Sukses

Menantu Donald Trump Berkunjung ke Irak, Ada Agenda Khusus?

Dalam kunjungannya ke Irak, Kushner tidak sendiri. Ia bersama dengan Kepala Staf Gabungan Joseph Dunford.

Liputan6.com, Washington, DC - Penasihat senior Gedung Putih yang juga menantu Presiden Donald Trump, Jared Kushner (36), dilaporkan melakukan lawatan perdananya ke Irak pada akhir pekan kemarin.

Seperti dilansir CNN, Senin, (3/4/2017), menurut seorang pejabat senior, Kushner diundang oleh Kepala Staf Gabungan Joseph Dunford dan keduanya berangkat bersama. Namun sumber yang sama menolak untuk menjelaskan agenda suami Ivanka tersebut selama berada di Irak.

Dalam laporannya seperti yang dilansir CNBC, menurut seorang pejabat AS maksud kunjungan Kushner ke Irak adalah untuk melihat langsung negara yang pernah dipimpin oleh Saddam Hussein tersebut. 

Melalui lawatan tersebut, ia disebut-sebut juga ingin menunjukkan dukungan terhadap pemerintahan Irak yang kini dipimpin oleh Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi. Media The New York Times merupakan pihak yang pertama kali melaporkan kunjungan Kushner ke Irak.

PM Abadi sendiri sudah bertemu dengan Trump pada 20 Maret lalu. Usai pertemuan keduanya ia mengatakan, AS mendukung penuh perang melawan ISIS.

Kushner, yang sebelumnya dikenal sebagai pebisnis ini, disebut-sebut akan berperan signifikan dalam pertemuan Trump dengan Presiden China Xi Jinping pada akhir pekan ini.

Sejak awal penunjukannya sebagai penasihat di pemerintahan sang mertua, Kushner telah ditugaskan sebagai utusan perdamaian di kawasan Timur Tengah. Menikah dengan Ivanka, menjadikan sosoknya sebagai salah satu orang kepercayaan presiden AS.

Sementara itu, Trump sejauh ini belum menyinggung secara spesifik tentang Irak atau kebijakannya di Negeri 1001 Malam tersebut. Ia hanya berkomentar singkat pekan lalu dengan mengatakan, "AS melakukan pekerjaan yang sangat baik di Irak".

Lawatan Kushner ke Irak ini terjadi setelah para pejabat militer AS mengakui kemungkinan serangan udara di Mosul pada 17 Maret 2017 menewaskan warga sipil. Sebagian menyebut korban mencapai lebih dari 200 orang. Namun jumlah pastinya masih simpang siur.

Isu tersebut memperbarui kekhawatiran tentang kematian warga sipil akibat serangan udara yang dipimpin AS dalam perang melawan ISIS.