Liputan6.com, Pyongyang - Situasi di Semenanjung Korea kian tegang. Belakangan, tak hanya Korsel dan Korut yang berada dalam posisi berhadapan. Ada aktor ketiga yang muncul: Amerika Serikat.Â
Setelah menyerang rezim Suriah yang diduga kuat menggunakan senjata kimia pada rakyatnya, Pemerintahan Donald Trump mengerahkan armada tempurnya ke Semenanjung Korea -- untuk mengirim pesan kuat pada pihak Pyongyang yang kerap dianggap memprovokasi dengan uji coba rudalnya.Â
Baca Juga
Di sisi lain, Korea Utara membalas ancaman tersebut. Sejak Kim Jong-un naik takhta menggantikan sang ayah menjadi pemimpin, Pyongyang kian 'tak terkendali'.
Advertisement
Diawali dengan revisi konstitusi Korut pada tahun 2013 yang membuat negara itu sangat menggebu-gebu untuk membuat dan memiliki senjata nuklir. Dan, pada 2016, Korut semakin dekat untuk memiliki 'fat lady dan little boy'-nya sendiri.
Pada 12 Februari 2017, Korea Utara mengonfirmasi telah meluncurkan rudal balistik dengan sukses. Kantor berita Korut, KCNA, melaporkan bahwa rudal Pukguksong-2 itu merupakan senjata strategis baru yang mampu membawa hulu ledak nuklir.
Loncat satu bulan kemudian, dua pejabat Departemen Pertahanan Amerika Serikat mengatakan, Korea Utara telah melakukan uji coba sistem rudal balistik jenis Scud pada 24 Maret 2017. Seorang pejabat Pentagon menyebut, penilaian awal mengindikasikan bahwa teknologi itu bisa saja digunakan untuk misil balistik antarbenua.
Melihat perkembangan itu, Negeri Paman Sam pun gerah.
Pada 9 April 2017, Angkatan Laut AS mengonfirmasi telah mengirim armada kapal tempur AS yang dipimpin oleh kapal induk USS Carl Vinson--lengkap dengan membopong sejumlah alutsista udara--dan sejumlah kapal tempur lain yang berlabuh di Singapura untuk berlayar ke utara mendekati Semenanjung Korea, dekat dengan wilayah perairan Korea Utara.
Laksamana Harry Harris, Komandan Armada Perairan Pasifik AL AS, menjelaskan bahwa manuver pergerakan mendekat ke Semenanjung Korea itu dilakukan sebagai balasan provokasi yang baru-baru saja dilakukan oleh Korea Utara.
Tiongkok pun ikut meramaikan suasana. Pada 11 April 2017, China dilaporkan telah mengerahkan 150.000 pasukannya ke perbatasan Korea Utara sebagai persiapan menghadapi kemungkinan serangan Amerika Serikat.
Hal ini merupakan respons atas tindakan AS yang pada beberapa hari sebelumnya telah mengirimkan kapal induk USS Carl Vinson dari Singapura ke Korea Utara.
Pasukan China tersebut, dikerahkan untuk menangani adanya gelombang pengungsi Korea Utara dan sejumlah keadaan tak terduga.
Melihat situasi itu, negeri tetangga Korut, Korea Selatan, merasa khawatir dengan meningkatnya tensi militer di Semenanjung Korea.
Untuk memahami mengenai seberapa dekat kita dengan kemungkinan konflik terbuka di Semenanjung Korea, Liputan6.com merangkum 5 skenario terburuk yang mungkin dapat terjadi di Korea Utara pada beberapa waktu kedepan. Rangkuman ini merupakan hasil analisis Jeffrey Lewis, direktur East Asia Nonproliferation Program dari Middlebury Institute of International Studies, seperti yang diwartakan Vox, Rabu, (11/4/2017).
Berikut 5 skenario terburuk Amerika Serikat versus Korea Utara:
1. Kim Jong-un Melakukan Tindakan Gila
Faktanya adalah, Kim Jong-un memang memiliki misil jarak jauh. Dan, hulu ledak nuklir.
Fakta lain juga adalah, Korea Utara telah lama mempersiapkan diri mereka secara sistemik dan struktural untuk kemungkinan menerima serangan dan konflik terbuka dengan negara lain.
Uji coba misil jarak jauh mereka diprediksi oleh pengamat mampu menempuh sejumlah jarak untuk mengenai sasaran basis militer AS di Korea Selatan dan Jepang.
Andaikata serangan itu berhasil dilakukan, maka dampaknya mungkin akan cukup serius bagi AS untuk melakukan serangan balasan secara efektif.
Skenario itu masih bersifat 50/50. Karena, meski Kim memiliki hulu ledak nuklir, dunia masih belum mengetahui secara pasti apakah nuklir itu akan efektif.
Tapi tunggu, kehadiran Presiden Donald Trump dalam kancah perpolitikan global diprediksi dapat menjadi bandul pemberat bagi situasi di Korea Utara.
Pengamat memprediksi bahwa sikap Trump yang eksentrik dan sulit ditebak dapat memberikan kesan bagi Kim Jong-un bahwa AS akan sungguh-sungguh menyerang Pyongyang.
Advertisement
2. Saling Serang Korut Vs Korsel
Secara teknis, dua negara saudara-sebangsa itu masih dalam kondisi perang sejak Perang Korea pecah pada tahun 1950 hingga 1953. Enam puluh empat tahun kemudian, dua negara itu belum menandatangani perjanjian damai -- baru gencatan senjata.Â
Muncullah, Demilitarized Zone (DMZ) pada perbatasan kedua negara. Tensi militer pada perbatasan itu cukup tinggi dan seringkali diprovokasi oleh Korea Utara. Seperti penanaman ranjau yang melukai tentara Korea Selatan, penenggelaman kapal Korsel di wilayah perairan DMZ, dan pencatutan pulau Korsel oleh Korut.
Lewis menilai, skenario buruk dapat terjadi apabila Korsel melakukan provokasi balasan. Negeri Ginseng dilaporkan memiliki sejumlah misil kendali jarak jauh yang khusus ditujukan untuk menyerang Kim Jong-un.
Namun, serangan balasan berupa hantaman nuklir dari Kim juga ditakutkan oleh Korea Selatan.
Maka, kata Lewis, hanya menunggu waktu hingga Korut melakukan provokasi yang kelewat batas dan Korsel telah habis kesabaran.
3. Donald Trump Meremehkan Korut
Skenario yang sama kala George W. Bush memutuskan menginvasi Irak pada tahun 2003 : "Itu hal yang mudah."Â
Nyatanya, intervensi militer di Negeri 1001 Malam itu harus berlangsung selama satu dekade penuh, hingga akhirnya Obama menarik mundur seluruh pasukan tempur AS pada tahun 2013.
Arogansi dan kebiasaan meremehkan negara Irak dan--kini Korut -- inilah yang mungkin akan terjadi jika Trump mengambil keputusan yang sama dengan anak George Bush itu.
Dan, melihat karakter Trump yang eksentrik serta sulit diprediksi, bisa saja dengan enteng sang presiden AS ke-45 itu memengaruhi dan mendapat persetujuan Kongres AS, menghimpun koalisi, serta menginvasi Kim Jong-un. Tapi yang tidak ia pikirkan adalah, apakah mungkin invasi akan berlangsung efisien dan efektif?
Mungkin Donald Trump harus belajar tentang pepatah 'belajar dari sejarah.'
Advertisement
4. Jepang Melibatkan Diri dalam Konflik
Negeri Sakura cenderung diam pada tensi militer di Semenanjung Korea yang tak berada jauh dari wilayahnya.
Namun, ada indikasi bahwa Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe juga ingin memiliki misil kendali jarak jauh yang dapat dibeli dari AS. Dan, jika Jepang juga akan memilikinya, tensi militer kian meningkat.
Menurut Lewis, hanya tinggal menunggu waktu untuk skenario terburuk dapat terjadi ketika hampir seluruh negara di Asia Timur memiliki rudal jarak jauh.Â
Horor Perang Dunia III bukan tak mungkin terjadi di tengah situasi politik global yang karut-marut.
5. Runtuhnya Rezim Kim Jong-un
Sejarah membuktikan, jika suatu rezim mengalami kehancuran dari dalam, konflik terbuka cenderung turut mengikuti.
Lihat saja Bosnia-Herzegovina, Libya, atau Suriah. Pada akhirnya membentuk 'negara gagal' (failed state).
Tak hanya rezim, kondisi sosial-masyarakat juga akan mengalami kehancuran.
Korut memiliki sejarah krisis kemanusiaan pada tahun 1990an, seperti kelaparan dan penyakit.
Dan, jika internasional memutuskan untuk melakukan intervensi, situasi seperti di Suriah -- yang jadi lokasi proxy war antara Rusia dan AS -- mungkin dapat terjadi pula di Korut. Gelombang pengungsi kemungkinan terjadi.Â
Â
Â
Â
Â
Advertisement