Sukses

FBI Akui Tengah Menyelidiki Dugaan Kolusi Rusia-Trump

Kabar soal investigasi FBI atas dugaan hubungan Rusia-Trump semasa kampanye pilpres AS awalnya masih simpang siur.

Liputan6.com, Washington, DC - Direktur FBI James Comey untuk pertama kalinya mengaku bahwa biro investigasi yang dipimpinnya tengah menyelidiki dugaan hubungan Rusia dengan Donald Trump semasa kampanye pemilu presiden. Tudingan intervensi Moskow dalam pilpres AS sendiri telah cukup lama bergaung.

Comey juga menyampaikan "teguran" implisit terhadap Trump dengan mengatakan, ia tidak memiliki informasi yang mendukung klaim presiden AS itu soal penyadapan atas dirinya yang dilakukan oleh Barack Obama. Pernyataan Comey itu datang dalam sidang dengar pendapat dengan Komite Intelijen Senat.

Pimpinan FBI itu menyebut, saat ini ia mendapati dirinya tengah berada di pusat badai politik.

Lebih lanjut ia menyatakan, bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin memiliki preferensi yang jelas atas siapa yang diinginkannya untuk menjadi presiden AS setelah Obama -- dan itu bukan Hillary Clinton.

Penyelidikan FBI terkait kemungkinan kolusi antara Rusia dan Trump dilakukan sebagai bagian dari investigasi lebih luas atas peretasan server Partai Demokrat dan tim kampanye Hillary.

"Itu termasuk menyelidiki sifat dari setiap hubungan antara individu yang terkait dengan kampanye Trump dan pemerintah Rusia dan apakah ada koordinasi di antara mereka," terang Comey seperti dikutip dari CNN, Selasa, (21/3/2017).

Comey mengklaim bahwa badan-badan intelijen AS sepakat dengan kesimpulan, tujuan Rusia melakukan berbagai upaya dalam musim kampanye pilpres AS adalah untuk membantu Trump mengalahkan Hillary.

"Mereka (Rusia) ingin menyakiti demokrasi kita, menyakiti Nyonya Hillary, menolong Trump. Kami yakin soal tiga hal ini, setidaknya sejak Desember lalu," ujar Comey.

Soal tudingan Trump bahwa rezim Obama melakukan penyadapan terhadap dirinya, ia tegaskan, dirinya tak punya informasi terkait hal tersebut.

"Saya tidak memiliki informasi yang mendukung pernyataan tersebut," tegasnya seraya menambahkan bahwa tidak ada presiden yang dapat memerintahkan operasi penyadapan terhadap warga AS tertentu.

Ketua Komite asal Partai Republik Devin Nunes mengatakan, sidang dengar pendapat memiliki sejumlah fokus, yaitu sejauh mana campur tangan Rusia dalam pilpres AS dan apakah ada tim kampanye Trump yang bersekongkol dengan Moskow.

Nunes juga menegaskan tidak ada penyadapan yang terjadi di Trump Tower, namun ia menambahkan pula, tidak menutup kemungkinan ada pengintaian terhadap tim kampanye Trump.

Politisi Republikan itu juga mengatakan, sidang dengar pendapat akan mencari sumber yang membocorkan informasi rahasia soal gangguan Rusia dalam pilpres AS.

Sementara sidang berlangsung, Gedung Putih ditengarai melancarkan serangan politik. Sean Spicer, juru bicara Trump mengatakan, presiden AS tersebut tidak akan meminta maaf kepada Obama atas tuduhan penyadapan tersebut.

Lagipula menurut Spicer, masih ada pertanyaan tersisa soal pengintaian terhadap kubu Trump yang mungkin saja terjadi semasa kampanye.

Dalam sidang dengan Komite Intelijen Senat, Comey juga diminta untuk menjelaskan kesimpulan dari laporan yang komunitas intelijen AS pada Januari lalu yang menyatakan bahwa Rusia telah berusaha membangkitkan ketidakpercayaan dalam demokrasi AS. Ia juga dicecar soal pernyataannya yang menyebut Rusia lebih condong ke Trump dibanding Hillary.

"Saya tidak tahu pasti, tapi saya pikir itu adalah penilaian yang cukup mudah bagi masyarakat," sebut Comey.

"Dia (Putin) sangat membenci Hillary sehingga sangat jelas preferensinya," imbuhnya.

Chuck Schumer, pemimpin minoritas Demokrat di DPR menyebutkan, klaim Trump soal penyadapan yang dilakukan Obama telah merusak kredibilitasnya.

"Presiden Trump berutang lebih dari sekadar penjelasan pada rakyat AS dan Obama, ia harus meminta maaf," ungkap Schumer.

"Dia harus mengaku bahwa dia salah, berhenti menulis tweet aneh, dan mulai bekerja atas nama negara ini," pungkasnya.

Video Terkini