Liputan6.com, Los Angeles - Francisco "Chico" Forster tewas ditembak di Los Angeles pada 16 Maret 1881. Ia tewas di tangan perempuan berusia 18 tahun yang menagih cinta kepadanya, Lastania Abarta.
Forster yang kala itu berusia 40 tahun, merupakan anak dari pengembang tanah kaya raya asal Los Angeles. Ia pun dinilai sebagai bujangan yang paling diidamkan, meski Forster memiliki reputasi senang mempermainkan perempuan alias playboy.
Baca Juga
Sementara itu Abarta bekerja di tempat biliar milik orang tuanya, di mana ia bernyanyi, bermain gitar, dan sering bertemu dengan Forster.
Advertisement
Pada 14 Maret, Abarta diundang untuk tampil di sebuah pesta yang diadakan Pio Pico, Gubernur California terakhir yang merupakan orang Meksiko. Saat itu, mantan politisi tersebut telah kehilangan bidang tanah yang cukup luas akibat ayah Forster.
Saat menyanyikan lagu di pesta tersebut, Abarta mengubah lirik untuk mengejek Pico dan kemudian kabur bersama Forster ke Hotel Moiso Mansion.
Dilansir History, pasangan itu kemudian bercinta setelah Forster berjanji menikahi Abarta. Namun, pria itu tak kunjung memenuhi janjinya. Ia bahkan menghilang.
Abarta dan saudara perempuannya, Hortensia, mulai menyisir Los Angeles untuk menemukan Forster. Mereka akhirnya menemukan pria itu dalam judi balapan dan menyeretnya ke kereta dan membawanya ke gereja.
Namun di tengah perjalanan, Forster lompat dari kereta. Abarta yang mengetahui hal tersebut kemudian mengambil pistol lalu menembak Forster ke bagian matanya.
Marah dengan kematian anaknya, ayah Forster menyewa jaksa khusus untuk memastikan bahwa Abarta benar-benar dihukum berat.
Menanggapi hal tersebut, pengacara Abarta mencoba melakukan pertahanan baru. Mereka menggunakan obsesi Amerika kala itu, yakni "histeria perempuan". Teori medis kala itu menyebut, perempuan bisa menjadi gila akibat sistem reproduksi mereka.
Langkah pertama yang mereka lakukan adalah memberikan bukti berupa sprei hotel yang terkena darah Abarta saat ia kehilangan keperawanannya oleh Forster.
Para pengacara kemudian memanggil tujuh ahli medis yang menguraikan teori-teori histeria mereka.
Mereka bersaksi bahwa Abarta mengajalami gejala histeria dan menyebut bahwa otaknya "sesak dengan darah" ketika membunuh Forster. Namun, kesaksian paling penting dan mendapat banyak tepuk tangan dari ruang sidang berasal dari Dr. Joseph Krutz.
"Setiap perempuan berbudi luhur ketika keutamaannya dicabut akan menjadi gila, tidak diragukan lagi," ujar Krutz saat itu.
Atas kesaksian ahli itu, seluruh juri yang semuanya adalah laki-laki, hanya membutuhkan dua puluh menit untuk membebaskan Abarta dari tuduhan. Gadis itu pun kemudian memilih meninggalkan kota dan menghilang dari pandangan.
Selain tewasnya Francisco Forster, pada tanggal yang sama di tahun 1988, 20 pesawat jet terbang di langit Halabja, Irak sekitar pukul 11.00 waktu setempat. Tak berapa lama terlihat asap berwarna membumbung di angkasa.
Tak lama berselang, suara teriakan warga terdengar di mana-mana. Ribuan orang dilaporkan tewas akibat gas beracun yang dilepaskan pesawat dalam tragedi yang terjadi di utara Iran tersebut.
Pada 16 Maret 2004 referendum paling kontroversial dilaksanakan di Crimea. Pemungutan suara itu menentukan nasib wilayah semenanjung tersebut yang kala itu masih menjadi bagian dari Ukraina.
Hasilnya referendum pun sangat mengejutkan. Lebih dari 95 persen warga Crimea memilih berpisah dengan Ukraina dan bergabung bersama Rusia.
Sekalipun tetap dilaksanakan dan telah diumumkan hasilnya, referendum tersebut tetap dikecam kalangan internasional serta negara-negara Barat. Mereka menyebut, pemungutan suara tersebut ilegal dan cara merupakan alibi Rusia yang ingin menganeksasi wilayah Crimea.