Liputan6.com, Jakarta - "Hidup di dunia laki-laki" -- itulah yang dirasakan Kapten Penerbang Fariana Dewi Djakaria Putri.
Alasan pertama, perempuan yang lahir di Pariaman, Sumatera Barat itu memilih bergabung di TNI Angkatan Udara di mana kaum hawa masih minoritas.Â
Baca Juga
Kedua, ia adalah perempuan pertama yang menjadi penerbang helikopter di TNI AU.
Advertisement
Lahir pada 1 April 1982, putri dari Lilies Yenny Haryani dan Doko Djakaria Koerdi itu semasa kecil tak pernah membayangkan dirinya akan menjadi seorang penerbang.
Keputusan Fariana, untuk berhenti dari kuliah yang sudah dua tahun ia tempuh dan 'berbelok' ke dunia militer cukup mengejutkan kedua orang tuanya. Namun, ayah dan ibunya akhirnya memberi restu.Â
Karier gemilangnya dimulai pada tahun 2003, saat ia dilantik menjadi Wanita Angkatan Udara (Wara TNI-AU).
Profesi setara Polwan di Kepolisian dan Kowad (Korps Wanita AD) di TNI AD ini bukan sebuah profesi yang populer bagi kaum hawa.Â
Awalnya, Fariana tak tahu banyak soal profesinya. "Karena saya sudah memilihnya, saya harus bertanggungjawab dengan pilihan saya," tegas sang Kapten dalam wawancara dengan Liputan6.com.
Setelah dua tahun menjadi Wara, tahun 2005, karier Fariana mulai menanjak naik. Pada tahun itu, TNI-AU untuk membuka kesempatan pelatihan penerbang bagi Wara.
Dari 14 personel yang diikutsertakan, hanya Fariana dan rekannya, Ambar, yang lolos seleksi pendidikan penerbang untuk Wara pada tahun 2005.
Setelah mengikuti pendidikan selama dua tahun, pada 2007, Fariana dilantik menjadi Letnan 2 Penerbang dan dijuruskan menjadi seorang pilot helikopter berdasarkan hasil penilaian dan pelatihan.
Kala itu adalah momentum untuk kali pertamanya seorang perempuan anggota TNI-AU ditugaskan menerbangan helikopter.
Setelah dilantik menjadi penerbang, Fariana ditugaskan di Skuadron Udara 7 Heli, Lanud Suryadarma, Subang, Jawa Barat selama 8 tahun. Pada awalnya ia menjadi kopilot.
Dan seiring waktu, Fariana pun menjabat sebagai kapten pilot helikopter.
Suka duka menyelimuti masa dinasnya di Skuadron Udara yang berlokasi di Subang itu.
"Risiko, menyikapi di dunia pria. Masuk ke militer itu dunia cowok, kaum lelaki. dan perempuan jadi minoritas di situ," kata dia.
"Tapi, tetap kalau masalah risiko, kita masuk ke dunia penerbangan, semuanya akan mendapatkan risiko yang sama, baik perempuan atau lelaki. Kecelakaan tidak memilih korbannya, laki-laki atau perempuan," kata dia.Â
Berjuang untuk Buktikan Diri
Fariana mengatakan, pendidikan di sekolah penerbang melatih dirinya menjadi sosok yang terbiasa dengan kondisi gawat darurat. Untuk tetap berpikir logis dalam kondisi tertekan.
Pada tahun 2016, Fariana mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan instruktur penerbang di Lanud Adi Sucipto, Yogyakarta. Dan, pada tahun 2017 ini ia mengikuti pendidikan di Sekkau (Sekolah Komando Kesatuan TNI Angkatan Udara).
Selama pelatihan dan berdinas menjadi penerbang, ia dan rekannya Ambar, merupakan perempuan yang berada di tengah-tengah laki-laki.
"Saya ini hidup di dunia laki-laki. Militer identik dengan laki-laki. Dan saya harus berjuang untuk membuktikan diri saya," ujar perempuan 35 tahun itu.
Untuk mencapai posisinya kini, Fariana berjuang dengan segala upaya. Ia dan rekannya harus mampu mengatasi hambatan dan keterbatasan untuk membuktikan bahwa diri mereka juga lebih baik dari rekan-rekan laki-laki.
"Kita hanya bisa berkonsultasi berdua. Karena kita tahu keterbatasan masing-masing. Kodratnya perempuan, kayak datang bulan, ada perasaan 'kurang fit' misalnya, kita mood-nya kurang bagus, sudah kita antisipasi," kata dia.
"Jangan sampai emosi. Kita kan nggak sendiri ya, kita dengan rekan tim lain. Kalau sampai mood saya enggak bagus, bagaimana dengan tim, bagaimana dengan misi?," ungkap Fariana.
Menurut Fariana, para perempuan yang menuntut emansipasi dan kesetaraan harus membuktikan diri dan profesional dalam pekerjaannya.
"Saya berharap, perempuan di luar sana, yang meneriakkan emansipasi, yang ingin disetarakan dengan laki-laki -- yang pasti kita harus profesional," kata dia.
"Jangan meneriakkan emansipasi, ingin setara, pekerjaannya ingin setara, tapi kita tak punya ilmu dan kemampuan yang sama. Itu percuma. Kita harus bersaing secara sehat."