Sukses

Studi: Kanibalisme Manusia Purba untuk Keperluan Ritual

Ternyata, perilaku kanibalisme di kalangan manusia purba bukan karena keperluan pemenuhan kalori.

Liputan6.com, Jakarta - Ketika manusia purba, termasuk spesies kita, memakan sesamanya, hal tersebut diduga sebagai keperluan ritual dan bukannya sebagai upaya memenuhi asupan gizi. Demikian menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada Kamis lalu.

Melalui pencacahan tubuh manusia untuk menentukan nilai kalori tiap-tiap bagian, penelitian itu menengarai bahwa kanibalisme prasejarah --yang sebenarnya amat jarang terjadi-- merupakan kegiatan yang terlalu berbahaya kalau hanya sekadar untuk pemenuhan gizi.

Dikutip dari The Seeker pada Sabtu (8/4/2017), jika dipertimbangkan menurut berat, maka kuda liar, beruang, atau babi hutan memberikan tiga kali lebih banyak kalori dalam bentuk lemak dan protein dibandingkan dengan leluhur manusia yang lebih ramping.

Menurut penelitian yang telah terbit dalam jurnal Scientific Reports itu, leluhur kita lebih banyak terdiri dari kulit, otot, dan tulang. Bukan hanya itu, manusia yang menjadi mangsa pun diyakini melawan mati-matian sebelum dipotong-potong.

James Cole, pengajar senior arkeologi di University of Brighton, Inggris, menjelaskan, "Saya melakukan penelitian itu karena saya ingin mengetahui seberapa bergizinya kita dibandingkan dengan hewan-hewan."

"Hal itu bisa menjelaskan kita apakah kita, dan spesies lain manusia, melakukannya demi mendapat kalori, atau ada penjelasan lain," katanya kepada AFP.

Temuan itu kemudian mencetuskan gagasan bahwa kanibalisme di kalangan homo sapiens dan juga Neanderthals serta homo erectus lebih memilki makna budaya.

Penelitian baru-baru ini menengarai bahwa para lelulur kita, termasuk Neanderthals, memiliki budaya yang kaya sebagaimana dibuktikan dengan artefak, perhiasan, dan mungkin juga bahasa.

Cole mengatakan, "Bukannya tanpa alasan kalau menduga bahwa manusia purba tidak memiliki sikap yang kompleks terhadap kanibalisme seperti halnya manusia modern."

"Mereka mungkin saja memiliki banyak alasan untuk saling menyantap seperti alasan kita sekarang."

Ia menambahkan, "Itu bukan sekadar urusan daging."

Menurut Cole, menyedot sumsum dari tulang paha atau mengunyah limpa mungkin menjadi cara menegaskan kendali wilayah atau merupakan penghormatan bagi anggota keluarga yang wafat.

"Konsumsi sebagai makanan dalam skenario itu hanyalah sebagai bonus."

Lebih luas lagi, penelitian itu menengarai bahwa kerabat kita para penghuni gua dan belantara mungkin lebih canggih daripada yang kita sangka.

2 dari 2 halaman

Kekebalan

Suku Fore di Papua Nugini yang melakukan praktik kanibalisme di masa lalu. (Sumber Ancient Origins).

Kajian catatan fosil yang dibarengi dengan penelitian genetik anyar menunjukkan bahwa kanibalisme di kalangan spesies hominin, ataupun manusia purba, cukup lazim.

Cole mengatakan, "Kita tidak punya banyak sisa jasad manusia. Tapi bahkan hanya dengan sampel yang sedikit kita bisa melihat banyak bukti adanya modifikasi oleh manusia, yaitu penjagalan dan guratan pada tulang, yang konsisten dengan kanibalisme."

Tulang-tulang yang memiliki berkas potongan pada sambungan urat untuk memisahkan bagian otot, tulang-tulang panjang pada lengan dan paha yang diremuk untuk mencapai sumsum, dan bekas gigi-gigi manusia, semuanya merupakan pertanda manusia yang menyantap manusia lain.

Kasus kanibalisme paling dini yang tegas ditemukan di sebuah gua di Spanyol dan menggambarkan pendahulu manusia dalam lukisan yang bertarikh hingga sejuta tahun lalu.

Penelitian lain mengungkapkan bahwa manusia prasejarah mengembangkan bentuk kekebalan terhadap penyakit yang dikenal sebagai transmissible spongiform encephalopathies (TSE). Penyakit itu menular melalui penyantapan bahan otak.

Cole menjelaskan, "Satu-satunya alasan terjadinya adaptasi evolusioner adalah jika kita sangat terpapar pada patogennya."

Penyakit sapi gila pada manusia yang merebak pada 1990-an menular ketika orang menyantap daging dari sapi yang diberi pakan otak hewan-hewan yang terinfeksi.

"Atau kekebalan itu bisa juga berasal dari penyantapan bahan otak sesama spesies kita."

Hal terakhir itulah yang diduga terjadi pada suku Fore di Papua Nugini yang melakukan praktik kanibalisme.

Cukup banyak motivasi untuk menjelaskan tentang kanibalisme jaman modern, mulai dari psikosis, peperangan, atau ritual pengobatan dan pemakaman. Kandasnya kapal laut atau jatuhnya pesawat terbang juga bisa menjurus kepada kanibalisme.