Liputan6.com, Mamot - Kamboja Tuberkulosis (TB) menjadi penyakit infeksi peringkat satu di dunia yang menyebabkan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Kamboja sempat menjadi negara dengan tingkat kematian akibat TB tertinggi di dunia, dengan prevalensi 380 orang pada setiap 100 ribu populasi pada 2015. Angka persebaran infeksi TB ini dinilai tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain, menurut WHO.
Meski Kamboja merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sedikit, jika soal epidemi TB, mereka menjadi pusat perhatian penting lembaga-lembaga kesehatan lokal dan dunia.
Advertisement
Reproductive Health Association of Cambodia, organisasi non-profit yang bergerak di bidang kesehatan, aktif berpartisipasi dalam sosialisasi TB di desa Sromsothmy, Kamboja.
Sosialisasi itu penting, mengingat Kamboja tergolong negara dengan pelayanan kesehatan yang buruk, khususnya untuk penanganan epidemi TB.
"Pelayanan kesehatan di sini (Kamboja) tidak berjalan dengan optimal sejak Perang Saudara Kamboja tahun 1965-1970," ujar Dr Jamie Tonsing, Direktur Regional Kawasan Asia Tenggara untuk International Union Against Tuberculosis and Lung Disease seperti yang dilansir CNN, Selasa (28/3/2017).
Tercatat pada 1990-an, hanya 50 dokter yang melakukan praktik di seluruh Kamboja.
Tonsing menjelaskan, kesadaran yang tinggi warga Kamboja mengenai TB sangat dibutuhkan untuk menekan lonjakan persebaran infeksi, pencegahan infeksi, dan mengoptimalkan upaya perawatan penderita TB. Hal ini membutuhkan peran tenaga medis yang optimal.
"Mereka sering menganggap orang yang sering batuk-batuk disebabkan oleh faktor usia atau karena dia sudah tua," ucap Tonsing. Namun, batuk yang tak kunjung berhenti adalah salah satu gejala utama infeksi TB.
Orang akan lalai untuk mengobati batuk yang tak kunjung henti dan menganggap remeh gejala itu. Padahal infeksi sudah berjangkit selama berminggu-minggu.
Parahnya lagi, pengidap TB mampu menginfeksi individu lain melalui batuk. Bakteri TB yang keluar melalui batuk mampu beterbangan di udara dan terhirup oleh individu lain, jelas Tonsing.
Ini membuat TB menjadi penyakit yang sangat mudah menginfeksi individu lain di Kamboja.
Perbaikan
Sejak 2010-an, Kamboja mulai membenahi fasilitas layanan kesehatan, khususnya dalam penanganan infeksi TB. Kamboja bekerja sama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Japan International Cooperation Agency untuk membangun Pusat Tuberkulosis dan Leprosy Nasional di bawah naungan Kementerian Kesehatan Kamboja.
Program yang dilakukan adalah perbaikan kebijakan layanan kesehatan, peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga medis, serta penambahan infrastruktur kesehatan.
"Meski begitu, tingkat infeksi tetap tinggi," kata Tonsing lagi.
Meski Kamboja tak lagi menempati posisi pertama pada grafik, Negara Angkor Wat itu tetap berada di peringkat 10 besar.
"Memang butuh puluhan tahun untuk mengurangi tingkat persebaran infeksi," kata Tonsing.
Sejak 2000, penurunan presentasi tingkat infeksi di Kamboja tiap tahunnya hanya sekitar 1,5 persen. Angka yang kecil untuk keluar dari peringkat 10 besar.
Bagaimana dengan Indonesia?
Membutuhkan Biaya Besar
Meski hanya mengalami sedikit penurunan, negara dan organisasi pemberi dana mulai menarik diri dari Kamboja. Tindakan ini dilakukan karena pemerintah Kamboja mampu berdikari untuk menyelenggarakan layanan kesehatannya sendiri dengan optimal.
"Seharusnya mereka tak menarik pendanaan...karena pencapaian yang sudah diraih akan sia-sia," kata Tonsing yang mengkritik pemerintah Jepang setelah melakukan terminasi pendanaan kesehatan dari Kamboja pada 2014. Tonsing terlibat aktif dalam program peningkatan kelayanan kesehatan epidemi TB di Kamboja selama lima tahun terakhir.
Putusnya pendanaan akan menghentikan sejumlah fasilitas pelayanan penanganan tuberkulosis di desa-desa kecil, seperti Distrik Kampong Cham dan Distrik Mamot. Dua distrik tersebut memproses sekitar 5 juta sampel infeksi TB, sepertiga dari total sampel infeksi TB di negeri Kamboja. Kini program tersebut terancam berhenti.
Kamboja pun kembali terancam menempati posisi pertama pada grafik persebaran infeksi TB dunia.
Indonesia Masih Lebih Baik
Kementerian Kesehatan menyebutkan, Indonesia sempat memiliki prevalensi infeksi TB yang tinggi pada 1990-an, yakni sebesar 443 orang pada setiap 100 ribu populasi penduduk. Lebih tinggi jika dibanding dengan Kamboja.
Namun, pada 2015, prevalensi TB di Indonesia turun setengahnya jika dibandingkan dengan data tahun 1990-an dan Kamboja, yakni sebesar 280 orang per 100.000 populasi penduduk.
Pelayanan kesehatan untuk penanganan TB di Indonesia mulai meningkat. Beberapa rumah sakit besar di Indonesia memiliki pusat pelayanan tuberkulosis. Di tingkat kelurahan, puskesmas memiliki layanan TB yang terintegrasi dengan rumah sakit daerah.
Tonsing menjelaskan, tak hanya perbaikan layanan, pemerintah juga harus meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat dan infrastruktur kesehatan untuk menekan angka prevalensi infeksi tuberkulosis secara bertahap.
Advertisement