Liputan6.com, Seoul - Korea Utara (Korut) memiliki reputasi 'sangar' sebagai negara paling menutup diri di dunia, sekaligus dianggap mengancam karena beberapa kali melakukan uji coba senjata nuklir.Â
Apalagi, belakangan, pemerintahan Kim Jong-un berani 'menantang' Amerika Serikat yang telah mengirimkan armada tempurnya ke Semenanjung Korea -- bersiap merespons uji coba nuklir Pyongyang.
Namun, ada banyak hal yang luput dari pandangan warga dunia tentang bagaimana sesungguhnya kehidupan sehari-hari warga Korut, lepas dari selubung propaganda rezim.Â
Advertisement
Dari pengakuan para pembelot, terkuaklah gambaran kehidupan warga Korut, termasuk soal kehidupan seksual mereka yang bikin penasaran banyak orang.Â
Karena situasi finansial yang sering buruk, para ibu berusia 40-an di Korea Utara terpaksa menjual tubuh mereka demi bisa pulang ke rumah.
Seperti di bagian lain dunia, Korea Utara juga memiliki industri seks. Kawasan-kawasan lampu merah atau pusat prostitusi kebanyakan berada di sekitar stasiun kereta.
Baca Juga
Dikutip dari New Focus International pada Jumat (28/4/2017), kebanyakan wanita yang bekerja di sana berusia 20-an. Namun, cukup banyak bentuk prostitusi tak biasa, yaitu prostitusi yang dilakukan kaum wanita menikah, berusia 40-an dan sudah memiliki anak.
Koresponden New Focus International menjelaskan melalui telepon bahwa, "Sistem prostitusi baru bermunculan di luar kawasan-kawasan lampu merah. Di stasiun-stasiun kereta kawasan perbatasan, kaum wanita dari berbagai provinsi menawarkan jasa seksual kepada para perwira militer dan penumpang demi uang sekadarnya."
"Setelah punya cukup uang, kaum wanita itu kemudian pergi ke provinsi lain. Kami memberi istilah 'prostitusi jarak jauh'."
Kaum wanita itu biasanya pedagang yang sementara waktu meninggalkan provinsi mereka untuk menjual gandum atau ternak di pinggir pasar dan tidak punya lapak.
"Gandum dan ternak menjadi komoditi utama, tapi mereka juga menjual seks sebagai sampingan dan mendekati para pria di jalan. Kaum wanita itu perlu segera pulang ke keluarga mereka, tapi tidak mempunyai uang untuk perjalanan yang cukup jauh."
"Karena desakan situasi, harga jasa mereka jauh lebih murah daripada kaum wanita di kawasan-kawasan lampu merah yang memang mengandalkan layanan seks sebagai sumber utama nafkah mereka."
Layanan Seks Dibayar 1 Kg Beras
Dalam kondisi keterdesakan ekonomi itu, layanan seks bisa ditebus dengan 1 kilogram beras.
Di tempat lain, bayaran itu relatif sangat murah. Namun, setelah harga beras melejit akibat bencana banjir di Provinsi Hamkyung Utara, para wanita itu pun kemudian lebih senang menerima beras sebagai pembayaran.
Kaum pria yang menerima sistem pembayaran seks ini membawa beras dalam jumlah lumayan, sebagai persiapan jika ada wanita yang menawarkan layanan seks.
Kadang-kadang, industri seks malah lebih menggiurkan daripada gandum dan ternak sehingga kaum wanita memilih melakukannya meski menyerempet bahaya.
Para pekerja seks jarak jauh itu berpindah bergerombol agar saling melindungi. Sebagian besar dari mereka membawa bungkusan-bungkusan besar berisi barang yang bisa dijual sehingga tidak terlalu terlihat sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).
Di dalam tas-tas mereka ada rokok, alkohol, dan cemilan. Semuanya disenangi oleh pria-pria pelanggan mereka.
Seorang pengungsi Korea Utara yang hanya menyebut namanya sebagai Kim pernah melakukan kegiatan tersebut.
Wanita dari Wonsan yang tiba di Korea Selatan di akhir 2015 itu mengungkapkan kisahnya.
"Saya tinggal di pedesaan Provinsi Gangwon. Provinsi itu banyak didiami anggota militer, lebih banyak dari provinsi-provinsi lain."
Di tempat tinggalnya, kaum wanita bekerja menjadi penyemir sepatu tentara. Bahkan, ada beberapa spesialis, yang kerjanya memang hanya menyemir sepatu tentara. Pekerjaan itu lazim di sana.
"Kadang-kadang ada wanita yang berlutut dan membersihkan sepatu, namun tentaranya berbisik-bisik. Wanita itu memakai riasan tebal dan pakaian mengundang."
Anggota militer demikian bukanlah prajurit rendahan, melainkan jenderal-jenderal atau perwira tinggi lainnya. Setelah menyemir sepatu, si wanita mengikuti perwira itu ke barak militer agar bisa berduaan.
Kaum wanita Korea biasanya konservatif untuk urusan terkait seks. Namun, jika terkait urusan bertahan hidup, maka prinsip moral menjadi nomor dua. Sementara itu, pemerintah Korea Utara justru lebih gencar membiayai program nuklir, bukan membiayai program pangan untuk warganya.
Advertisement