Liputan6.com, Jakarta - Teknologi kedokteran telah mengalami banyak kemajuan dalam beberapa dekade terakhir. Sebut saja penggunaan sel punca untuk pengobatan regeneratif.
Selain penggunaan sel punca, ada juga penggunaan virus baik sebagai vektor pembawa gen bagus dari seorang manusia ke dalam jejaring tubuh manusia penderita penyakit tertentu.
Advertisement
Baca Juga
Namun, seperti dikutip dari Oddee pada Rabu (29/3/2017), semua itu memerlukan tahap uji yang berlapis hingga akhirnya bisa diterapkan pada manusia.
Bahkan, ketika diujikan pada manusia, tidak ada jaminan bahwa cara-cara pengobatan tersebut bisa langsung mujarab.
Sejumlah uji klinis pada manusia bahkan membawa petaka seperti beberapa insiden berikut ini:
1. Obat Berbahaya Pemicu Peraturan Baru
Pada 1950-an, Thalidomide dipasarkan sebagai obat penenang yang aman dipakai "bahkan pada masa kehamilan" karena pembuatnya "tidak mendapati dosis tinggi produknya bisa sampai membunuh seekor tikus".
Menjelang 1960-an, obat itu tersedia di 46 negara dan penjualannya setara dengan angka penjualan aspirin.
Dr. William McBride, seorang dokter anak dari Australia, mendapati bahwa obat itu juga mengurangi mual kehamilan dan menganjurkannya kepada para pasien yang sedang hamil. Hal itu menjadi tren dunia.
Tapi, menjelang 1961, ia mulai menemukan kaitan obat yang sepertinya tidak berbahaya itu dengan cacat berat saat bayi dilahirkan. Banyak bayi yang menderita fokomelia sehingga tungkai-tungkainya pendek, seperti sirip atau bahkan tidak ada. Dalam waktu kurang dari setahun, Thalomide dilarang hampir di seluruh negara dunia.
Tragedi yang diakibatkannya menjadi motivasi perombakan besar dalam kelembagaan Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat (AS) melalui lolosnya rancangan undang-undang Kefauver-Harris Drug Amendments Act pada 1962 yang memperketat uji obat-obatan di AS.
Advertisement
2. Uji Coba Gas Racun Syaraf
Pada 1953, seorang anggota muda Angkatan Udara Kerajaan Inggris (Royal Air Force, RAF) bernama Ronald Maddison meninggal dunia setelah terpapar sarin di Porton Down, Wiltshire.
Dalam penelitian, Maddison diberitahu bahwa ia sedang membantu mencari penyembuhan selesma biasa. Ia ditawari uang 15 shilling dan cuti 3 hari. Ia pun telah berencana menggunakan uang itu untuk membeli cincin tunangan bagi pacarnya, Mary Pyle.
Setibanya di fasilitas penelitian, ia dipaparkan pada 200 miligram gas syaraf jenis sarin yang dilumurkan pada bahan uniform pembungkus lengannya.
Hanya dalam 20 menit, ia mulai berkeringat dan mengeluh tidak merasa enak. Ia pun terkulai ke atas meja. Beberapa saat kemudian, ia mengeluhkan menjadi tuli dan mulai megap-megap serta kejang-kejang.
Maddison kemudian dibawa ke fasilitas kedokteran terdekat dan para dokter berusaha membangunkannya, lalu kemudian menyuntikkan adrenalin langsung ke jantugnya. Semuanya gagal.
Tidak sampai 45 menit setelah pertama kali dipaparkan pada racun itu, ia diumumkan meninggal dunia.
3. Buta Akibat Terapi Sel Punca
Uji klinis tak jelas pada sel punca yang dilakukan oleh sebuah klinik di Florida telah menyebabkan kebutaan menetap pada 3 pasien wanita berusia antara 72 hingga 88 tahun.
Wanita-wanita itu menderita peluruhan penglihatan (macular degeneration), suatu bentuk penyakit ganas pada retina. Mereka mengalami pengurangan penglihatan dalam beberapa tingkatan dan mencari pertolongan dengan membayar US$ 5 ribu.
Seminggu setelah sel-sel punca disuntikkan dalam mata-mata mereka—kiri dan kanan—para wanita itu pun buta sepenuhnya. Menurut para dokter, sepertinya penglihatan mereka tidak bisa dipulihkan lagi.
Sebenarnya, dalam kondisi yang tepat, sel-sel punca bisa bertransformasi menjadi hampir segala jenis sel dalam tubuh manusia, sehingga terbukti bisa menjadi obat regeneratif.
Para ilmuwan berharap bisa memanfaatkan sel-sel punca unutk memperbaiki jaringan dan organ yang rusak, bahkan termasuk peluruhan makular (penglihatan). Tapi, kita belum sampai ke sana.
Sekarang, para dokter menggunakannya dalam transplantasi sum-sum tulang, walaupun sekitar 600 klinik di seluruh AS juga menjajal prosedur yang belum terbukti untuk beragam masalah, seperti artritis, autisme, celebral palsy, stroke, kisut otot, dan kanker.
Advertisement
4. Obat Eksperimental Anti Meningitis
Pasda 1996, kota Kano di Nigeria diserang wabah terparah meningitis di Afrika. Saat itu, 11 anak meninggal dunia dalam uji klinis setelah diberi antibiotik oral yang masih dalam tahap percobaan (eksperimental).
Beberapa anak diberi ceftriaxone, sebuah pengobatan "standar emas" dalam pengobatan modern. Ada 5 anak meninggal dunia setelah diberi Trovan dan 5 anak meninggal setelah diberi ceftriaxone.
Pfizer, pabrikan pembuat obat, diduga belum mendapat izin secukupnya dari para orang tua anak-anak yang terlibat uji coba obat eksperimental tersebut.
Ada juga dugaan bahwa beberapa di antara anak-anak itu mendapatkan dosis yang lebih rendah daripada yang dianjurkan sehingga banyak yang menderita kerusakan otak, lumpuh, atau bicara secara meracau.
Pada 2009, Pfizer mencapai kesepakatan sementara di luar pengadilan dengan pemerintah Kano senilai US$ 75 juta. Masing-masing keluarga yang kehilangan anak mendapat US$ 175 ribu.
5. Uji Klinis Pengobatan Kanker
Pihak FDA membekukan uji klinis perawatan oleh perusahaan biofarmasi Juno Therapeutics setelah meninggalnya 2 pasien pada 2016.
Seorang pasien dari uji coba sebelumnya meninggal karena edema selebral, yaitu pembengkakan otak yang menyebabkan berlebihnya cairan sehingga menewaskan pasien itu.
Perusahaan obat memutuskan bahwa kematian para pasien disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk penambahan obat lain pembasmi kanker ke dalam pasokan obat.
Sejak saat itu, FDA melanjutkan percobaan tanpa penggunaan obat kanker yang ditambahkan pada ramuan prakondisi penyakitnya.
Advertisement
6. Uji Klinis Terapi Gen
Jesse Gelsinger yang masih berusia 18 tahun mengidap kondisi yang dikenal sebagai ornithine transcarbamylase deficiency (OTC), tapi masih terkendali melalui aturan makan dan obat-obatan.
Pemuda itu kekurangan enzim yang membantu metabolisme ammonia. Amonia sendiri merupakan produk sampah dari metabolisme protein yang menjadi racun ketika kadarnya terlalu tinggi.
Penyakit itu membawa maut pada balita, tapi pemuda itu mengidapnya bukan karena faktor keturunan. Kondisinya disebabkan oleh mutasi genetik secara spontan segera setelah pembuahan. Lagipula, kondisinya tidak terlalu parah.
Selain masalah itu, pemuda tersebut sebenarnya sehat-sehat saja. Ia kemudian mengikuti uji klinis di University of Pennsylvania dengan tujuan mengembangkan pengobatan bayi yang terlahir dengan penyakit tersebut.
Di sana, ia disuntik dengan vector adenoviral yang membawa gen yang telah diperbaiki guna menguji keamanan prosedurnya.
Empat hari kemudian ia meninggal dunia setelah menderita tanggapan kekebalan luar biasa yang dipicu oleh penggunaan vektor viral pembawa gen ke dalam sel-selnya. Keadaan itu menyebabkan kegagalan beberapa organ dan matinya otak.
Kematian pemuda itu pada 1999 telah memperlambat kemajuan terapi gen untuk berbagai kondisi lainnya.
7. Percobaan Pengobatan
Pada Maret 2006, ada 8 orang yang secara sukarela mencoba obat baru dengan harapan perbaikan penyembuhan kanker melalui manipulasi sistem kekebalan. Masing-masing ditawari 2000 poundsterling.
Sesaat setelah menenggak obat TGN 1412, enam orang di antara mereka mengerang dan menjerit penuh penderitaan ketika organ-organ dalam tubuh mereka mulai gagal dan kepala mereka membengkak. Dua orang lagi mendapat plasebo.
Para dokter berusaha menyelamatkan pemuda-pemuda itu di ICU selama beberapa minggu sebelum kemudian diizinkan pulang.
Ryan Wilson, peserta termuda yang saat itu berusia 21 tahun, harus dirawat 4 bulan setelah kegagalan jantung, hati, dan ginjal. Ia juga mengalami dampak sengatan beku sehingga sebagian kaki-kakinya harus mengalami amputasi dan beberapa jari tangannya lepas.
Mereka masih belum mengetahui kerusakan jangka panjang dalam tubuh mereka akibat percobaan perusahaan Parexel dari AS di Northwick Park Hospital, London, tersebut.
Advertisement
8. Uji Klinis Pemicu Bunuh Diri
Pada 2003, Dr. Stephen Olson, seorang wakil profesor di Departemen Psikiatri di University of Minnesota, memaksa seorang pemuda psikotik untuk ikut serta dalam penelitian obat anti-psikotik Seroquel yang didanai oleh perusahaan AstraZeneca.
Obat itu ditujukan kepada para pasien yang mengalami episode psikotik pertama mereka. Pemuda itu diancam dengan komitmen yang sifatnya tidak suka rela.
Dan Markingson mendaftar penelitian "CAFÉ" tersebut. Tapi ibunya, Mary Weiss, keberatan dengan kesertaan putranya dan selama beberapa bulan mencoba untuk mengeluarkan putranya karena melihat putranya semakin parah dan bisa bahaya melakukan bunuh diri.
Peringatan ibu itu terus diabaikan dan penelitian tetap dilanjutkan. Hanya 5 bulan setelah mulainya penelitian, pemuda itu meninggal setelah menyayat dirinya sendiri dengan pisau kardus.
Setelah kematiannya, pihak universitas menangguhkan rektrutmen. Charles Schulz mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Ketua Departemen Psikiatri sebagai akibat tragedi tersebut.
9. Uji Coba Obat Prancis
Pada 2016, enam pria harus dirawat di rumah sakit dan satu di antaranya kemudian meninggal setelah ikut serta dalam penelitian obat di Centre Hospitalier Universitaire de Rennes, Brittany timur, di barat laut negeri itu.
Di antara 128 peserta, ada 90 orang yang diberi obat tanpa nama dan sisanya diberi plasebo. Obat itu dimaksudkan untuk membantu mood, kecemasan dan masalah gerakan terkait dengan penyakit-penyakit peluruhan syaraf.
Selama Tahap 1 oleh perusahaan evaluasi obat Biotrial yang berkedudukan di Rennes, tiga di antara 6 pasien terdampak mengalami kerusakan otak yang tidak bisa dipulihkan.
Penyidikan sedang dilakukan terhadap 3 pria berusia 28 hingga 49 tahun itu. Sejauh ini, obat itu diakui menyebabkan kematian "beberapa" ekor anjing dan hewan-hewan lain pengidap kerusakan syaraf sebelum obat kemudian diujikan pada manusia.
Advertisement