Sukses

Penuturan Tentara Australia yang Jadi Kelinci Percobaan Nuklir

Program mengerikan uji coba nuklir Inggris di Australia itu terjadi pada tahun 1957 di mana Perang Dingin tengah berlangsung.

Liputan6.com, Canberra - Dalam beberapa jam setelah bom nuklir meledak, temperatur bola api diperkirakan mencapai puluhan juga derajat Celcius. Saat itu, Alan Batchelor harus segera menuju pusat ledakan.

Aksi itu dilakukan Alan bukan karena heroik. Melainkan bagian dari percobaan program bagaimana manusia --dalam hal ini militer-- bertahan dalam serangan nuklir.

Ia adalah bagian dari kontingen tentara Australia yang bekerja untuk program nuklir Inggris di pedalaman padang pasir Australia Selatan.

Program mengerikan itu terjadi pada tahun 1957 di mana Perang Dingin tengah berlangsung.

"Mereka butuh kalkulasi segera atas kekuatan bom itu dan bagaimana manusia mampu bertahan. Jadi saya harus menuju lokasi setidaknya 45 meter dari ground zero," kata Alan kepada News.com.au yang dikutip Liputan6.com pada Rabu (10/5/2017).

Alan dan tim-nya yang terdiri dari beberapa tentara pria berdiri di sisa menara besi tempat di mana bom diledakkan.

"Di bawah 10 kaki dari baja, Anda bisa melihat lengkungan bola api. Ada gudang dengan semua peralatan operasi dan semuanya hilang, generator di dekatnya terlempar ke dalam semak belukar," kenang Alan atas peristiwa itu.

Saat itu, Alan tak banyak mengetahui tentang efek dari debu sisa radioaktif bom nuklir. Padahal bisa menyebabkan sakit hingga kematian bagi manusia yang sehat raganya.

Baru beberapa tahun kemudian ia menyadari efek dari kelinci percobaan itu.

Kini, pada usianya yang ke 87 tahun Alan menderita penyakit auto-imun parah akibat dari paparan radiasi.

Pada Selasa 9 Mei 2017, Pemerintah Australia mengumumkan bahwa para tentara kelinci percobaan itu akan mendapatkan jaminan kesehatan hingga 113 juta dolar Australia. Mereka juga akan menerima penghargaan Gold Card.

Itu berarti mereka yang turut serta dalam program itu, baik tentara Australia maupun warga lokal Aborigin yang terpapar uji coba nuklir Inggris pada tahun 1956 hingga 1967 di Australia Selatan dan Australia Barat akan mendapatkan perawatan kesehatan untuk penyakit apapun tanpa batas.

Menteri Urusan Veteran, Dan Tehan mengatakan barang siapa yang terpapar radioaktif di periode tahun itu akan mendapatkan perawatan kesehatan dari Commonwealth.

2 dari 3 halaman

Dianggap Terlambat

Pengumuman itu disambut baik oleh beberapa veteran yang terlibat dalam uji coba itu. Namun tidak bagi Alan.

Alan selama ini telah mendapatkan White Card, di mana ia mendapatkan akses kesehatan secara gratis hanya untuk kondisi yang ia alami dari situs uji coba di Maralinga.

Namun, ia tak terpukau dengan keputusan pemerintah yang baru diambil baru-baru ini terhadap para veteran kelinci percobaan.

"Saya sendiri memperkirakan akan mendapat Gold Card, tapi ini semua telah terlambat bagi saya untuk melakukan apapun," kata Alan dari rumahnya di Canberra.

Alan menghabiskan waktu 6 bulan di uji coba Maralinga tahun 1957 bersama dengan 68 personel teknik militer lainnya.

Mereka tak pernah diberi tahu tentang risiko yang akan dihadapi saat bom meledak. Seperti tentara lainnya, ia hanya menggunakan topi, celana pendek dan sepatu boots. Beberapa pria berlindung di lubang rubah di tanah saat bom nuklir itu meledak.

"Kami hanya berdiri biasa saat bom itu meledak. Tapi kami harus menutup mataa karena kilatan bom itu bisa membutakan mata kami," kata Alan.

"Saat buum! Meledak, rasanya panas seperti berada di oven. Terasa hingga tengkukmu," beber Alan.

Para tentara sebelum uji coba berlangsung (Australian National Archive)

Namun, bahaya yang paling mengerikan bagi para tentara yang berjarak hanya selemparan batu dari ground zero, bukanlah ledakan itu sendiri

"Saat senjatanya mati, hanya menggunakan sekitar 20 persen plutonium radioaktif," ujar Alan.

"Sisanya mengeluarkan bola api dan seperti semprotan aerosol yang terbenam di tanah. Setiap kali debu naik, Anda menghirup plutonium, "katanya.

"Saya telah terpapar plutonium dalam jumlah signifikan dan akhirnya masuk ke sumsum tulang," ujar Alan lagi.

Saat itu, banyak warga dan tentara Australia seperti Alan dijadikan kelinci percobaan.

Mereka diminta untuk memeriksa kerusakan yang dihasilkan oleh bom itu setelah dua jam hingga dua hari setelah bom meledak.

Menurut Alan, banyak orang yang tak bisa bertahan hidup karena dosis radioaktif.

"Hanya delapan hari saat bom meledak, seorang pria dipulangkan. Ketika ia meninggal, koroner melaporkan sebab kematiannya karena kelelahan dengan gejala pneumonia," kenang Alan.

Namun, Alan tahu bahwa personel di lokasi ledakan mengungkapkan kematian pria itu akibat dari racun radiasi.

Alan menjadi saksi mata tiga uji coba bom nuklir. Bom yang terakhir yang pernah ia lihat berbentuk awan jamur.

3 dari 3 halaman

Anak-anak yang Cacat

Setelah enam bulan bertugas, Alan pulang ke rumah. Setahun kemudian istrinya keguguran dan janinnya cacat. Alan menduga, radioaktif turut mempengaruhi spermanya.

Dugaan itu menjadi-jadi ketika anak kedua dan ketiga lahir cacat dan mengalami kelainan jiwa.

Tahun 1993, Inggris setuju membayar pemerintah Australia sebesar 35 juta dolar untuk membayar klaim kesehatan akibat dari tes itu. Dan pada 2013, pemerintah Inggris menolak untuk meminta kompensasi lebih lanjut.

Australia telah menyisihkan ratusan juta dolar untuk memberikan veteran tes. Tapi Alan terlalu sakit untuk pergi tes.

Penuturan Tentara Australia yang Jadi Kelinci Percobaan Nuklir  (ABC.AU)

Dia mengklaim rekam medis telah dihancurkan. Alan juga mengatakan penelitian untuk mengurangi tingkat penyakit radiasi pada veteran tak sampai ke pedalaman Australia.

Departemen Urusan Veteran (DVA) secara konsisten mengatakan bahwa korban bom nuklir tidak memiliki peningkatan frekuensi cacat lahir atau tingkat kematian yang meningkat.

Sebuah studi DVA menyimpulkan bahwa hanya dua persen peserta yang menerima lebih dari batas dosis radiasi tahunan Australia.

Namun sebuah studi tahun 1999 untuk Asosiasi Veteran Uji Nuklir Inggris, menemukan bahwa 30 persen veteran mereka telah meninggal, kebanyakan berusia 50-an, berasal dari kanker atau penyakit terkait kanker.

Alan mengatakan bahwa penyakitnya memburuk. "Saya pergi ke rumah sakit setiap empat minggu sekali menerima infus darah yang menurut saya membuat saya tetap hidup.

"Saya salah satu yang beruntung. Aku masih hidup. Gold Card yang baru diberikan setelah sekian lama jelas sudah terlambat bagi ribuan orang," tutupnya.