Liputan6.com, Jakarta - Isu rencana pernikahan gaib antara Sri Baruno Parameswari yang diduga merupakan titisan Nyi Roro Kidul, penguasa Laut Selatan, dan tokoh gaib Dayak, Pangkalima atau Panglima Burung, membuat heboh Kalimantan Tengah, khususnya Kabupaten Katingan.
Kabar ini ramai berkembang dan diperbincangkan, terutama di internet dan media sosial. Adanya rencana pernikahan gaib itu konon datang dari Damang Kepala Adat Kecamatan Katingan Tengah, Isae Djudae.
Namun demikian, seperti dikutip Liputan6.com dari berbagai sumber, pernikahan gaib seperti itu bukan hanya terjadi di Indonesia. Sejumlah budaya di bagian lain dunia juga mengenalnya, misalnya China, Sudan, India, Prancis, dan Amerika Serikat (AS).
Advertisement
Baca Juga
Nikah gaib adalah pernikahan yang sah menurut hukum walaupun salah satu atau dua pihak yang menikah telah meninggal dunia. Namun demikian, tujuan dan upacara yang berkaitan dengan nikah itu beragam.
Dalam banyak hal, nikah gaib berkaitan dengan harapan masyarakat dan pola keluarga, sejarah kebudayaan, cinta maupun emosi.
Seperti dikutip dari wisegeek.org pada Sabtu (25/2/2017), kadang-kadang nikah gaib dilakukan ketika salah satu pasangan dalam pertunangan telah meninggal.
Di lain kesempatan, nikah gaib dimaksudkan agar janda yang ditinggal mendapatkan pengasuhan dan anak dari pengganti suaminya. Biasanya saudara lelaki suaminya yang telah meninggal, tapi tetap dianggap menikah dengan almarhum suaminya.
Selain itu ada pula menganggap nikah gaib merupakan permintaan arwah.
Disarikan dari Atlas Obscura, berikut pernikahan gaib dalam berbagai budaya yang Liputan6.com rangkum:
1. China
Praktik perkencanan dan pernikahan China berubah perlahan-lahan akibat pengaruh teknologi dan situs kencan daring. Tapi, nilai-nilai kekeluargaan tradisional masih menjadi panduan.
Penerapan kebijakan 1 anak sejak 1978 agak mengguncang pasar perjodohan karena kecenderungan dalam masyarakat untuk mendapatkan anak lelaki, sehingga berlimpahlah kaum pria lajang.
Menurut adat China, putra yang lebih tua harus menikah sebelum adik lelakinya boleh menikah. Kalau anak lelaki yang lebih tua meninggal dunia dalam keadaan menikah, maka dilakukanlah nikah gaib.
Di Tiongkok dan kalangan keturunan China di Taiwan dan Singapura, nikah gaib dilakukan untuk mengatasi beragam penyakit sosial dan spiritual. Terutama keinginan menenangkan arwah orang-orang yang telah meninggal dunia dalam keadaan lajang.
Menurut penulis "Chinese Ghost Marriage", Diana Martin, "Arwah-arwah yang tinggal bersama keluarga wajib mengarahkan ketidakpuasan mereka dalam lingkaran keluarga."
Kebanyakan nikah gaib dilakukan untuk menyatukan dua arwah, bukan menikahkan arwah dengan seseorang yang masih hidup. Namun demikian, urusan perjodohan arwah lelaki dengan arwah wanita yang dianggap layak bisa menjurus kepada hal kriminal.
Pada Maret 2013, empat pria di utara China dijatuhi hukuman penjara karena menggali jasad 10 wanita dan menjualnya sebagai pengantin gaib kepada para keluarga yang saudara lelaki lajangnya telah meninggal dunia. Rencananya, jenazah itu dikuburkan lagi bersama dengan jasad pria lajang agar mereka 'bersama' dalam kekekalan.
Bagi wanita lajang yang meninggal, nikah gaib memberikan manfaat sosial dan spiritual dalam masyarakat patrilineal China. Jika wanita yang meninggal lajang tak mempunyai anak, maka tidak ada yang merawat rohnya.
Menurut tradisi China, wanita yang sudah meninggal tidak boleh dikenang dalam rumah keluarganya. Sedangkan wanita menikah yang sudah meninggal boleh dituliskan dalam lempeng batu kenangan dalam rumah suami.
Nikah gaib memastikan bahwa arwah wanita itu bisa dikenang dalam rumah suami yang dipilihkan baginya setelah ia meninggal.
Namun demikian, nikah gaib tidak legal di China. Laporan NBC News menyebutkan bahwa praktik itu telah dilarang pada masa kekuasaan Mao, walaupun ritual berlanjut terutama di kawasan utara negeri itu.
Advertisement
2. Jepang
Ellen Schattschneider, melalui artikel terbitan 2011 bertajuk "Buy Me a Bride: Death and Exchange in Northern Japanese Bride‐Doll Marriage," memaparkan tentang nikah gaib di Jepang.
Perbedaan utama nikah gaib Jepang dan China adalah bahwa di Jepang, pasangannya bukanlah manusia. Orang yang meninggal tidak menikah dengan orang mati maupun hidup tapi kepada sebuah boneka.
Menurut Schattschneider, dulu di Jepang memang pernah berlaku aturan nikah gaib seperti di China. Di mana ketika wanita hidup menikah dengan seorang pria yang sudah meninggal. Tapi kemudian boneka dipergunakan mulai 1930-an.
Saat itu, banyak pria muda Jepang meninggal dunia dalam perang dan invasi Jepang ke Manchuria sehingga menyulitkan menemukan wanita pengantin untuk mereka semua yang meninggal.
Dalam nikah gaib bersama boneka, foto pria yang meninggal dunia ditaruh dalam wadah kaca berdampingan dengan sebuah boneka dan dijaga dalam keadaan demikian selama 30 tahun, yaitu masa ketika arwah pria dianggap sudah bergerak menuju dunia selanjutnya.
3. Prancis
Prancis termasuk langka, karena secara legal jelas-jelas mengijinkan orang hidup menikahi orang mati. Salah satu hukumnya menyebutkan bahwa presiden memperbolehkan demi alasan yang kuat.
Tentu saja ada syaratnya, yaitu bahwa orang yang masih hidup harus membuktikan bahwa pasangan itu memang berniat untuk menikah dan telah mendapat izin menikah dari keluarga pihak yang sudah meninggal.
Jika presiden memutuskan mengabulkan permohonan pernikahan, maka pernikahan dianggap berlaku sejak tanggal sebelum kematian salah satu pasangan tersebut. Tapi, pasangan yang masih hidup tidak menerima hak atas harta benda orang yang sudah meninggal.
Jika seorang wanita sedang hamil saat kematian kekasihnya, maka ketika anak itu lahir, ia dianggap keturunan pria kekasihnya yang sudah meninggal dunia.
Aturan sipil Prancis diperkenalkan pada masa kekuasaan Napoleon, tapi pasal pernikahan yang dimaksud merupakan tambahan di kemudian hari dan berawal dari sebuah bencana.
Pada 2 Desember 1959, bendungan Malpasset di utara sungai Riviera Prancis jebol dan menumpahkan air bah yang menewaskan 423 orang. Presiden kala itu, Charles de Gaulle mengunjungi daerah bencana.
Seorang wanita bernama Irène Jodard memohon agar diijinkan menikahi tunangannya yang ikut meninggal dalam bencana. Pada 31 Desember, akhirnya parlemen Prancis meloloskan hukum yang mengijinkan pernikahan sesudah kematian.
Sejak saat itu, ratusan warga Prancis menikah dengan tunangan mereka yang sudah meninggal. Pengamatan antara 1960 hingga 1962 mendapati bahwa, di antara 1654 permohonan pernikahan, sekitar 95 persen berasal dari kaum wanita.
Pernikahan jenis ini masih berlanjut di Prancis, biasanya terkait dengan kisah sedih. Pada 2009, seorang wanita bernama Magali Jaskewicz (26) menikahi almarhum tunangannya, Jonathan George yang juga telah menjadi ayah bagi 2 anak wanita itu.
George berusia 25 tahun saat meninggal dunia, hanya 2 hari setelah mengajak menikah.
Advertisement
4. Sudan
Di kalangan Suku Nuer di selatan Sudan, nikah gaib berlangsung secara khas. Menurut Alice Singer dalam "Marriage Payments and the Exchange of People" disebutkan, "Jika seorang pria meninggal dunia tanpa keturunan lelaki, kerabat pria seringkali menikahi istri pria yang telah meninggal."
"Ayah biologis itu kemudian, secara sosial, bertindak seperti seorang suami, tapi arwah suami yang sudah meninggal dianggap sebagai ayah secara legal."
Pengaturan demikian seringkali dijalankan ketika seorang pria Nuer meninggal dunia karena pertikaian dan dilakukan untuk mengamankan harta dan garis keturunan pria yang meninggal.
Janda itu menerima pembayaran di awal nikah gaib, dan mencakup uang darah dari pelaku pembunuhan suaminya, demikian juga dengan pembayaran dalam bentuk ternak yang dulunya menjadi milik pria yang meninggal.
Dengan cara demikian, nikah gaib yang dilakukan menjaga tatanan sosial melalui redistribusi kekayaan dan harta.
5. Amerika Serikat
Di kalangan penganut Mormonisme di Amerika Serikat, pernikahan berlangsung abadi dan kematian hanya berlangsung sekejap.
Dengan demikian, ikatan pernikahan berlaku bagi pasangan selama hidup mereka dan hingga sesudahnya, asalkan pasangan itu berperilaku sesuai dengan tafsiran Gereja Orang Suci Zaman Akhir (OSZA) tentang ajaran Yesus Kristus.
Kaum Mormon percaya bahwa pernikahan abadi sehingga memungkinkan upacara pernikahan pada mereka yang sudah meninggal, sama halnya dengan pembaptisan Mormon yang juga bisa dilakukan setelah seseorang meninggal.
Upacara secara perwakilan itu dilakukan di tempat ibadah OSZA dan hanya diikuti oleh keturunan orang yang meninggal. Tapi, seperti ditulis Max Perry dalam Slate pada 2012, ternyata tidak selalu demikian.
Misalnya dalam kasus antar Thomas Jefferson dan salah satu budaknya, Sally Hemings. Keduanya bukan penganut Mormon semasa hidup mereka dan tidak menikahi satu sama lain.
Menutut pandangan Gereja OSZA, mereka berdua dipersatukan dalam kekekalan karena telah dibaptiskan dan dinikahkan setelah keduanya meninggal.
Advertisement