Liputan6.com, London - Para muslimah mengenakan hijab warna biru dengan berbagai gradasi, saling bergandeng tangan di lokasi teror London, tepatnya di Jembatan Westminster, di depan Houses of Parliament (Gedung Parlemen Inggris) pada Minggu 26 Maret 2017.
Hal itu dilakukan sebagai bentuk simpatik terhadap korban serangan teror London pekan lalu.
Baca Juga
Warna biru pada hijab dipilih sebagai simbolisasi perdamaian. Aksi mereka turut didukung oleh kelompok simpatisan lain. Para peserta aksi mengheningkan cipta selama lima menit hingga jam Big Ben berdentang pada pukul 16.00 sore waktu setempat.
Situs berita CNN melansir, ada tiga korban jiwa dan belasan korban luka-luka akibat serangan teror di London. Pelaku , Khalid Masood, menabrak sejumlah pejalan kaki di trotoar Jembatan Westminster lalu menikam seorang petugas polisi yang bertugas di Gedung Parlemen Inggris.
Advertisement
Masood ditembak hingga tewas oleh polisi yang merespon di tempat kejadian. Seminggu kemudian, korban jiwa keempat menghembuskan napas terakhir di rumah sakit setelah sempat mengalami kritis.
Aksi simpatik yang dicanangkan oleh Women's March on London tersebut, dilakukan setelah sebuah foto yang viral di media sosial menunjukkan apa yang tampaknya seperti sikap acuh seorang perempuan berhijab di Jembatan Westminster setelah kejadian teror terjadi.
Beberapa netizen mengomentari sikap si perempuan di dalam foto yang nampak antipati terhadap korban teror.
Perempuan dalam foto tersebut akhirnya buka suara pada hari Jumat, 24 Maret 2017. Apa yang terlihat dalam gambar, menurut dia, sama sekali tak mewakili kenyataan sesungguhnya.
"Tak hanya trauma menyaksikan dampak dari kejadian teror yang mengejutkan tersebut, aku juga terkejut menemukan foto tersebut viral di media sosial serta menghadapi komentar orang-orang yang menarik kesimpulan bahwa aku menaruh kebencian dan xenophobia terhadap para korban, hanya sebatas karena pilihan pakaian yang aku kenakan," ujar perempuan dalam foto kepada Tell Mama--organisasi anti-serangan Muslim--seperti yang dikutip dari CNN, Senin (27/3/17).
"Perasaanku pada saat itu berduka, takut, dan khawatir," kata perempuan dalam foto yang memilih untuk anonim.
"Apa yang gambar tersebut tidak tunjukkan adalah bahwa aku sempat berbicara kepada saksi mata lain mengenai apa yang terjadi, apakah aku bisa memberikan bantuan... Aku bersimpati kepada para korban dan keluarganya", tambah dia.
Fotografer yang mengambil foto tersebut mengutarakan pendapat yang membela perempuan berhijab tersebut.
"Pada gambar-gambar yang lain, ia nampak sangat terkejut, dan menurutku ia juga tampak tertekan dengan kejadian itu," kata fotografer Jamie Lorriman kepada ABC.
Saat ini polisi sedang melaksanakan penyeldikan kontra-terorisme menyeluruh terhadap kejadian teror di Jembatan Westminster dan Gedung Parlemen Inggris 22 Maret 2017.
Penangkapan Terus-Menerus
Total ada 12 orang yang ditangkap dan diduga memiliki kaitan dengan serangan 22 Maret 2017.
Terakhir, seorang pria berusia 30 tahun ditangkap pada hari Minggu waktu setempat di Birmingham. Penangkapan dilakukan atas dasar "kecurigaan sedang mempersiapkan tindak terorisme" seperti yang diatur dalam Terrorism Act 2000 atau TACT 2000.
Sembilan orang yang telah ditangkap sebelumnya telah dilepas tanpa tindak lanjut.
Seorang pria berusia 58 tahun juga ditangkap di Birmingham pada 23 Maret 2017. Hingga saat ini, ia masih ditahan.
Selain itu, seorang perempuan berusia 32 tahun yang ditangkap di Manchester, sedang mengajukan bebas bersyarat. Pemeriksaan terhadapnya pun masih ditunda.
Hingga Senin, kepolisian Inggris telah melakukan operasi pemburuan dan penangkapan terhadap individu-individu yang terduga memiliki kaitan dengan pelaku teror London 22 Maret 2017 di empat kota berbeda, yakni Birmingham, London, dan Brighton.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Tak Terkait ISIS
Juru bicara lembaga kontra-terorisme Inggris mengatakan, saat ini penyelidik belum menemukan keterkaitan dengan ISIS dalam serangan teror di London.
Dua menit sebelum melancarkan aksinya, Khalid Masood aktif di grup 'media sosial-layanan pesan singkat' WhatsApp. Namun penyelidik belum menemukan bukti apakah pada saat itu atau sebelumnya Khalid Masood berkomunikasi dengan ISIS.
Para penyelidik sedang menelusuri segala bentuk komunikasi yang dilakukan Khalid Masood saat merencanakan atau sesaat sebelum melakukan aksinya. Namun, saat ini penyelidik meyakini bahwa Khalid Masood hanya sebatas terinspirasi, ketimbang dikendalikan langsung oleh ISIS.
Penyelidik masih melakukan penilaian apakah pelaku merencanakan perbuatannya seorang diri atau bertindak sebagai bagian rencana kelompok. Mereka masih mengembangkan kontak-kontak Khalid Masood dari kelompok radikal di Birmingham, Luton, dan London.
Aparat juga masih menyelidiki bagaimana Khalid Masood, dengan berbagai alias, menjadi teradikalisasi. Ia lahir dengan nama Adrian Russell Ajao, namun juga menggunakan nama Adrian Elms.
"Jelas hal tersebut merupakan fokus utama penyelidikan kami...yakni apa yang membuat dirinya teradikalisasi. Apakah itu disebabkan oleh komunitas, dipengaruhi oleh propaganda luar negeri, atau propaganda dari internet," ujar Mark Rowley, seorang petugas polisi kontra-terorisme veteran. Mark Rowley menambahkan agar orang-orang yang dekat atau pernah berhubungan dengan pelaku agar segera menghubungi pihak berwenang.
Khalid Masood lahir di Kent. Ia memiliki riwayat kejahatan kekerasan, tetapi tidak pernah untuk terorisme. Riwayat kejahatan terbaru yang pernah ia lakukan adalah kepemilikan senjata tajam pada tahun 2003.
Di samping 4 korban jiwa, serangan teror tersebut menimbulkan 50 korban luka, 31 diantaranya memerlukan perawatan di rumah sakit, ujar Mark Rowley.
Wisatawan asal Amerika Serikat, Kurt Coachran, pegawai administrasi sebuah universitas, Aysha Frade--warga negara Inggris keturunan Spanyol-- dan Palmer tewas saat kejadian. Korban keempat, Leslie Rhodes (75) asal Streatham, London Selatan meninggal pada 23 Maret 2017 lalu, setelah alat penopang hidupnya dinonaktifkan.
Advertisement