Sukses

Rencana Pemberian Kewarganegaraan bagi Rohingya Ditentang

Wacana pemerintah Myanmar memberikan status kewarganegaraan bagi warga muslim Rohingya diprotes kalangan Buddha garis keras.

Liputan6.com, Naypyidaw - Ratusan orang dari kalangan garis keras Buddha berunjuk rasa memprotes rencana pemerintah Myanmar memberikan kewarganegaraan bagi warga muslim Rohingya. Demonstrasi yang digelar di Sittwe itu dipimpin Partai Arakan Nasional (ANP).

ANP merupakan partai berkuasa di negara bagian Rakhine, rumah bagi warga muslim Rohingya, etnis minoritas di Myanmar.

"Kami berdemo untuk mengatakan kepada pemerintah agar sepenuhnya menaati UU Kewarganegaraan 1982. Kami tidak mengizinkan pemerintah memberikan kewarganegaraan bagi imigran ilegal," ujar Aung Htay, penggagas demonstrasi seperti dikutip dari Associated Press, Selasa (21/3/2017).

UU Kewarganegaraan 1982 mendefinisikan bahwa warga negara adalah kelompok etnis yang secara permanen telah menetap dalam batas-batas modern Myanmar sebelum tahun 1823. Itu adalah tahun sebelum perang pertama antara Inggris-Myanmar.

Pemerintahan diktator Jenderal Ne Win memasukkan 135 kelompok etnis yang telah memenuhi persyaratan -- tidak ada Rohingya dalam daftar ini. Data inilah yang masih digunakan pemerintah sipil Myanmar hingga saat ini.

Sejak lama, muslim Rohingya mendapat diskriminasi di negeri yang mayoritas Buddha. Ini dipicu anggapan bahwa mereka adalah imigran gelap asal negara tetangga, Bangladesh. Di lain sisi, sejumlah studi menyebut, Rohingya telah bermukim di Myanmar selama beberapa generasi.

Puncak konflik Rohingya terjadi pada 2012, setelah serangkaian peristiwa yang memicu bentrokan antara masyarakat Buddha Rakhine dengan warga Rohingya. Ratusan orang dikabarkan tewas, sementara ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi.

Sementara itu, Rakhine punya catatan tersendiri. Wilayah itu merupakan negara bagian termiskin di Myanmar. Terdapat lebih dari 1 juta warga Rohingya tanpa kewarganegaraan yang hidup di sana.

Demonstrasi menentang pemberian kewarganegaraan bagi warga Rohingya ini digelar pada hari Minggu lalu, tepatnya tiga hari setelah Komisi Penasihat Rakhine (RAC) yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan mendesak pemerintah Myanmar untuk mempertimbangkan kembali program verifikasi etnis minoritas itu. Annan juga meminta agar pemerintah setempat menghapus pembatasan kebebasan bergerak warga Rohingya.

"Kami juga mempertanyakan soal kewarganegaraan. Kami juga menyerukan agar semua warga yang telah memiliki kewarganegaraan diberikan seluruh haknya," tutur Ghassan Salame, anggota RAC.

Pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi menyambut baik usulan tersebut. Kantor Suu Kyi mengatakan, sebagian rekomendasi RAC ini akan "segera dilaksanakan".

Sebelumnya, dua tahun lalu, pemerintah Myanmar telah menyita kartu putih atau kartu identitas penduduk warga Rohingya. Langkah ini dinilai sebagai upaya penerapan kembali UU Kewarganegaraan 1982 sekaligus mengusir mereka dari Rakhine.