Liputan6.com, Amsterdam - Pemilu parlemen Belanda yang berlangsung 15 Maret 2017 waktu setempat menjadi pembuka dari serangkaian pesta demokrasi penting yang akan bergulir di sejumlah negara Eropa, seperti Perancis, Jerman, dan mungkin juga Italia.
Pesta demokrasi di Belanda diawasi dengan ketat oleh seluruh Eropa dan dunia sebagai ukuran utama apakah kemenangan kelompok sayap kanan masih akan menemukan hambatan di sebuah benua yang memiliki kenangan menyakitkan soal fasisme.
Baca Juga
"Ini adalah perempat final dalam upaya mencegah populisme yang salah untuk meraih kemenangan," terang Mark Rutte, PM Belanda dan pemimpin Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) yang juga ikut bertarung dalam pemilu seperti dikutip dari The New York Times, Rabu, (15/3/2017).
Advertisement
"Babak semifinal ada di Prancis pada April dan Mei serta di bulan September di Jerman, kita akan menyaksikan babak final," imbuhnya.
Hampir di semua tempat gelombang populisme telah meningkat dan mereka yang beraliran nasionalis menyerukan untuk membendung imigran demi mengamankan dan melestarikan budaya lokal. Yang jadi pertanyaannya sekarang apakah kelompok populis akan mampu mempertahankan momentum mereka atau terbentur keraguan di kalangan pemilih.
Hajo Funke, seorang ilmuwan politik di Free University di Berlin mengatakan, dia mendeteksi sejumlah gejala-gejala awal atas reaksi warga terhadap populisme. Di Jerman, partai sayap kanan Alternative for Germany (AfD) tergelincir dalam jajak pendapat.
Menurut Funke, pemilih di Eropa tengah melihat Brexit dan fenomena kemenangan Donald Trump bukan sebagai titik inspirasi, melainkan keprihatinan yang mendalam.
"Tidak ada efek Trump. Tidak ada apapun yang terjadi, Saya melihat stagnasi, atau penolakan," terang Funke.
Di Negeri Kincir Angin, Funke mencatat, Geert Wilders, salah satu politisi paling lantang menyuarakan anti-Islam di Eropa yang juga kandidat PM Belanda telah berjuang meningkatkan posisinya dalam beberapa pekan terakhir setelah sebelumnya dukungan terhadapnya melonjak cepat dalam jajak pendapat.
"Ada bahaya yang bisa terjadi di luar kendali, terkait suara sejauh ini untuk Wilders. Tapi saya ragu itu akan terjadi," cetusnya.
Bahkan jika seorang populis seperti Wilders kalah, analis berpendapat, profil dan pengaruh mereka telah merasuki akar rumput kelompok kanan jauh.
"Sejak Geert Wilders masuk ke arena politik, ia tidak punya kantor, tapi dia memiliki pengaruh," kata Bert Bakker, seorang profesor komunikasi di University of Amsterdam.
Sejumlah isu yang sedang hangat di Belanda saat ini adalah pembatasan masuk imigran, politik identitas, dan nasionalisme.
Para profesor, lembaga survei, dan pihak lain yang mengamati pemilu menekankan bahwa, setidaknya di Belanda, kelompok sayap kanan jauh tidak akan menang atau mengontrol pemerintah. Ini karena sejumlah partai sayap kanan telah berjanji pada publik untuk tidak bekerja sama dengan Wilders dalam sebuah koalisi.
Dalam prediksi optimis, Wilders yang memimpin Partai Kebebasan (PVV) Belanda akan mendapat sekitar 15 persen suara. Bahkan jika suaranya digabungkan dengan kelompok sayap kanan dan anti kemapanan lainnya, jumlah gabungan kursi di parlemen tidak akan melebihi 30 kursi atau 20 persen dari kursi parlemen.
Ada 28 partai yang berpartisipasi dalam pemilu Belanda dan di antaranya hanya ada 10 atau 12 yang mendapatkan suara cukup untuk memenangkan kursi di parlemen. Sementara empat atau lima partai akan bergabung dalam koalisi pemerintahan -- merupakan gabungan kelompok kiri dan kanan.
Beberapa analis lain jauh lebih khawatir tentang pemilu Prancis mengingat tokoh populis yang juga pemimpin Front National, Marine Le Pen mendapat dukungan yang jauh lebih luas.
"Dukungan untuk Le Pen sangat konsisten, berbeda dengan tokoh populis lainnya," kata Funke.
Kekhawatiran yang lebih besar mungkin diarahkan ke Italia di mana Gerakan Bintang Lima dan Liga Utara dapat meraih kemenangan jika pemilu dilaksanakan -- bagian dari sebuah platform yang mengusulkan apakah Italia hatus terus menggunakan mata uang euro. Kemenangan tersebut dapat memicu hilangnya kepercayaan investor asing dan larinya modal dari negara itu.
"Italia berpotensi menghadapi kasus terburuk jika mereka dipaksa oleh hasil pemilu untuk melaksanakn referendum euro. Akan ada bahaya besar," tutur Funke.