Sukses

5 Faktor Kunci Kemenangan Macron Jadi Presiden Prancis

Berikut ini 5 faktor yang membawa Macron meraih impiannya menjadi orang nomor satu di Prancis.

Liputan6.com, Paris - Nama Emmanuel Macron kini tengah dielu-elukan oleh para pendukungnya. Sebab, ia terpilih menjadi presiden dan menang dalam pilpres Prancis.

Kemenangan Emmanuel Macron memang tak diperkirakan sebelumnya. Apalagi ia melawan Marine Le Pen dari sayap kanan yang sudah populer lebih dahulu. Sosoknya pun memicu "gempa" politik dalam politik Prancis.

Setahun yang lalu, Macron hanya anggota pemerintahan salah satu Presiden Prancis paling tidak populer sepanjang sejarah. Kini, pada usia 39 tahun, dia yang berasal dari kubu sentris-independen justru memenangkan pemilihan sebagai orang nomor satu di negaranya.

Para pendukung menonton pidato kemenangan Emmanuel Macron di luar museum Louvre, Paris, Minggu (7/5). Macron menjadi presiden Prancis setelah telak mengalahkan rivalnya Marine Le Pen dalam Pilpres Prancis putaran kedua. (Patrick KOVARIK / AFP)

Diawali dengan kemenangan pada pemilu Prancis putaran pertama sekitar dua pekan lalu, Macron terus melaju menuju singgasana presiden. 

Berikut lima faktor yang membawa Macron meraih impiannya menjadi orang nomor satu di Prancis, dikutip dari BBC, Senin (8/5/2017):

2 dari 5 halaman

Dinaungi Dewi Keberuntungan

Tidak diragukan lagi, Macron memenangkan kompetisi dalam Pilpres Prancis lantaran angin keberuntungan atau naungan Dewi Keberuntungan.

Skandal publik menyingkirkan kandidat terdepan, calon dari kubu konservatif Francois Fillon dan kandidat Partai Sosialis Benoit Hamon.

"Dia sangat beruntung karena menghadapi situasi yang sama sekali tidak terduga," kata Marc-Olivier Padis dari kelompok pemikir Terra Nova yang berbasis di Paris.

Emmanuel Macron dan Marine Le Pen (AP)

Sosok Cerdik

Keberuntungan Macron tak memegang seluruh andil dalam kemenangannya di Pilpres Prancis. Ia sukses mengunguli lawan-lawannya berkat kecerdikan yang dimilikinya.

Macron bisa saja mencalonkan diri melalui Partai Sosialis yang sudah dikenal masyarakat. Namun, dia menyadari bahwa setelah bertahun-tahun berkuasa dan mendapat penilaian publik yang buruk, suara dari kubu tersebut justru akan sulit lagi untuk didengar.

"Dia bisa meramalkan ada peluang saat tidak ada yang bisa," kata Padis.

Sebagai gantinya, dia melihat gerakan politik yang bermunculan di tempat lain di Eropa -- Podemos di Spanyol, Gerakan Bintang Lima Italia -- dan melihat bahwa tidak ada kekuatan permainan perubahan politik yang setara di Prancis.

Pada April 2016, dia mendirikan "People-powered" En Marche! dan empat bulan kemudian dia mundur dari pemerintahan Presiden Francois Hollande. Untuk meraih impiannya memimpin Prancis.

3 dari 5 halaman

Berani Mencoba Hal Baru

Jurnalis magang di Paris Emily Schultheis menuturkan, setelah mendirikan En Marche, Macron mengambil pembelajaran dari kampanye pemilihan AS Barack Obama di tahun 2008.

Usaha besarnya yang pertama sebelum mencalonkan diri jadi Presiden Prancis adalah Grande Marche, saat dia memobilisasi jajaran aktivis En Marche yang energik tapi belum berpengalaman.

"Kampanye tersebut menggunakan algoritma dari sebuah firma politik yang mereka tangani. Cara yang sama digunakan untuk mengajukan diri saat kampanye Obama 2008 untuk mengidentifikasi distrik dan lingkungan yang paling mewakili Prancis secara keseluruhan," kata Schultheis.

"Mereka mengirim orang untuk mengetuk 300.000 pintu."

Dua kandidat kuat Pilpres Prancis 2017, Emmanuel Macron dan Marine Le Pen (Christophe Ena & Bob Edne/AP)

Para sukarelawan tidak hanya membagikan selebaran. Mereka juga melakukan 25.000 wawancara mendalam sekitar 15 menit dengan para pemilih di seluruh negeri. Informasi itu dimasukkan ke dalam database besar yang membantu menginformasikan prioritas dan kebijakan kampanye.

"Ini adalah kelompok fokus besar untuk Macron dalam mengukur suhu negara, tetapi juga memastikan bahwa orang-orang telah berhubungan dengan gerakannya sejak dini, memastikan bahwa para sukarelawan tahu bagaimana cara pergi dari pintu ke pintu. Itu adalah latihan yang benar-benar mendasar. Dasar untuk apa yang dia lakukan tahun ini," jelas Schulthei.

Dan ia berhasil memanfaatkan kondisi tersebut.

4 dari 5 halaman

Memiliki Pesan Positif

Sosok Macron terlihat begitu diliputi kontradiksi. Meski demikian, ia tetap percaya diri dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya.

Macron merupakan pendatang baru, "anak didik" Presiden Hollande yang kemudian menjadi menteri ekonomi, mantan bankir investasi yang menjalankan gerakan akar rumput serta sentris dengan program radikal yang memangkas sektor publik.

Itu adalah amunisi yang sempurna untuk bersaing dengan rivalnya Marine Le Pen, yang mengatakan bahwa dia adalah kandidat elite, bukan pemula.

Seorang wanita mengibarkan bendera Prancis saat merayakan kemenangan Emmanuel Macron di luar museum Louvre, Paris, Minggu (7/5). Emanuel Macron akhirnya memenangi Pilpres Prancis putaran kedua, mengalahkan rivalnya Marine Le Pen. (Patrick KOVARIK / AFP)

Namun, dia menghindari "bayang-bayang" Hollande dengan menciptakan sebuah harapan bagi yang menginginkan sesuatu yang baru.

"Ada suasana pesimistis yang sangat lazim di Prancis dan dia hadir dengan pesan positif yang sangat optimistis," kata Marc-Olivier Padis.

"Dia muda, penuh energi, dan tak menjelaskan apa yang hendak dilakukan untuk Prancis. Ia mengatakan bagaimana orang akan mendapatkan kesempatan. Dia satu-satunya yang memiliki pesan seperti itu."

5 dari 5 halaman

Berani Melawan Marine Le Pen

Tak seperti pesan Macron yang bernada lebih optimistis, pesan Marine Le Pen tampil sebagai sosok "negatif". Ia anti-imigrasi, anti-imigran, dan anti-sistem.

Schultheis memaparkan bahwa kampanye Macron menampilkan arena yang terang benderang dengan alunan musik pop.

Sementara pertemuan massa Marine Le Pen melibatkan pemrotes yang melempar botol dan kembang api, kehadiran polisi huru-hara, dan peserta yang marah.

Capres kontroversial Prancis dari Front National, Marine Le Pen (Lionel Bonaventure/AP)

Debat calon presiden (capres) yang disiarkan di televisi pada 3 Mei 2017 adalah sebuah cerminan hubungan tak akur, dengan serangkaian penghinaan yang dilontarkan oleh kedua belah pihak.

Marine Le Pen mungkin telah menjalankan kampanye yang sangat efektif. Namun jajak pendapatnya telah merosot selama berbulan-bulan.

Dia unggul dalam jajak pendapat tahun lalu, mencapai 30 persen. Namun hanya dalam dua minggu perolehannya terjungkal dua kali oleh "kedigdayaan" Emmanuel Macron.