Sukses

Pilpres Prancis Putaran Kedua Dimulai, Siapa Pemenangnya?

Pilpres Prancis 2017 putaran kedua dimulai. Siapa yang akan menjadi pemenangnya? Macron atau Le Pen?

Liputan6.com, Paris - Para pemilih pada Pilpres Prancis 2017 putaran kedua akan menggunakan hak pilihnya pada Minggu, 7 Mei 2017. Jutaan orang akan menentukan presiden baru pada pesta demokrasi yang paling menuai hiruk-pikuk dalam sejarah Prancis tersebut.

Tempat pemungutan suara  dibuka pada hari Minggu 7 Mei pukul 08.00 (13.00 waktu Jakarta) dan akan ditutup sekitar pukul 19.00 hingga 20.00 waktu setempat (01.00 hingga 02.00 waktu Jakarta Senin 8 Mei).

Sejumlah lembaga  akan melakukan penghitungan cepat pasca penutupan pengambilan suara. Hal itu dilakukan untuk memperkirakan pemenang dengan akurasi yang cukup tepat jauh sebelum komisi pemilihan mengumumkan hasil suara resmi. Demikian seperti yang diwartakan CNN, Minggu, (7/5/2017).

Siapapun pemenangnya, antara Marine Le Pen (sayap kanan) dan Emmanuel Macron (sentris-independen), sang presiden terpilih akan menghadapi tantangan berat.

Saat ini, Prancis tengah menghadapi krisis pengangguran, stagnasi ekonomi, dan ancaman keamanan domestik. Isu imigrasi dan integrasi warga pendatang juga menjadi masalah.

Tak hanya itu, isu terbelahnya rakyat Negeri Mode menjadi dua kubu turut menambah pekerjaan rumah calon presiden baru nantinya.

Secara garis besar, kedua kubu tersebut terbagi menjadi rakyat Prancis yang berhaluan internasionalis (pro-Uni Eropa) dan mereka yang berhaluan populis (cenderung 'Frexit' dan anti-Uni Eropa). Dan, kedua kandidat yang berhadap-hadapan itu merepresentasikan kedua kubu tersebut.

Singkatnya, Macron berperspektif internasionalis, condong ke Uni Eropa, toleran, dan terbuka untuk isu migrasi. Sedangkan Le Pen lebih proteksionis, populis, anti-imigran, dan menarik diri dari Uni Eropa.

Saat pra-pemilihan, beberapa lembaga survei memprediksi bahwa Macron akan memenangi putaran kedua dengan selisih suara hingga 25 persen, seperti yang diwartakan The Guardian, 25 April 2017.

Namun, selisih prediksi kemenangan Macron mengalami penurunan prosentase. Dan, Le Pen diperkirakan mampu mengimbangi atau bahkan memenangi putaran kedua dengan selisih tipis.

Menurunnya elektabilitas pria 39 tahun itu disebabkan karena tudingan arogan yang diutarakan saingannya kala Macron merayakan kemenangan pada putaran pertama. Selain itu, sejumlah analis menilai Macron tak dekat dengan populasi pemilih di wilayah pedesaan dan agrikultur.

Tak hanya itu, skandal peretasan dokumen kampanye pria yang menjabat sebagai Menteri Ekonomi pada rezim presiden petahana Francois Hollande itu, turut menurunkan elektabilitasnya. Diduga, Rusia menjadi dalang peretasan, serupa seperti saat Pilpres Amerika Serikat 2016.

Dan, yang paling krusial adalah dugaan mengenai banyak bermunculan golongan putih pada putaran kedua. Menurut sejumlah lembaga sigi, angka abstain pada putaran pertama 23 April 2017 sangat tinggi dan diperkirakan akan kembali terulang pada 7 Mei 2017 nanti.

Analis menilai bahwa golongan putih itu justru akan merugikan Macron, mengingat dirinya yang berhaluan sentris-independen non-partisan tanpa basis pemilih tetap. Jika Macron tak mampu menarik hati para 'swing voters' (pemilih labil, tanpa orientasi politik yang rigid, dan cenderung golput), ia diperkirakan kalah pada putaran kedua.

Sementara itu, elektabilitas Le Pen perlahan mengalami kenaikan. Sejak ia memutuskan untuk turun dari kursi pimpinan Partai National Front, para calon pemilih mulai tertarik pada kandidat berhaluan kanan-ekstrem tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

Video Terkini