Liputan6.com, Washington, DC - Setelah menunaikan ibadah salat, Mohammad Shahzadah menutup gerbang rumahnya, lalu bersiap makan malam. Tiba-tiba ledakan terjadi. Langit pun merah, tanah bergetar hebat.
"Tanah yang kami pijak seakan menjelma jadi perahu di tengah badai," kata Shahzadah, seperti dikutip dari Guardian, Sabtu (15/4/2017).
"Kupikir rumahku dibom. Sebab, tahun lalu serangan drone menargetkan tempat tinggal di sebelah. Namun kali ini, langit seakan runtuh, anak-anak dan perempuan takut setengah mati."
Advertisement
Baca Juga
Pada Kamis 13 April 2017, Amerika Serikat menjatuhkan bom non-nuklir terbesarnya ke area Afghanistan timur.
GBU-43/B yang dikenal dengan julukan 'mother of all bombs' (MOAB) menargetkan terowongan dan bunker di Distrik Achin di Provinsi Nangarhar. Struktur bawah tanah itu dibangun oleh militan yang loyal terhadap ISIS.
Bom yang dipandu sistem GPD itu mengandung bahan peledak yang kekuatannya setara dengan 11 ton TNT. MOAB meledak di atas permukaan tanah dengan radius lebih dari 1 mil atau 1,6 km.
Bom dijatuhkan di pegunungan dekat Desa Moman, tepatnya di area yang disebut Asadkhel. Shaddle Bazar, area di mana Shahzadah tinggal, letaknya sekitar 1,5 mil jauhnya dari titik ledakan.
"Telingaku mendadak tuli untuk sementara. Jendela dan pintu rumah rusak, ada sejumlah retakan yang terbentuk di dinding," kata pria itu.
Pihak militer Amerika Serikat mengatakan, serangan yang dilancarkan menewaskan sedikitnya 36 militan ISIS.
Pagi berikutnya, sekitar pukul 09.00, jet-jet tempur memberondong area, demikian menurut komandan polisi setempat, Baaz Jan. Aparat lokal juga meminta serangan lanjutan, karena baik bom maupun serangan jet tempur gagal menghancurkan kompleks terowongan.
Komandan tertinggi AS di Afghanistan, Jenderal John Nicholson mengatakan, keputusan menjatuhkan bom diambil di Afghanistan, bukan Washington DC.
"Sejak awal Maret kami melakukan operasi ofensif di Nangarhar selatan," kata Nicholson.
Di sisi lain, para pengamat mempertanyakan arti penting penggunaan senjata berkekuatan besar terhadap 600-800 militan yang hanya menghadirkan ancaman relatif kecil pada Afghanistan.
"Memang benar, ISIS sangat brutal dan melakukan kekejaman pada warga. Namun, saya tak habis pikir mengapa bom seperti itu harus dijatuhkan," kata Wali Kota Achin, Naweed Shinwari.
"Itu (bom) justru meneror masyarakat. Kerabatku sempat mengira kiamat sedang tiba. Setiap hari ada jet-jet tempur dan drone yang diterbangkan di sana."
Efek Dahsyat Ledakan
Markas Departemen Pertahanan Amerika Serikat di Pentagon pada Jumat waktu setempat merilis efek ledakan 'mother of all bombs' (MOAB) di Afghanistan.
Dalam video berdurasi 30 detik terlihat, GBU-43/B Massive Ordnance Air Blast (MOAB) yang bobotnya mencapai 21.000 pound atau 9.525 kilogram dijatuhkan sebelum meledak di udara.
Kepulan asap langsung muncul dari lokasi terdampak.
Markas AS di Kabul mengatakan, bom dijatuhkan pada pukul 19.32 waktu setempat, Kamis 13 April 2017.
Presiden Donald Trump, yang mengaku merestui serangan tersebut menyebutnya sebagai, "misi yang sangat, sangat, berhasil."
Saksikan video dahsyatnya ledakan 'Mother of All Bombs' milik AS: