Liputan6.com, Kinshasa - Pemerintahan Republik Demokratik Kongo menyatakan mereka tidak mampu membiayai penyelenggaraan pemilihan presiden tahun ini.
Sebelumnya estimasi pembiayaan pemilu sudah dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum Kongo. Biayanya yang harus dikeluarkan dinilai terlalu mahal.
"Biaya menyelenggarakan pemilu mencapai US$ 1,8 miliar (Rp 240 triliun) sangat mahal," ucap Menteri Keuangan Pierre Kangudia seperti dikutip dari BBC, Kamis (16/2/2017).
Advertisement
Pada tahun lalu pemerintah dan oposisi di Kongo setuju untuk menggelar pemilu presiden pada akhir 2017. Namun, belum ada tanggal pasti kapan pesta demokrasi itu dihelat.
Kelompok oposisi mendesak agar pilpres segera dilaksanakan. Alasannya, mandat Presiden Kongo Joseph Kabila sudah berakhir sejak November 2016 lalu.
Karena itu, 'musuh' politik Kabila menyebut sang presiden sengaja menunda pilpres. Hal ini agar kekuasaan tetap berada di tangan orang nomor satu tersebut.
Baca Juga
Kongo sejak lama terjerumus dalam krisis politik. Diharapkan pada akhir pilpres 2017 bisa mengurangi tensi antara pemerintah dan oposisi.
KPU Kongo pun bekerja keras agar pemilu bisa terealisasi pada 2017 meski belum ada kepastian dari pemerintah. Mereka menargetkan setidaknya pada akhir Juli 2017 ini sebanyak 30 juta pemegang hak suara sudah bisa mereka daftarkan.
Pada awal bulan ini, kondisi negara yang luasnya sama dengan Eropa Barat tersebut semakin mekhawatirkan. Kematian pemimpin oposisi senior Etienne Tshisekedi jadi penyebabnya.
Penundaan pemilu di Kongo pada tahun lalu memicu kerusahaan besar. 50 orang tewas karena kericuhan tersebut.
Semenjak 55 tahun merdeka transfer kekuasaan di Kongo tidak pernah berlangsung mulus. Pertumpahan darah kerap menyelimuti.
Kabila sendiri sudah berkuasa sejak 2001. Ia jadi Presiden usai sang ayah Laurent memimpin Kongo sebelum dirinya tewas dibunuh.
Kabila telah dua kali beruntun menang pemilu. Dalam konstitusi Kongo, karena hal tersebut ia sudah tidak bisa lagi ikut serta dalam pilpres.