Liputan6.com, Mosul - Seorang militan Belgia memiliki rekam medis yang mengatakan ia menderita sakit punggung dan menolak untuk berperang. Sementara, seorang warga Prancis mengklaim ia ingin meninggalkan Irak untuk jadi bomber di negaranya.
Beberapa militan asing juga minta untuk ditranfer ke Suriah dan lainnya menolak untuk turut berperang.
Baca Juga
Itu adalah secuplik isi dari dokumen yang dimiliki ISIS yang berisi ada sekitar 14 masalah di batalion Tariq Bin Ziyad yang mengepalai militan asing.
Advertisement
Dokumen itu ditemukan oleh tentara Irak setelah berhasil merebut kembali Mosul bulan lalu.
Di masa jaya-jayanya, ISIS menarik ribuan calon setiap bulan dan menguasai sekitar sepertiga dari wilayah Irak, dan militan asing yang mengalir dari berbagai negara telah ditandai sebagai pejuang yang paling kejam. Tapi kelompok teroris itu terus kehilangan tanah kekuasaan dan daya tarik.
Para militan terkepung di bagian barat Mosul. Kekalahan kelompok ini telah memicu kekhawatiran di Eropa bahwa para pejuang kecewa mungkin menemukan jalan pulang.
"Dia tak mau perang, dan ingin kembali ke Prancis," tulis catatan tentang pemuda 24 tahun yang tercatat sebagai penduduk Prancis keturunan Algeria.
"Ia mengklaim akan jadi martir di Prancis. Klaim sakit tapi tak ada laporan medis," lanjut dokumen itu seperti dikutip dari The Independent pada Minggu (12/1/2017).
Militan itu merupakan salah satu dari lima militan yang terdaftar berasal dari Prancis.
Prancis adalah negara 'penghasil' militan asing ISIS jika dibanding negara Eropa lainnya semenjak 2011. Mereka turut bergabung setelah Suriah bergejolak akibat perang sipil melawan Presiden Bashar al-Assad pecah.
Pemerintah Prancis melaporkan pada pertengahan 2016 telah terjadi penurunan drastis warga negaranya yang bepergian ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS. Namun memastikan masih ada 700 warganya di dua negara itu. Termasuk 275 perempuan dan 17 anak-anak.
Dokumen itu tertanggal tahun 2015 namun juga tertera tanggal spesifik pada tahun 2016.
Dalam dokumen itu juga tertera nama para militan, negara asal, negara tempat tinggal, tanggal lahir, golongan darah dan kemampuan menggunakan senjata. Juga, tertera sejumlah istri, anak-anak, dan budak seks yang mereka miliki.
Termasuk pula foto, tetapi sulit untuk memverifikasi kebenaran informasi pribadi itu. Kendati demikian, tentara Irak yang menemukann dokumen itu percaya bahwa itu asli.
Lebih dari 4.000 militan asing meninggalkan negara-negara Uni Eropa menuju Irak dan Suriah. Lebih dari sepertiganya pulang. Demikian menurut laporan International Centre for Counter-Terrorism yang berbasis di Den Haag.
Sekitar 14 dikonfirmasi tewas dan sisanya berada di dua negara itu ataupun keberadaannya tak diketahui.
"Banyak orang mengatakan mereka kebanyakan termotivasi, namun ketika sampai di Irak atau Suriah, bayangan mereka atas iming-iming buyar," kata Aymenn al-Timimi, analis spesialis kelompok militan.
Sementara menurut Edwin Bakker, peneliti di International Centre for Counter-Terrorism dan profesor anti-terorisme di Leiden University di Belanda mengatakan, militan dari negara-negara Eropa dikenal oleh para agen intelijen. Namun, mereka yang berasal dari Bosnia dan Kosovo tidak terlalu diketahui latar belakangnya.
Dengan perbatasan yang terbuka di Eropa, para militan ini mungkin bisa pulang dan melancarkan serangan di Benua Biru, kata Bakker.
"Namun, gelombang tsunami militan pulang ke Eropa itu berlebihan," lanjut Bakker.
"Meski demikian, jangan meremehkan jumlah mereka yang tinggal dan meninggal di sana," tambahnya.
Letjen Abdul Ghani al-Assadi, komandan militer Irak mengatakan, banyak tentara asing di Mosul. Mereka juga berani mati jadi bomber bunuh diri dan bertanggung jawwab atas 350 serangan bom kepada tentara Irak.
Di salah satu bekas markasi ISIS di kawasan Dhubat di Mosul, al-Assado menemukan puluhan paspor. 16 dari Rusia, empat dari Prancis. Juga ada 20 paspor kosong Irak. Ia berspekulasi para militan itu berhasil keluar dari negara itu.
Meskipun kemajuan pesat menguasai di Mosul timur, jenderal Irak masih mengharapkan pertarungan berdarah di masa depan. Sisi barat kota, rumah bagi 750.000 warga sipil, dikelilingi oleh pasukan Irak dan anggota Isis masih di situ. Mereka memiliki sedikit pilihan selain melawan atau mati.
"Masih banyak orang yang termotivasi," kata Bakker. "Mayoritas yang ada untuk berperang."
Â
Â