Sukses

Undang Xi Jinping ke Resor Mewah, Trump Mulai Babak Baru AS-China

Presiden AS Donald Trump dan Presiden RRC Xi Jinping bertemu untuk pertama kalinya. Pertemuan yang akan perkuat relasi kedua negara.

Liputan6.com, Washington, D. C. - Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping bertemu untuk pertama kalinya pada Kamis waktu setempat. Pertemuan itu ditujukan untuk memperkuat dan menstabilkan hubungan diplomasi antara kedua negara tersebut. 

Pertemuan itu berlangsung di sebuah resor mewah milik dinasti bisnis Trump, Mar-a-Lago, Florida, AS, seperti yang diwartakan CNN, Kamis, (6/4/2017).

Perbedaan karakter dan riwayat silat lidah antara kedua pemimpin negara itu menjadi pusat sorotan. Di satu sisi, Presiden Trump memiliki karakter sebagai politisi pemula yang eksentrik dengan gaya bicara yang 'blak-blak'-an. Dan di sisi lain, Presiden Xi merupakan politisi kawakan yang lama berkecimpung di Partai Komunis Tiongkok dengan gaya bicara yang aristokrat.

Posisi keduanya dalam konstelasi politik dunia juga menjadi titik perhatian pertemuan itu.

Pengamat menilai bahwa Presiden Xi merupakan pemimpin RRC paling berpengaruh untuk beberapa dekade terakhir. Kebijakan politik luar negeri Xi Jinping membuat China terus bertahan di pucuk kekuatan negara-negara Asia.

Trump Undang Xi Jinping ke Resor Mewah Pribadi (AP Photo/Alex Brandon)

Di lain pihak, Presiden Trump merupakan presiden baru yang paling tidak populer sepanjang sejarah AS. Tak hanya itu, Trump menduduki kursi kepresidenan Negeri Paman Sam disaat AS berada dalam kondisi yang buruk di Asia. Keputusan Trump untuk menarik mundur AS dari Kerjasama Trans-Pasifik mungkin dinilai positif oleh para pendukungnya sebagai sebuah ketepatan janj kampanye saat Pilpres 2016 lalu. Namun, di mata Tiongkok, hal itu dianggap sebagai sebuah pertanda kemunduran AS di Asia.

Namun, terlepas dari perbedaan keduanya, pertemuan di Mar-a-Lago itu akan lebih banyak membahas mengenai kerjasama bilateral untuk urusan dalam negeri Trump dan Xi.

Pengamat menilai, kunjungan Xi untuk bertemu Trump merupakan strategi politik presiden Negeri Tirai Bambu itu untuk perkuat posisinya agar mampu memperpanjang masa kepresidenannya menjadi dua periode.

Masa jabatan Xi sebagai presiden Tiongkok akan segera habis pada tahun 2018 nanti setelah duduk di kursi pimpinan tertinggi RRC sejak 2013 lalu. Manuver politik Xi untuk bertemu dengan Trump merupakan sebuah langkah strategis yang diharapkan mampu memperkuat posisinya di Tiongkok pada pemilihan presiden oleh kongres China pada tahun 2018. 

Menjaga hubungan baik dengan AS masih menjadi sebuah warisan positif yang turun temurun terus dipertahankan oleh para presiden Tiongkok sebelum Xi. Dan, pimpinan tertinggi Negeri Tirai Bambu itu berharap agar simbiosis mutualisme dengan AS tetap dapat ia wariskan pada periode kepresidenan selanjutnya. 

Namun, pengamat juga menilai bahwa Xi tak akan mudah untuk tunduk kepada Trump hanya demi memuluskan langkahnya pada pemilihan presiden Tiongkok pada 2018 nanti. Hal ini yang membuat pertemuan kedua pemimpin negara adikuasa itu akan penuh dengan hasil yang mengejutkan.

Ditambah lagi, pada beberapa kesempatan, Trump kerap menyudutkan posisi Xi sebagai 'pemimpin terkuat di Asia' untuk isu-isu seperti pemanasan global, Korea Utara, dan tarif perdagangan. 

Sejumlah hal itulah yang membuat Xi memiliki tekanan khusus pada pertemuannya dengan Trump.

"Ia akan menghindari segala bentuk tindakan atau perkataan Trump yang ditujukan untuk mempermalukan dirinya...ia digambarkan sebagai orang yang membawa kemajuan bagi bangsa Tiongkok...jika ia merasa akan dijatuhkan oleh Trump...itu akan menjadi masalah tersendiri bagi Xi," ujar Gideon Rachman seorang pakar politik.

Di pihak lain, bagi presiden AS ke-45 itu, pertemuan tersebut dapat meningkatkan profilnya sebagai seorang politisi di mata AS dan dunia. Hingga masa jabatannya yang sudah lebih dari 2 bulan itu, status kepresidenan Trump berada pada kondisi krisis. Kondisi itu banyak disebabkan oleh karakternya yang eksentrik dan rencana kebijakan politik yang absurd.

Tak hanya itu, Trump juga memiliki pekerjaan rumah yang penting untuk diselesaikan pada pertemuan dengan Xi, yakni pada isu besarnya defisit perdagangan AS dengan Tiongkok.

2 dari 2 halaman

Nasib Perdagangan AS dan China?

Salah satu janji kampanye Trump pada Pilpres 2016 lalu adalah untuk memperbaiki defisit perdagangan AS terhadap China. Selama ini, neraca impor AS dari China lebih besar jika dibandingkan dengan neraca ekspor AS ke China. Situasi ini membuat marjin defisit perdagangan yang besar dan merugikan AS. Situasi inilah yang akan dicoba untuk diperbaiki oleh Trump pada pertemuannya dengan Xi.

Selain isu ekonomi, suami Meliana itu akan melobi suami Peng agar melakukan tindakan tegas pada isu misil nuklir Korea Utara. Sebelumnya, Trump bahkan sempat mengultimatum Xi apabila Tiongkok tidak melakukan langkah tegas terhadap Korea Utara dan mengendurkan agresi RRC di Laut Cina Selatan.

Akan tetapi, pada beberapa waktu terakhir, pemerintahan presiden AS ke-45 itu cenderung lembut terhadap Tiongkok. Hal ini ditunjukkan dengan tunduknya Trump terhadap kebijakan 'One China' dan mengendurkan pernyataan yang menyudutkan RRC.

Bagi sejumlah pengamat, pertemuan Trump dan Xi justru sulit ditebak. Timbul kebingungan mengenai kebijakan politik seperti apa yang akan dihasilkan oleh kedua negara adikuasa itu.

"Pertemuan ini kacau dan berantakan (dari segi politis). Mungkin signifikansi besar dari pertemuan ini adalah kita mulai bisa mengetahui arah kebijakan politik bilateral kedua negara ini," ujar Rachman. 

Karakter Trump yang minim pengalaman politik namun ulung dalam hal bisnis dapat membuahkan hasil yang paradoks pada pertemuan nanti. Di satu sisi AS dapat dirugikan, namun dapat pula diuntungkan dalam hal hubungan bilateral dengan China pasca pertemuan itu.

"Dari sudut pandang Tiongkok, ada kebingungan mengenai ekspektasi apa yang harus mereka siapkan terhadap Trump. Mereka masih belum yakin. Saya pikir, mereka (China) khawatir bahwa pemimpin yang satu ini (Trump) sulit ditebak dan membuatnya sangat kuat. Namun di satu sisi, mereka menganggapnya (Trump) sebagai orang yang pragmatis dan lebih fleksibel secara ideologis sehingga mudah untuk diajak bekerjasama," tutup Aaron Friedberg, profesor politik Princeton University dan mantan penasihat mantan Wapres AS ke-46 Dick Cheney. 

 

 

Â