Liputan6.com, Kabul - Setidaknya 94 militan ISIS tewas setelah militer Amerika Serikat menjatuhkan bom non-nuklir paling kuat dalam daftar persenjataan Negeri Paman Sam ke markas kelompok teror tersebut di Afghanistan.
"Jumlah militan Daesh yang tewas dalam pemboman AS di Distrik Achin melonjak menjadi 94 orang, termasuk empat komandan," kata juru bicara Pemerintah Provinsi Nangarhar, Attaullah Khogiani, seperti dikutip dari CNN, Sabtu (15/4/2017). Daesh adalah nama lain dari ISIS.
Sebelumnya, pascaserangan bom pada Kamis malam 13 April 2017, pihak Pemerintah Afghanistan mengungkapkan, korban jiwa di pihak ISIS berjumlah 36 orang.
Advertisement
Sementara, sayap media ISIS, Amaq News Agency mengatakan, tak ada satupun korban jatuh dari pihak mereka.
Baca Juga
GBU-43/B Massive Ordnance Air Blast Bomb (MOAB), atau yang lebih dikenal sebagai 'mother of all bombs' -- karena kekuatannya yang luar biasa --dijatuhkan pada Kamis malam sekitar pukul 19.32 waktu setempat.Â
Saksi mata mengungkap kedahsyatan bahan peledak itu: tanah yang berguncang hebat, bangunan yang retak dan rusak, langit seakan mau runtuh, dan warna merah mengerikan terpampang di angkasa.
Serangan menargetkan jaringan terowongan bawah sekaligus benteng ISIS, yang digunakan untuk menyerang pasukan pemerintah di Nangarhar, yang berada dekat perbatasan Pakistan.
Ledakan yang dipicu bom menghancurkan tiga terowongan bawah tanah, sekaligus timbunan senjata dan amunisi. Baik pihak Afghanistan dan Amerika Serikat mengatakan, tak ada warga sipil yang jadi korban tewas maupun luka.
Militer AS membela keputusannya, saat disodori pertanyaan soal perlu tidaknya mengerahkan bom seberat 21.600 tersebut ke target.
Bom sepanjang 30 kaki atau 9,14 meter, yang diarahkan menggunakan GPS itu, bisa menghancurkan area perkotaan seluas 9 blok.
"Itu adalah senjata yang tepat untuk digunakan pada target," kata Jenderal John Nicholson, Komandan Pasukan AS di Afghanistan.
"Adalah waktu yang tepat untuk menggunakannya secara taktis terhadap sasaran yang tepat di medan perang."
AS awalnya memperkirakan, ada 600 hingga 800 militan ISIS di area tersebut.
Tak hanya mendapat restu dari Presiden AS Donald Trump, Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani juga setuju.
Trump bahkan menyebut, serangan tersebut sangat sukses. Sebelumnya, miliarder nyentrik itu memerintahkan serangan rudal ke pangkalan militer Suriah -- serangan pertama yang dilakukan AS terhadap rezim di Damaskus sepanjang enam tahun perang saudara yang tak kunjung berakhir di sana.
Namun, penolakan datang dari mantan Presiden Afghanistan Hamid Karzai. Ia menuduh, "AS menggunakan Afghanistan sebagai lahan uji coba senjata baru dan berbahaya."