Sukses

Menilik Alasan China Menghidupkan Kembali Jalur Sutra

Indonesia memegang peranan dalam cita-cita China menghidupkan kembali Jalur Sutra Maritim. Potensi kerja sama pun terbuka lebar.

Liputan6.com, Fujian - China ingin menghidupkan kembali Jalur Sutra kuno melalui dua sumbu utama, yaitu Sabuk Ekonomi Jalur Sutra atau Silk Road Economic Belt (Jalur Sutra Darat) dan 21st Century Maritime Silk Road (Jalur Sutra Laut).

Belakangan, dua konsep tersebut melahirkan Belt and Road Initiative (BRI) yang dipandang luas sebagai kebijakan luar negeri dan strategi ekonomi Tiongkok.

Indonesia masuk dalam salah satu negara yang memainkan peran dalam upaya China menghidupkan kembali Jalur Sutra Maritim. Pasalnya, jalur yang dibangun untuk menghubungkan Timur dan Barat ini melintasi Indonesia. 

Boleh jadi, ini pula yang melatarbelakangi keputusan Presiden Xi Jinping untuk mencetuskan gagasan 21st Century Maritime Silk Road dalam kunjungannya ke Tanah Air pada 2-3 Oktober 2013.

Bagi China, gagasan 21st Century Maritime Silk Road sejalan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo: Poros Maritim Dunia.

"Belt and Road Initiative, khususnya 21st Century Maritime Silk Road, sangat sinkron dengan strategi maritim global Indonesia. Jadi, kami berharap dengan diawali oleh kerja sama pemerintah daerah, bertukar gagasan atau informasi kita dapat lebih mengerti kebijakan satu sama lain, strategi pengembangan satu sama lain. Sehingga barulah kerja sama dan pertukaran konkret dapat dilakukan," ujar Deputi Direktur Jenderal The Foreign Affairs Office of Fujian Provincial People's Government Li Lin pada 25 April 2017.

Untuk mewujudkan kerja sama konkret tersebut, saat ini Fujian, sebuah provinsi yang dijuluki "pintu gerbang" Jalur Sutra Maritim, telah menjalin hubungan kota kembar (sister city) dengan Provinsi Jawa Tengah sejak 2016.

"Kami berharap ini dapat menjadi langkah awal yang sangat baik bagi kerja sama pertukaran antar pemerintah daerah. Kita akan lebih sering saling kunjung untuk mengerti satu sama lain, lalu kami akan mendorong pebisnis kami untuk datang ke Jawa Tengah, begitu juga sebaliknya. Ini dilakukan untuk melihat potensi kerja sama," ucap Li.

Deputi Direktur Jenderal The Foreign Affairs Office of Fujian Provincial People's Government Li Lin (Khairisa Ferida/Liputan6.com)

Disinggung terkait tujuan utama China di balik menghidupkan kembali Jalur Sutra, Li menjelaskan bahwa BRI merupakan sebuah kerja sama internasional.

"China saat ini menjadi kekuatan ekonomi. Sejak reformasi ekonomi nyaris 40 tahun lalu sejumlah industri kami berkembang, kami memiliki keunggulan komparatif, dan kami percaya dengan kerja sama dapat dicapai kemakmuran bersama sehingga ujungnya dapat meningkatkan industri kami pula," kata Li.

Lebih lanjut  dijelaskan Li, saat ini Fujian memiliki tiga pilar industri, yaitu petrokimia, manufaktur, dan elektronik.

"Di samping itu, kami juga memiliki sejumlah industri yang bertumbuh seperti farmasi, energi terbarukan, dan juga beberapa keunggulan komparatif tradisional seperti tekstil, bahan untuk produk kecantikan, dan sebagainya. Kami berharap semua industri ini dapat ditingkatkan melalui kerja sama internasional. Menurut saya, ini tidak hanya bermanfaat bagi Fujian, namun juga pihak yang satunya," tegas Li.

Pada 2015, mantan Wakil Menteri Luar Negeri China He Yafei dalam diskusi "China's One Belt, One Road Policy: To Enhance 21st Century Linkage between Asia and Europe" di Jakarta menyebutkan, Indonesia memiliki peran strategis dalam pembangunan 21st Century Maritime Silk Road. Baik secara geografi maupun geopolitik.

He Yafei menyatakan, Indonesia berpotensi besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kaya akan sumber daya alam. Selain itu, ia juga menyinggung posisi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.

"Indonesia dapat menjadi penghubung antara China dengan negara-negara Islam, karena populasinya yang sebagian besar adalah muslim. Saya yakin Indonesia akan memetik manfaat dari kerja sama dengan China," kata He Yafei kala itu.

2 dari 2 halaman

Pengamat: Jangan Buru-Buru Antipati

Pengamat LIPI Adriana Elisabeth yang dihubungi Liputan6.com pada 4 Mei 2017 mengatakan, Belt and Road Initiative adalah bagian dari proses modernisasi China yang tengah fokus pada empat sektor, yaitu industri, ilmu pengetahuan, teknologi, dan pertahanan.

"Dalam cara kita melihatnya, harus diperhatikan apa saja yang bisa menguntungkan bagi proses pembangunan di Indonesia. Misalnya, ada kesamaan dalam membangun infrastruktur. Kita kan sedang fokus membangun baik itu jalan, jembatan, pelabuhan darat, pelabuhan laut dan dalam konteks ini ada yang dapat dijalin kerja sama dengan China," ujar perempuan berkacamata tersebut.

Menanggapi kelompok yang berpandangan China ingin menguasai Indonesia melalui Belt and Road Initiative, Adriana mengatakan, "Sebagian cenderung lebih melihat pada faktor kerugiannya. Tentu saja, kerja sama RI-China secara keseluruhan harus berbasis pada kepentingan nasional kita, tidak semata pada inisiatif China."

Menurut Adriana, China sebenarnya saat ini tengah menunggu respons dari negara-negara lain yang terlibat dalam Belt and Road Initiative, termasuk Indonesia.

"Sebenarnya ini kesempatan baik bagi kita untuk mengatakan kepada China, kalau mau kerja sama juga harus menguntungkan Indonesia. Selain itu, kita kan bagian dari ASEAN, jadi prosesnya pun harus membawa keuntungan secara regional," tutur Adriana.

"Kalau dilihat dari satu sisi, China seolah-olah ingin menguasai kita. Tapi kalau dilihat secara keseluruhan, China juga tidak bisa hidup sendiri. Mereka butuh kita, butuh ASEAN. Itu kenapa, mereka juga memperhitungkan jangan sampai inisiatif ini merupakan Indonesia dan kawasan terdekatnya."

Tahap negosiasi menjadi fondasi penting dalam kerja sama ekonomi antar negara. Dijelaskan Adriana, China memiliki program jika pembangunan yang jika dilakukan di luar wilayahnya juga menyertakan sekaligus tenaga kerjanya.

"Jadi, kalau dealing investasi, China juga akan memboyong tenaga kerjanya ke satu tempat, menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan kembali ke negerinya setelah rampung. Yang jadi soal, kadang-kadang tenaga kerja tinggal di negara tujuan investasi. Ini yang harus diperhatikan sejak awal. Saat proses negosiasi harus dipastikan, agar kerja sama menguntungkan kedua pihak," ungkap Adriana.

"Selama pemerintah dapat menjaga efek politik keamanan dari inisiatif ini, menurut saya tidak masalah Indonesia ikut serta (BRI). Jangan buru-buru anti-BRI, tapi bukan berarti pula kita ikut maunya China. Kerja sama ini basisnya harus kepentingan nasional Indonesia, selama kita bisa memperhitungkan efek politik keamanannya dan mengantisipasinya, kenapa tidak melakukan kerja sama ekonomi dengan China?," imbuhnya.

Seperti Liputan6.com kutip dari South China Morning Post, Presiden Joko Widodo mengatakan akan mencari tahu lebih dalam tentang inisiatif pembangunan global ini dalam pelaksanaan KTT Belt and Road yang akan berlangsung di Beijing pada 14-15 Mei 2017.

KTT Belt and Road akan dihadiri oleh sejumlah kepala negara, termasuk beberapa dari ASEAN dan Uni Eropa. Presiden Bank Dunia, Direktur Pelaksana IMF, dan Sekretaris Jenderal PBB dikabarkan juga akan hadir dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut.