Sukses

Pasca-Donald Trump Jadi Presiden, 4 Masjid Dibakar dalam 7 Minggu

Kebakaran sejumlah masjid merupakan momok, bahwa hate crimes terhadap kelompok minoritas meningkat setelah Donald Trump jadi presiden.

Liputan6.com, Washington, DC - Pada 7 Januari 2017, Islamic Center di Lake Travis, Austin Texas terbakar. Dua minggu kemudian, masjid di kawasan Bellevue, Washington bernasib sama. Insiden itu terjadi setelah Donald Trump menang sebagai Presiden AS.

Dua minggu setelah itu, tepatnya 27 Januari 2017 atau beberapa jam setelah perintah eksekutif anti-imigran dari 7 negara muslim diteken, api menghanguskan masjid di Victoria, Texas.

Pada 24 Februari 2017, api terlihat di gerbang masuk Masjid Daarus Salaam di Tampa, Florida.

Otoritas mengatakan, tiga dari empat kebakaran itu terjadi akibat serangan arson atau disengaja. Sementara investigasi yang dilakukan pemadam kebakaran di Lake Travis pada 7 Januari lalu masih dilakukan. Demikian seperti dikutip dari Buzzfeed, Jumat (3/3/2017).

"Kami tak pernah melihat insiden di mana empat masjid terbakar dalam waktu berdekatan selama tujuh minggu," kata Mark Potok, peneliti senior di Southern Poverty Law Center (SPLC). Lembaga itu yang mengumpulkan data serangan atas nama kebencian di AS.

Trump Larang 7 Negara Muslim Masuk AS, Masjid di Texas Terbakar (Facebook/AP)

"Ini adalah bagian dari serangan dramatis kepada muslim," ia melanjutkan.

Kebakaran sejumlah masjid menjadi momok ketakutan bahwa hate crimes terhadap kelompok minoritas meningkat setelah Trump jadi presiden.

Dalam beberapa minggu, sejumlah ancaman bom menimpa sekolah-sekolah dan rumah ibadah Yahudi. Puncaknya adalah perusakan makam Yahudi di St Louis dua pekan lalu.

Pada Minggu, 26 Februari, sesorang melempar batu ke jendela Masjid Abu Bakr di Denver.

Dua hari setelah inaugurasi Trump, seorang perempuan menghancurkan jendela-jendela Dave Islamic Center di California. Ia juga meninggalkan bacon atau daging asap babi mentah di tiap gagang pintu.

"Jawaban atas pertanyaan mengapa serangan datang bertubi-tubi adalah, kita tak pernah melihat hal itu di masa lalu," ucap Potok lagi.

Sementara itu, Corey Saylor, direktur dari Department to Monitor and Combat Islamophobia di the Council on American-Islamic Relations mengatakan, "Di masa normal, ada satu dua insiden menyerang masjid. Tapi bukan dibakar."

"Saya tak pernah melihat level kekerasan setinggi ini semenjak 2009," lanjutnya.

Jumlah laporkan kejahatan kebencian anti-Islam meningkat sebelum kampanye Presiden AS pada 2016. Menurut laporan Dewan hubungan Amerika-Islam, ada 78 kasus masjid menjadi sasaran, di antaranya pembakaran, vandalisme dan perusakan lainnya pada tahun 2015.

Sebagai perbandingan, pada 2014 hanya 20 insiden serupa.

Sebuah laporan yang dirilis tahun lalu oleh Center for Muslim-Christian Understanding di Georgetown University menemukan pada 2015 ada delapan kasus pembakaran yang menargetkan masjid, atau bisnis dan rumah yang berhubungan dengan Muslim.

Data FBI menunjukkan, jumlah kejahatan kebencian anti-Muslim melonjak sebesar 67 persen pada 2014-2015. Sayangnya, data FBI terkait hal itu untuk 2016 belum tersedia.

Akan tetapi, dalam beberapa bulan terakhir, SPLC melaporkan kenaikan kasua kejahatan kebencian menyusul terpilihnya Trump jadi presiden.

"Kampanye dan kemenangan Donald Trump telah membuat kelompok sayap kanan radikal lebih berani menyerang minoritas tertentu," kata Potok.

"Mereka merasa bahwa pandangan mereka telah dilegitimasi oleh orang yang justru adalah seorang presiden Amerika Serikat."