Sukses

Serang ISIS, AS Jatuhkan Bom Berdaya Ledak Tinggi di Afghanistan

Amerika Serikat menyerang sejumlah kompleks terowongan dan gua yang dikendalikan ISIS di Afghanistan.

Liputan6.com, Washington, D. C. - Militer Amerika Serikat menjatuhkan bom non-nuklir berdaya ledak tinggi di sebuah lokasi yang diklaim sebagai basis ISIS di Afghanistan. Serangan itu dilakukan pada Kamis, 13 April 2017 waktu setempat.

Bom dengan nama resmi GBU-43/B Massive Ordnance Air Blast Bomb (MOAB) alias 'mother of all bombs' itu dijatuhkan pada pukul 19.32 malam waktu setempat. Operasi pengeboman hulu ledak dengan panjang 9 meter dan berat 9.797,6 kg ini dikonfirmasi oleh empat orang atase militer AS yang terlibat langsung.

Tak hanya itu, operasi tersebut juga dikonfirmasi oleh Presiden Donald Trump pada Kamis, 13 April 2017. Ia menyebut pengeboman itu sebagai 'pekerjaan lain yang berhasil dilakukan.'

'Mother of all bomb' itu dijatuhkan dengan menggunakan pesawat MC-130 yang lepas landas dari bandar udara di Afghanistan, dibawah kendali Komando Operasi Khusus Angkatan Udara AS, kata juru bicara Pentagon, Adam Stump, seperti yang diwartakan CNN, Kamis, (13/4/2017).

Bom itu ditargetkan pada sejumlah kompleks terowongan dan gua di sebuah wilayah terpencil di Distrik Achin, Provinsi Nangarhar, timur Afghanistan, dekat perbatasan Pakistan. Negeri Paman Sam mengklaim wilayah itu di bawah kendali ISIS.

"AS sangat serius dalam memerangi ISIS, dan salah satu cara untuk mengalahkannya adalah dengan menghancurkan wilayah operasi mereka, dan itu yang telah kami lakukan... serangan tersistematis itu ditargetkan pada kompleks terowongan dan gua yang digunakan militan ISIS untuk melakukan mobilisasi," kata sekretaris pers Gedung Putih, Sean Spicer.

Duta Besar Afghanistan untuk AS, Hamdullah Mohib, juga mengonfirmasi serangan itu. Ia menjelaskan bahwa pengeboman dilakukan sebagai respons atas meningkatnya tensi pertempuran antara Pasukan Khusus AS dan tentara Afghanistan melawan ISIS.

Pasukan koalisis Afghan-AS tak mampu memukul mundur militan ISIS dari Achin, Nangarhar. Disinyalir, kelompok militan itu telah memasang ranjau darat untuk menghambat laju pergerakan pasukan koalisi. Maka, pengeboman dijadikan solusi, ujar Mohib kepada jurnalis CNN.

Trump Dalang Serangan?

Sejauh ini Trump menolak disebut sebagai dalang utama pemberi perintah serangan.

"Semua orang tahu apa yang terjadi. Jadi, apa yang aku lakukan hanyalah memberikan otorisasi militer," kata presiden AS ke-45 itu.

Seorang atase senior pemerintah AS juga tak memberi pernyataan pasti apakah suami Melania itu merupakan dalang utama serangan. Namun, ia juga tak membantah kemungkinan Trump sebagai pemberi otorisasi utama.

"Kami tidak selalu memerintahkan serangan...tapi pemerintahan yang sekarang telah melangkah lebih jauh...apapun itu, ini merupakan perubahan kebijakan bagi Trump dan Menteri Pertahanan James Mattis," ujar sang atase yang sedikit menyinggung bahwa Gedung Putih merupakan pemberi perintah langsung, bukannya militer AS.

Presiden AS memang memiliki kuasa untuk memberikan kelonggaran kepada militer untuk melakukan operasi tanpa persetujuan langsung dari Orang Nomor Satu di Amerika.

Pada masa kampanye Pilpres AS 2016, ayah Ivanka Trump itu sempat menyinggung untuk 'mengebom habis' kelompok ISIS. Dan, apa yang sudah dilakukan Trump pada Kamis, 13 April 2017 lalu sangat didukung oleh sejumlah petinggi Partai Republik.

"Aku harap koalisi AS menyaksikan berita ini...sangat senang AU AS menjatuhkan bom untuk ISIS di Afghanistan...kita memang harus agresif terhadap ISIS di manapun," imbuh Senator Lindsey Graham, dari Carolina Selatan.

Namun, kubu Partai Demokrat mengkhawatirkan serangan itu.

"Tindakan itu justru akan meningkatkan tensi militer...seharusnya kita menurunkan tensi," kata Senator Jackie Speier dari California.

Menurut sejumlah sumber, Komandan Pasukan AS di Afghanistan, Jenderal John Nicholson, justru menolak penggunaan bom di wilayah operasi militernya.

Sejumlah sumber menjelaskan bahwa John Nicholson hanya menjalankan perintah yang datang dari hierarki yang lebih tinggi, yakni dari Komandan Pusat AS Wilayah Operasi Timur Tengah, Jenderal Joseph Votel. Hal ini dikonfirmasi oleh juru bicara Pentagon, Adam Stump.

Video Terkini