Liputan6.com, Hong Kong - Sebuah komite yang didominasi oleh pendukung pemerintah China memilih Carrie Lam sebagai pemimpin baru Hong Kong. Dengan demikian, Carrie mencatat sejarah sebagai pemimpin perempuan pertama di kota itu.
Namun, di lain sisi, terpilihnya Carrie, sosok yang disenangi Beijing, disebut telah memicu kecemasan warga yang melihat kebebasan kota mereka di bawah ancaman Tiongkok.
Nyonya Carrie, merupakan mantan orang nomor dua di kota itu. Ia mendapat 777 dukungan suara dari 1.163 yang dibutuhkan untuk menjadi kepala eksekutif Hong Kong.
Advertisement
Penantang Carrie adalah John Tsang, mantan sekretaris keuangan yang menurut jajak pendapat jauh lebih populer.
Pemimpin Hong Kong, sebuah wilayah semi otonom yang terdiri dari 7,3 juta warga ini dipilih oleh 1.194 pemilih. Kebanyakan dari mereka adalah pebisnis dan politisi yang memiliki kedekatan dengan Tiongkok.
Hong Kong mendapat jaminan kebebasan sipil dan otonomi tingkat tinggi di bawah persyaratan pengembalian wilayah ini tahun 1997 dari Inggris ke China -- sistem tersebut dikenal dengan "satu negara, dua sistem". Namun banyak yang meyakini bahwa Tiongkok telah melanggar perjanjian dengan semakin terbuka ikut campur dalam urusan Hong Kong.
"China berjanji bahwa rakyat Hong Kong lah yang akan menjalankan Hong Kong. Hari ini, hanya 1.200 orang yang mewakili kami dalam memilih kepala eksekutif, apakah itu adil?," ujar Mabel Yau (52), seorang demonstran yang protes di luar tempat pemungutan suara seperti dilansir The New York Times, Minggu, (26/3/2017).
Kekhawatiran seperti yang disuarakan Mabel disebut tidak akan reda dengan terpilihnya Carrie yang loyal terhadap Leung Chun-ying, kepala eksekutif sebelumnya yang juga tidak populer.
Sementara itu, dalam pidatonya, Carrie bersumpah akan memprioritaskan perbaikan keretakan sosial di Hong Kong.
"Hong Kong, rumah kita, menderita cukup banyak perpecahan. Selama kampanye saya mendengar banyak dari hati rakyat dan belajar serta mengalami banyak hal-hal baru dari sudut yang berbeda. Saya melihat kekurangan saya dan memahami bahwa saya harus berusaha lebih keras," ujar Carrie.
Upaya Carrie untuk merombak proses pemilihan sesuai dengan harapan Beijing sebelumnya dianggap gagal. Sebaliknya, kegagalan tersebut mendorong lahirnya Revolusi Payung tahun 2014 yang menyerukan agar pemilu sepenuhnya berlangsung dengan bebas -- sebuah tuntutan yang ditentang Beijing.
"Ketika nomor dua resmi jadi nomor satu, tidak akan ada banyak perubahan. Satu negara, dua sistem sia-sia dan otonomi tingkat tinggi kami tinggal nama saja," ujar Joshua Wong, salah satu pemimpin aksi protes.
Kelak, Carrie yang akan resmi berkantor pada 1 Juli tidak hanya dihadapkan pada gejolak politik, namun sejumlah persoalan lainnya. Seperti penuaan populasi yang berlangsung cepat, rendahnya mobilitas sosial, lambatnya pertumbuhan ekonomi, dan kesenjangan kekayaan terbesar di dunia.