Sukses

23-3-1994: Capres Meksiko Tewas Ditembak Saat Orasi Kampanye

Kematian capres Luis Donaldo Colosio di saat kampanye tak hanya mengguncang Meksiko tetapi juga dunia.

Liputan6.com, Meksiko - Dua suara tembakan yang memekakkan telinga 23 tahun lalu, masih terngiang di benak Lomas Taurinas.

Dengan mata kepalanya sendiri, ia juga melihat tubuh calon presiden Meksiko pilihannya, Luis Donaldo Colosio, tersungkur dalam kondisi tak bernyawa pada hari itu, 23 Maret 1994. 

Perempuan itu juga masih ingat, ratusan orang yang tengah mendengar Colosio berkampanye lari tunggang-langgang mencari selamat.

Taurinas yakin, pembunuhan Colosio, "jelas adalah sebuah konspirasi," kata dia seperti dikutip dari San Diego Tribune pada 20 tahun peringatan kematian Capres Colosio.

"Di hari kematiannya, capres pilihanku itu berkampanye mengatakan, Meksiko butuh keadilan, lalu dor! dor! Dia tewas," kenang Lomas.

Kematian capres Colosio membuat dunia perpolitikan Meksiko mengalami krisis terparah dalam enam dekade terakhir.

Pembunuhan Colosio mengingatkan pada luka mendalam Meksiko pada tahun 1928. Saat itu, Presiden Alvaro Obregón tewas terbunuh.

Colosio masih sangat muda pada hari pelaku penembakan, Mario Aburto, mencabut nyawanya. Usianya baru 44 tahun.

Berasal dari Partai Institutional Revolutionary Party (PRI), Colosio yang berasal dari Magdalena de Kino, Sonora, populer dan dianggap akan menjadi Presiden Meksiko selanjutnya.

 

Colosio adalah tipikal capres yang kerap kali berkampanye tanpa bodyguard. Pelaku yang kala itu berusia 24 tahun memanfaatkan hal itu. Pekerja pabrik tersebut langsung dibekuk dan di depan pengadilan ia mengaku menembak atas keinginan sendiri.

Namun, bagi analis politik dari lembaga think tank Meksiko, Joyce Langston, "kematian Colosio masih menjadi misteri."

"Orang Meksiko tak pernah percaya teori pelaku pembunuhan atas motif pribadi. Sama seperti mereka yang tak percaya Presiden Kennedy dibunuh oleh orang gila," kata Langston.

"Bahkan jika memang Aburto benar membunuh Colosio, banyak orang percaya pembunuhan itu dilakukan atas motif politik," lanjutnya.

Bagi Langston, kematian Colosio bukanlah insiden kesengajaan belaka. Namun, salah satu serial drama politik Meksiko sepanjang 1994. Termasuk pemberontakan kelompok Zapatista pada 1 Januari tahun itu di mana North American Free Trade Agreemen (NAFTA) diluncurkan.

Di bulan September, pemimpin PRI, José Francisco Ruiz Massieu, tewas dibunuh dan Desember mata uang peso mengalami devaluasi sehingga Meksiko terjun ke krisisi keuangan.

Colosio yang juga menteri untuk pembangunan sosial disebut-sebut menjadi pengganti Presiden Carlos Salinas de Gotari. Ia dianggap mampu menjembatani partai-partai tradisional di Meksiko dengan kelompok liberal untuk perbaikan ekonomi negara itu.

Teori konspirasi berkembang dalang pembunuhan Colosio sesungguhnya adalah orang partai PRI sendiri yang korup dan garis keras yang mendapat sokongan dari penyelundup narkoba dan politikus busuk lainnya.

"Bagi saya, kematian Colosio karena urusan internal partai PRI yang berebut kekuasaan," kata salah satu saksi mata sekaligus mantan guberbur Baja California di mana Colosio tewas.

Beberapa tahun setelah kematian Colosio, ada bukti bahwa keterlibatan Presiden Salina terkait tewasnya capres Meksiko terkuat.

Bukti didapat saat jaksa menutut Salina terlibat dengan kelompok kriminal. 

Salina menghabiskan waktu di akhir 1990-an di pengasingan, dan kembali ke Meksiko tahun 2000. Pemerintahannya rupanya juga terkait dengan pembunuhan politikus lainnya.

Pada 1999 saudara Salina, Raul didakwa memerintah dan membayai pembunuhan pemimpin PRI, José Francisco Ruiz Massieu, pada September 1994.

Selain kematian capres Colosio, sejarah lain mencatat pada 23 Maret tahun 1999 momen terbunuhnya Wakil Presiden Paraguay, Luis María Argana.

Sementara pada 2009, penerbangan 80 FedEx Express dengan pesawat McDonnell Douglas MD-11 dari Guangzhou, China jatuh di Bandara Internasional Narita Tokyo. Kapten dan kopilotnya dilaporkan tewas.

Dan pada 2015 di tanggal yang sama, Mantan Perdana Menteri (PM) Negeri Singa, Lee Kuan Yew mangkat.

Â