ke AS.
Baca Juga
Kelompok pembela hak asasi manusia itu melaporkan dana sumbangan melalui sebuah laman donasi online kepada mereka telah mencapai US$ 24 juta dalam beberapa hari terakhir. Demikian, dikutip dari BBC, Jumat (3/1/2017).
Advertisement
Sekitar 1.000 staf di Twitter memberikan donasi ke ACLU lebih dari US$ 1 juta. Hal itu dibenarkan oleh CEO Jack Dorsey dan Omid Kordestani.
Sebuah email terima kasih dikirim oleh salah satu pengacara ACLU, Vijaya Gadde berisi, "Pekerjaan kita masih jauh dari kata selesai."
"Dalam beberapa bulan ke depan, kita akan menghadapi berbagai tantangan legal, dan tekanan legislatif," lanjut email itu.
"Tapi, selama kebebasan warga sipil akan terancam, saya bangga mengetahui ada banyak individu membela kebebasan dan menjaga satu sama lain."
Sejauh ini, Donald Trump kerap memakai layanan mikrobloging itu. Menurut miliarder nyentrik, ia mencintai Twitter dengan 140 karakternya dibanding langsung berbicara dengan wartawan karena pesannya akan diedit oleh media yang 'tak jujur'.
"Saya bisa saja berkicau di akun resmi Gedung Putih... tapi punya saya jauh lebih baik. Saya suka the Real Donald Trump," kata Trump dalam wawancara itu.Â
Akun pribadi @realDonaldTrump di Twitter memiliki followers atau pengikut sebesar 22,9 juta.Â
Dilaporkan juga oleh Bloomberg banyak perusahaan teknologi besar di AS tengah membuat surat terbuka kepada Trump. Mengekspresikan kekhawatiran mreka tentang perintah eksekutif larangan musliim masuk ke AS dan menawarkan bantuan untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi akibat perintah itu.
Sementara layangan pesan Viber telah menawarkan telepon internasional gratis dari negara-negara terdampak perintah eksekutif Trump yaitu, Irak, Iran, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman.